PBB didirikan pada tahun 1945 setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua menggantikan Liga Bangsa-Bangsa yang gagal mencegah perang tersebut.
Organisasi baru ini terdiri dari 51 negara anggota dengan kekuasaan khusus untuk lima negara utama Sekutu yang memenangkan perang yaitu AS, Uni Soviet, Tiongkok, Prancis, dan Inggris.
Kelima negara tersebut meratifikasi Piagam PBB yang menjelaskan bagaimana organisasi internasional baru ini akan beroperasi, membentuk Majelis Umum untuk semua anggota dan Dewan Keamanan untuk lima anggota pendiri.
Resolusi-resolusi yang disetujui di Majelis Umum PBB hanya bersifat nasihat namun mempunyai bobot moral. Sedangkan resolusi-resolusi DK PBB dianggap sebagai hukum internasional.
DK PBB juga dapat memberikan rekomendasi kepada Majelis Umum PBB mengenai penerimaan negara anggota baru. Keanggotaan PBB kini meningkat lebih dari tiga kali lipat menjadi 193 negara.
Pada saat PBB didirikan, fokus utamanya adalah mencegah terjadinya perang dunia lagi dan lantas PBB kemudian menghadapi hambatan besar pertamanya ketika Perang Dingin meletus antara AS dan Uni Soviet. Hal ini sekali lagi memecah belah dunia bukan dalam konflik langsung melainkan dalam konflik diplomatik dan serangan militer terbatas.
DK PBB saat ini terdiri dari 15 anggota. Termasuk lima anggota tetap pendiri dan 10 kursi tambahan yang berpindah tangan setiap tahun. Namun DK PBB sering terhambat oleh kemampuan salah satu dari lima anggota tetapnya untuk mengeluarkan hak veto dalam memblokir keputusan apa pun bahkan jika mayoritas dari 15 anggota dewan setuju.
Hak veto itulah yang menjadi faktor kunci yang melemahkan kemampuan PBB untuk berubah seiring waktu. Selama 78 tahun terakhir, banyak hal telah berubah. Tahun 2023 jauh berbeda dengan tahun 1945. Namun DK PBB terus beroperasi bagaikan mobil tua yang terus bergelut dengan debu jalanan meski mesinnya rusak dan kursinya sudah usang.
PBB membutuhkan perubahan. Perubahan nyata. Perubahan yang memberikan seluruh anggota Majelis Umum PBB memiliki suara yang lebih kuat dan pada saat yang sama tetap menghormati perbedaan populasi antar negara. Misalnya, Tiongkok saat ini berpenduduk 1,4 miliar jiwa, sementara Qatar hanya berpenduduk 2,7 juta jiwa.
Dengan adanya hak veto maka DK PBB seakan menyandera dunia melalui lima anggota tetapnya karena salah satu dari lima anggota tersebut dapat menghalangi kemajuan dunia dengan menggunakan hak veto mereka untuk alasan dan bahkan tujuan yang tak jelas.
Masalah tersebut dapat dengan mudah diatasi jika Piagam PBB diubah. Misalnya, setiap anggota tetap DK PBB yang menggunakan hak vetonya harus mendapatkan dukungan dari mayoritas anggota Majelis Umum PBB. Jadi jika misalnya AS memveto resolusi yang mengecam kejahatan perang Israel di Wilayah Pendudukan, maka veto tersebut harus didukung oleh 66 persen dari 193 anggota Majelis Umum PBB yaitu 128 negara agar resolusi tersebut sah.
Hal ini akan mencegah anggota tetap DK PBB bertindak seperti diktator global dan akan memberikan hak suara kepada Majelis Umum PBB mengenai peristiwa-peristiwa dunia yang ditangani oleh DK PBB. Anggota tetap akan dipaksa untuk mempertahankan veto mereka dan meyakinkan setidaknya 128 negara anggota bahwa tindakan mereka adalah demi kepentingan terbaik dunia bukan hanya kepentingan mereka sendiri dan negara klien mereka.
Demikian pula perubahan tersebut akan mencegah Rusia memveto resolusi DK PBB yang membela Ukraina yang terpaksa mempertahankan diri dari invasi militer yang dilancarkan Moskow pada Februari tahun lalu. Tanpa tekanan apa pun dari DK PBB atau kekuatan dari Majelis Umum PBB perang akan terus berlanjut tanpa henti yang mengakibatkan puluhan ribu korban jiwa baik dari pihak militer maupun warga sipil.
PBB dibentuk untuk mencegah terjadinya perang seperti ini tapi PBB belum mampu melakukannya. Jadi PBB telah gagal dalam misi yang ditetapkannya pada tahun 1945.
PBB yang berfungsi dengan semestinya sangat dibutuhkan saat ini. Kekuatan masing-masing negara, berapapun jumlah populasinya, kini telah meningkat melebihi ukuran sederhana. Dari kekuatan militer, persenjataan hingga mencakup perang siber yang telah terbukti bersifat destruktif dan melemahkan.
Yang perlu dilakukan adalah DK PBB membentuk komite peninjau yang mempunyai wewenang untuk merekomendasikan perubahan terhadap Piagam PBB.
Jika hal ini tidak dilakukan, PBB akan terus dikalahkan oleh pertumbuhan "saingan" internasionalnya seperti G20, BRICS dan Shanghai Cooperation Organization yang semuanya berdampak pada tata kelola global dengan cara yang tidak diharapkan.
Wajar jika ada yang berpendapat bahwa PBB tandingan ini diciptakan secara khusus karena PBB gagal mengatasi permasalahan global yang diangkat oleh masing-masing negara anggotanya secara efektif.
Masalahnya, jika dunia menyerahkan tantangan ini kepada kelompok-kelompok ini, solusinya akan lebih ditentukan oleh kebutuhan individu masing-masing anggotanya dan bukan oleh kepentingan global. Negara-negara yang tergabung dalam BRICS misalnya, hanya mempertimbangkan apa yang terbaik bagi anggotaannya, bukan apa yang terbaik bagi dunia.
PBB diperlukan untuk menegakkan hukum yang melindungi mereka yang kurang berkuasa dan menjadi korban pihak yang berkuasa. Prinsip-prinsip supremasi hukum dan Mahkamah Internasional merupakan hal yang sakral meskipun prinsip-prinsip tersebut sengaja diabaikan oleh beberapa negara.
Hak asasi manusia bukanlah isu regional melainkan isu global. Perubahan Iklim, bantuan kemanusiaan bagi mereka yang membutuhkan dan tantangan yang dihadapi pengungsi serta kebutuhan untuk memiliki satu forum untuk semua pihak yang mempertimbangkan benar dan salahnya konflik militer merupakan hal-hal yang memerlukan sebuah badan dunia bukan organisasi dengan fokus yang sempit.
Badan pertama yang perlu diubah adalah DK PBB. Sebelum adanya keadilan global yang sejati, PBB tidak akan lebih dari sekedar platform untuk mempromosikan diri sendiri dan talk show sengit tanpa hasil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H