Mohon tunggu...
ANDI FIRMANSYAH
ANDI FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Guru - Guru yang Belum Tentu Digugu dan Ditiru

Hanya Seorang Marhaen yang menyenangi bidang Geopolitik, Sejarah dan Ekonomi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Krisis Muawiyah - Ali dalam Sejarah Islam

17 Juli 2023   22:57 Diperbarui: 18 Juli 2023   01:14 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam politik, kekuasaan yang cepat melambung cepat juga menghujamnya. Ditambah lagi jika Founding Leader nya terlalu super power sehingga tidak bisa ditandingi oleh pemimpin manapun sesudahnya.

Dalam kebangkitan Islam ada seorang sosok super power yang meskipun diantara beliau dikelilingi oleh para pemimpin hebat namun tidak satupun yang mampu menyamai kehebatan beliau. Beliau adalah Nabi Muhammad Saw.

Dalam sejarah lain kita juga mengenal Alexander the Great, Jengis Khan dan Charlemagne. Begitu mereka wafat, mulailah masing-masing daerah kekuasaan mereka satu persatu memisahkan diri. 

Itu pula yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah. Beragam konflik yang terjadi sesudahnya berawal dari kepergian Rasulullah untuk selamanya. Sebab institusi yang diwariskan oleh Rasulullah Saw ternyata belum matang.

Berawal dari kasus pembunuhan Umar Bin Khatab. Setelah itu naiklah Usman bin Affan. Mulai dari sini Islam berkembang pesat. Saat dirasa kekuasaan sudah mulai meluas, Usman bin Affan mulai berfikir untuk merubah sistem karena sistem yang lama mungkin tidak cukup mumpuni untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mulai kompleks. 

Jadi Usman bin Affan menganggap beliau harus berdiri tidak lagi sebatas pemimpin umat tetapi harus menjadi pemimpin yang full pledge supremo. Paling tidak setaraflah dengan kaisar Bizantium dan Sassania.

Untuk itu perlu yang namanya Reformasi. Agar tercapai kematangan sebuah kekuasaan sebagai warisan dari Rasulullah Saw. 

Hanya jika belajar dari sejarah sebuah imperium dalam membangun kekuasaan apalagi yang berkaitan dengan reformasi maka butuh konsistensi yang tak jarang mengkhianati para Founding Fathers nya sendiri.

Kita ambil contoh Amerika serikat. Sistem yang dibangun sekarang ini tentunya beda dari apa yang sebenarnya dicita-citakan oleh para Founding Fathers terdahulu. Misalnya, dulu presiden boleh berkuasa sampai akhir hayat. Sekarang masa kekuasaan Presiden dibatasi hanya dua periode saja. 

Jadi Amerika serikat saja yang boleh dibilang identitas dan institusi nya sudah mekar dan matang saja merasa masih perlu yang namanya Reformasi. Apalagi kekuasaan yang dibangun oleh Usman bin Affan sebagai warisan yang belum matang tentu harus lebih banyak lagi reformasi yang harus dilakukan.

Hanya saja saat Khalifah Utsman bin Affan yang merasa dirinya berdiri sebagai Imperium Supremo tapi umat menganggapnya masih pemimpin umat sama seperti Khalifah yang lain. Sehingga jelas ada krisis institusional dalam hal ini. 

Khalifah Utsman memiliki kuasa dengan harta melimpah. Saat beliau ingin melakukan reformasi maka yang dilihat umat adalah Khalifah Utsman berpihak pada Bani Umayyah.

Padahal maksud dan tujuan sang Khalifah sebenarnya bukan itu. Beliau hanya ingin melakukan konsolidasi kekuasaan dengan membuat sistem administrasi yang lebih efektif juga efisien. Mengapa banyak Bani Umayyah yang direkrut? Sebab beliau berasal dari Bani Umayyah yang pasti mengenal lebih dalam karakteristik dari kaumnya tersebut. 

Akhirnya banyak yang tidak senang pada sang Khalifah. Puncaknya terjadi saat Khalifah Utsman bin Affan dibunuh. Saat itu muncul Ummah Leader yang baru yaitu Ali bin Abi Thalib. Sementara kekuasaan masih ditangan Bani Umayyah. Muawiyah pun tidak mengakui kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Sementara jasad Ustman bin Affan masih belum bisa dikebumikan karena rumah dikepung. Hingga akhirnya terjadi pertempuran dan untuk mengakhirinya Ali bin Abi Thalib bersedia untuk berunding.

Keputusan ini membuat kaum Khawarij berang. Hingga akhirnya mereka memberontak dan kalah di Nahrawan tahun 658. Sementara di Suriah, Muawiyah dilantik sebagai Khalifah oleh pendukungnya diwaktu yang sama. Sehingga ada dua Khalifah dalam satu masa. 

Namun krisis ini akhirnya berakhir saat Khalifah Ali di bunuh oleh pihak Khawarij saat beliau sedang sholat di Mesjid Kufa.

Setelah itu Muawiyah menjadi Khalifah tanpa saingan. Apalagi beliau juga mampu membujuk Hasan Bin Ali. Namun bagi pendukung Ali bin Abi Thalib kekuasaan yang dipegang oleh Muawiyah itu tidak sah karena menurut mereka Khalifah hanya bisa dipegang oleh ahli waris Rasulullah saja. 

Itulah awal mula Krisis Muawiyah-Ali dalam sejarah Islam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun