Apa itu Birokrasi?
Birokrasi mempunyai makna sebagai sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan.birokrasi juga dapat diartikan sebagai cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya.
Birokrasi merupakan struktur tatanan organisasi, bagan, pembagian kerja dan hierarki yang terdapat pada sebuah lembaga yang penting untuk menjalankan tugas-tugas agar lebih teratur, Birokrasi dapat diartikan kekuasaan yang dipegang oleh orang-orang yang berada di belakang meja, dalam arti secara legal sesuai peraturan, formal serba resmi, oleh para birokrat.
Birokrasi diharapkan pertanggungjawabannya yang jelas karena setiap jabatan dilaksanakan dan diurus oleh orang dan petugas khusus.Di dalam birokrasi terdapat pula penyakit birokrasi atau sering disebut juga dengan Patologi Birokrasi.patologi Birokrasi muncul akibat dari tindakan para anggota birokrasi yang melanggar norma-norma hukum dan peraturan perundang- undangan yang berlaku, seperti: penggemukan biaya; menerima sogok; ketidakjujuran; korupsi; tindakan kriminal; penipuan; kleptokrasi; kontrak fiktif; sabotase; tata buku tidak benar; dan pencurian.
Apa sebenarnya Patologi Birokrasi?
Patologi Birokrasi adalah sebuah penyakit yang menggerogoti sendi-sendi kehidupan dalam birokrasi. Penyakit ini bukan sesuatu yang datang dengan tiba-tiba, tetapi sudah ada dan terpelihara sejak lama. Pada mulanya, istilah "patologi" hanya dikenal dalam ilmukedokteran sebagai ilmu tentang penyakit.
Namun belakangan hari analogi ini dikenal dalam birokrasi, dengan makna agar birokrasi pemerintahan mampu menghadapi berbagai tantangan yang mungkin timbul, baik yang bersifat politis, ekonomi, sosio kultural dan teknologi, berbagai penyakit yang mungkin sudah dideritanya atau mengancam akan menyerangnya perlu diidentifikasi untuk kemudian dicarikan terapi pengobatan yang paling efektif.
Harus diakui bahwa tidak ada birokrasi yang sama sekali bebas dari patologi birokrasi. Sebaliknya tidak ada birokrasi yang menderita "penyakit birokrasi sekaligus".Ada beberapa macam jenis Patologi Birokrasi diantaranya adalah:
1.Penyalahgunaan Wewenang dan tanggung jawab,
2.Pengaburan Masalah,
3.Indikasi Korupsi,
4.Kolusi dan
5.Nepotisme.
Dalam artikel ini akan membahas kolusi yang terjadi dalam Birokrasi.Sebelumnya perlu kita ketahui apa itu Kolusi.
Secara umum, pengertian kolusi ialah suatu bentuk tindakan berupa persekongkolan maupun permufakatan yang dilakukan secara rahasia dan dilakukan oleh dua orang atau lebih, tujuan dilakukannya persekongkolan dan permufakatan tersebut ialah untuk melakukan perbuatan yang tidak baik serta demi mendapatkan keuntungan tertentu.
Sementara itu pendapat lain mengungkapkan, bahwa pengertian kolusi ialah suatu bentuk kerja sama yang bersifat ilegal maupun konspirasi rahasia yang memiliki tujuan untuk menipumaupun memperdaya orang lain serta merugikan orang lain,masyarakat dan atau Negara.dalam makna lain Kolusi adalah kerja sama rahasia untuk maksud tidak terpuji dan persekongkolan.
Pada umumnya, tindakan kolusi ini akan disertai dengan tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh para pejabat pemerintah maupun pihak-pihak tertentu demi mendapatkan keuntungan. Perlu diketahui bahwa kolusi merupakan perilaku anti persaingan sehingga biasanya kolusi akan berada dibawah pengawasan pemerintah yang ketat.
Namun, ketika kesepakatan dilakukan dengan formal, maka biasa dinamakan sebagai kartel atau kolusi tersembunyi. Kolusi tersembunyi merupakan tindakan illegal di berbagai negara karena dapat merugikan kepentingan public. Namun, hal tersebut tidak berlaku di negara lainnya.
Di Indonesia ini sendiri masih saja ada praktik kolusi tersembunyi yang dipraktekkan dan seringkali pemerintah sulit membuktikan kasus tersebut.Apabila disimpulkan, maka pengertian kolusi ialah sikap serta tindakan yang tidak jujur dan melanggar hukum dengan cara membuat kesepakatan rahasia, disertai dengan pemberian fasilitas maupun uang dalam jumlah tertentu sebagai bentuk pelicin guna kepentingan individu maupun kelompok.
Ada beberapa bentuk dan jenis dari Kolusi diantaranya adalah:
1.Kolusi Harga
Kolusi jenis ini seringkali dilakukan ketika hanya beberapa pemasok yang ada di pasar. Jika tidak ada kolusi, maka biasanya para pemain akan saling berkompetisi untuk mengarah ke perang harga.
2.Kolusi Formal
disebut juga dengan kartel. Para pemain membuat perjanjian formal untuk memaksimalkan keuntungan bersama. Mereka mungkin mengkoordinasikan output, standar produk, pembagian wilayah distribusi, ataupun standar produk.
3.Kolusi Diam Diam
Kolusi diam-diam, dimana pelaku usaha anggota kartel tidak berkomunikasi secara langsung, pertemuan-pertemuan juga diadakan secara rahasia.
Kolusi sendiri disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya:Lebih sedikitnya perusahaan tersedia di pasar,perusahaan yang memproduksi produk serupa,penegakan hukum yang lemah dan sebagainya.Dalam artikel ini akan dijelaskan penyuapan yang terjadi dalam penyelenggaraan hukum di indonesia salah satunya adalah kasus suap penanganan perkara kasasi pailit KSP Intidana oleh Sudrajat Dimyati dan Gazalba Shaleh yang terjadi pada awal 2023.
Penyimpangan dalam menangani perkara di peradilan menjadi sebuah hal yang sebaiknya tidak terjadi dalam proses rekonstruksi hukum dan supremasi hukum di negara kita sehingga harus dtindak secara tegas.Penerapan sanksi pidana bagi pelaku penerima suap dalam proses persidangan belum efektif atau maksimal KUHP, dan Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Belum dapat diterapkan secara maksimal.
Dalam prakteknya tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang sering diterapkan kepada pelaku, padahal undang-undang yang lain juga dapat diterapkan sehingga hukuman yang diterima lebih ringan, berbeda bila semua undang-undang yang dapat menjerat pelaku diterapkan seluruhnya akan menimbulkan akumulasi sehingga dapat memperberat hukuman dan dapat menimbulkan efek jera bagi pelaku.
Dalam Pasal 210 KUHP yang mengatur penyuapan terhadap hakim dan penasihat di pengadilan. Hakim dan penasihat yang menerima suap tersebut diancam pidana oleh Pasal 420 KUHP. Keempat pasal tersebut kemudian dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi melalui UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001.
Dalam kasus suap perkara yang dilakukan oleh Sudrajat dimyati dan Gazalba Shaleh yang dilakukan pada hari rabu 21/09/2023 tim KPK mendapat informasi perihal penyerahan sejumlah uang tunai dari pengacara Eko Suparno kepada Desy Yustria selaku PNS pada Kepaniteraan MA di salah satu hotel di Bekasi. Desy merupakan representasi Sudrajad. Selang beberapa waktu, pada Kamis (22/9)
Sekitar pukul 01.00 WIB dini hari, tim KPK kemudian bergerak dan mengamankan Desy di rumahnya beserta uang tunai sejumlah sekitar $205.000.Secara terpisah, tim KPK juga langsung mencari dan mengamankan Yosep Parera dan Eko Suparno yang berada di wilayah Semarang, Jawa Tengah, guna dilakukan permintaan keterangan.Para pihak yang diamankan beserta barang bukti kemudian dibawa ke Jakarta untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan di Gedung Merah Putih KPK.
Menurut ketua KPK Firli Bahuri, "Selain itu, AB [Albasri, PNS MA] juga hadir ke Gedung Merah Putih KPK dan menyerahkan uang tunai Rp50 juta," Perkara ini diawali dengan laporan pidana dan gugatan perdata terkait dengan aktivitas dari Koperasi Simpan Pinjam Intidana (ID) di Pengadilan Negeri Semarang yang diajukan Heryanto Tanaka dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto selaku Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana dengan diwakili kuasa hukumnya yakni Yosep dan Eko.
Pada proses persidangan di tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, Heryanto dan Eko belum puas dengan keputusan pada dua lingkup pengadilan tersebut sehingga melanjutkan upaya hukum kasasi pada MA. Pada 2022, dilakukan pengajuan kasasi oleh Heryanto dan Ivan Dwi dengan masih memercayakan Yosep dan Eko sebagai kuasa hukum.
"Dalam pengurusan kasasi ini, diduga YP [Yosep Parera] dan ES [Eko Suparno] melakukan pertemuan dan komunikasi dengan beberapa pegawai di Kepaniteraan MA yang dinilai mampu menjadi penghubung hingga fasilitator dengan majelis hakim yang nantinya bisa mengondisikan putusan sesuai dengan keinginan YP dan ES," tutur Firli.
Melansir detikJabar, Rabu (10/5/2023), tuntutan 13 tahun penjara untuk Sudrajad dibacakan jaksa penuntut umum (JPU) KPK Wawan Sunaryanto dalam sidang di Pengadilan Tipikor Bandung, Kota Bandung. Sudrajad mengikuti sidang secara daring dari Rutan KPK. akim Agung Mahkamah Agung (MA) nonaktif Sudrajad Dimyati dituntut hukuman 13 tahun penjara. Sudrajad dinyatakan bersalah menerima suap 80 ribu dolar Singapura (SGD) atau sekitar Rp 889 juta atas penanganan perkara kasasi pailit KSP Intidana.
Sudrajad dituntut bersalah melanggar dakwaan alternatif pertama, Pasal 12 huruf c Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.
Mengutip Merdeka.com akibatnya Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periksa empat hakim Mahkamah Agung (MA). Mereka dipanggil terkait kasus dugaan suap pengurusan perkara di MA yang menjerat Hakim Agung nonaktif Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh.
Keempat hakim agung itu yakni Prim Haryadi, Sri Murwahyuni, Ibrahim, dan Syamsul Maarif. Diketahui KPK pernah menggeledah ruang kerja Prim Haryadi dan Sri Murwahyuni. "Setelah kami cek informasi tersebut, benar hari ini (19/1) bertempat di gedung Mahkamah Agung, tim penyidik telah selesai memeriksa saksi Hakim Agung Prim Haryadi, Sri Murwahyuni, Ibrahim, dan Syamsul Maarif," ujar Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Kamis (19/1).
Ali mengatakan, keempat hakim agung diperiksa di Gedung MA untuk efektifitas lantaran para hakim agung memiliki jadwal persidangan. Sedangkan tim penyidik harus segera menyelesaikan berkas perkara Sudrajad Dimyati dan tersangka lain. Dalam kasus suap penanganan perkara di MA ini KPK sudah menjerat 14 orang sebagai tersangka dalam kasus ini.
Mereka yakni Hakim Agung Sudrajad Dimyati, Hakim Agung Gazalba Saleh, Prasetyo Nugroho (hakim yustisial/panitera pengganti pada kamar pidana MA sekaligus asisten Gazalba Saleh), Redhy Novarisza (PNS MA), Elly Tri Pangestu (hakim yustisial/panitera pengganti MA).
Kemudian Desy Yustria (PNS pada kepaniteraan MA), Muhajir Habibie (PNS pada kepaniteraan MA, Nurmanto Akmal, (PNS MA), Albasri (PNS Mahkamah Agung), Yosep Parera (pengacara), Eko Suparno (pengacara) Heryanto Tanaka (swasta/debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana), dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto (swasta/debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana).
Teranyar, KPK menjerat Hakim Yustisial atau Panitera Pengganti Mahkamah Agung (MA) Edy Wibowo (EW).Sudarajad Dimyati disangka menerima suap terkait dengan kasasi pailit Koperasi Simpan Pinjam Intidana. Dimyati diduga menerima Rp800 juta untuk memutus koperasi tersebut telah bangkrut.
Atas perbuatannya, Heryanto Tanaka, Ivan Dwi Kusuma Sujanto, Yosep, dan Eko Suparno yang diduga sebagai pihak pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 atau Pasal 6 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sementara Dimyati, Elly Tri Pangestu, Desy Yustria, Nurmanto Akmal, Albasri, dan Muhajir Habibie yang diduga penerima disangkakan melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 12 huruf a atau b Jo Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Apa kira kira Solusi yang tepat untuk menangani Kasus Kolusi berupa suap menyuap yang sering terjadi di Indonesia?
Terkait pendekatan strategi pemberantasan Kolusi salah satunya dengan cara meningkatkan langkah langkah kampanye anti Kolusi Korupsi dan Napotisme khususnya Kolusi. Kampanye semacam ini sangat diperlukan dengan pendekatan antara masyarakat, pers (sebagai social power),serta institusi institusi Negara.
Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) juga telah melibatkan aparat penegak hukum. Penyakit birokrasi seperti Kolusi KKN sebenarnya telah lama berlangsung di lembaga pengadilan pada setiap tingkatan dan pelakunya adalah para hakim maupun aparat penegak hukum lainnya yang sebenarnya mereka bertugas untuk mengadili dan menjatuhkan pidana kepada para pelaku KKN itu sendiri.
Sesunguhnya moralitas dan integritas diri seorang penegak hukum dalam menjalani karier dan pengabdiannya sebagai pejabat negara penegak hukum sungguh sangat diperlukan. Bahkan integritas diri seorang pejabat penegak hukum menjadi sangat mutlak yang tidak boleh tidak ada, apabila Indonesia hendak menegakan hukum,guna meminimalkan terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme yang telah sangat mendarah daging di negara ini.
Selain itu dibutuhkan pula kecerdasan masyarakat sipil untuk mengawasi dan membuat keputusan politik mencegah makin mewabahnya penyakit kotor seperti Kolusi di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H