Protokol ini mendorong dunia usaha dan pemerintah untuk mengambil langkah-langkah yang lebih tepat sasaran dan efektif untuk mengurangi limbah pangan. Namun, seperti yang sering terjadi, pelaksanaannya masih bervariasi dan dampak yang dihasilkan kurang dari yang diharapkan.
FAO menyebut suatu negara "aman pangan" ketika semua penduduknya memiliki "akses fisik, sosial dan ekonomi" terhadap "makanan yang cukup, aman dan bergizi" sesuai dengan kebutuhan pangan dan preferensi pangan mereka.
Hal ini harusnya menjadikan sampah makanan sebagai masalah global yang mempengaruhi tiga pilar pembangunan berkelanjutan yaitu lingkungan hidup, ekonomi dan sosial.
Namun, kesadaran adalah kuncinya karena pesan mengenai implikasi limbah makanan perlu diperkuat untuk mengubah sikap manusia terhadap masalah ini.
Perilaku sosial merupakan inti dari tantangan ini karena banyak penelitian telah mengidentifikasi konsumen sebagai kontributor signifikan terhadap sampah makanan.
Penting juga untuk memahami bahwa sumber daya berharga seperti air, energi dan tenaga kerja akan terbuang sia-sia jika makanan dibuang.
Penelitian juga telah meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan makanan, pengaruh sosial terhadap limbah makanan dan praktik pembelian makanan. Beberapa rekomendasinya adalah mencakup ketentuan untuk redistribusi pangan yang lebih berbasis masyarakat dan inisiatif bank pangan.
Memahami afiliasi budaya kebiasaan makan kita juga penting. Misalnya, jika kita menekankan prinsip bersyukur, berhemat dan beramal lintas agama, kita juga ikut mendorong konsumsi yang lebih tepat guna.
Inilah saatnya kita mengatasi praktik standar seperti menyiapkan makanan lebih banyak dari yang diperlukan untuk pesta atau perayaan yang menyebabkan sisa makanan tidak dapat dikonsumsi.
Di sebagian besar budaya di seluruh dunia, keramahtamahan adalah hal yang terpenting dan menyajikan makanan berlimpah.Terutama saat perayaan sebagai tanda kemurahan hati. Inilah saatnya mengubah persepsi tersebut.
Ada juga yang tidak suka mengonsumsi sisa makanan karena menganggapnya sebagai simbol kemiskinan sehingga menyebabkan pemborosan yang tidak perlu.