Banyaknya penyelewengan dana desa, membuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menengarai adanya modus dan pola yang sama. Misalnya, pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai ketentuan, fiktif.Â
Selain itu juga terjadinya mark up anggaran, mulai dari proses perencanaan yang tidak melibatkan masyarakat hingga memasukkan program yang sifatnya mengarah pada kepentingan pribadi.
Modus Korupsi
Sebagai Pendamping Desa Pemberdayaan (PDP), saya mengamati beberapa faktor yang mempengaruhi aparatur dalam melakukan penyelewengan dana desa, sehingga modusnya menjadi sangat beragam.
Faktor tersebut, salah satunya adalah terbukanya peluang penyelewengan akibat pengawasan masyarakat yang lemah. Sehingga berbagai metode penyelewengan terjadi.
Seperti halnya korupsi yang dilakukan dengan membuat rancangan anggaran biaya di atas harga pasar. Cara ini terjadi karena kong kalikong antara aparatur dengan konsultan perencana, sehingga penggelembungan harga pun terjadi.
Pada proses ini, pengawasan tidak maksimal dilakukan, sehingga terbuka ruang mark up yang berpotensi pada kerugian desa secara menyeluruh. Ini pola awal yang bisa terlihat.
Modus lainnya adalah, sisa dana yang terpakai sementara, atau meminjam tanpa mengembalikan kepada rekening kas desa. Ini juga terjadi dan sulit terendus karena faktor "hana mangat (tidak enak)" jika persoalan ini ditanyakan.
Pungutan dan pemotongan lainnya dengan berbagai modus, baik oleh oknum tertentu di level kecamatan maupun dengan dalih pelaksanaan program peningkatan kapasitas serta study banding. Ini juga terendus ada indikasi penyelewengan dana desa masuk dalam kantong pribadi.
Hal senada juga pernah disampaikan peneliti ICW, Egi Primayoga, bahwa ada modus besar yang menyebabkan dana desa tidak dikelola sesuai dengan aturan.Â
Menurut Egy, penggelembungan honorium perangkat desa salah satu modus yang kerap dilakukan, serta pembelian inventaris kantor yang kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi.Â