Mohon tunggu...
Rahmah Aulia N
Rahmah Aulia N Mohon Tunggu... Dokter - Pelajar SMAN 28 Jakarta

Rahmah Aulia Nandita (29) - XI MIPA 4

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Nyirih, Tradisi yang Mulai Ditinggalkan

30 Agustus 2020   14:09 Diperbarui: 30 Agustus 2020   13:59 2279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tradisi Mengunyah Sirih/reddit.com

Apakah kalian pernah melihat orang yang mengunyah sesuatu kemudian mulutnya berubah menjadi merah? Kalian pasti sempat berpikir mulut mereka berdarah atau bahkan menganggap itu hal yang jorok, bukan? Tradisi itu disebut juga menyirih atau menginang. Tapi apakah kalian tau ternyata banyak kisah tersembunyi dari tradisi menyirih tersebut?

Tradisi menyirih adalah tradisi warisan budaya Indonesia yang dilakukan dengan mengunyah bahan-bahan bersirih, seperti daun sirih, pinang, gambir, tembakau, kapur, dan cengkih. Tradisi ini dilakukan dengan mengunyah sirih dan bahan lainnya hingga membuat mulut berwarna oranye kemerahan yang dianggap bagus untuk menguatkan gigi. 

Banyak daerah di Indonesia yang hingga kini masih mempertahankan kebiasaan tersebut. Tiap daerah menyebut istilah mengunyah sirih ini dalam bahasa daerahnya, seperti nyirih, nginang, bersisik, atau menyepah. Bagi yang pernah mengunjungi pelosok negeri Sumatra, Sulawesi, ataupun Indonesia bagian Timur, seperti Nusa Tenggara hingga Papua, pasti masih dapat ditemukan kebiasaan ini. 

Asal usul tradisi mengunyah sirih ini belum diketahui secara pasti. Konon, tradisi ini telah dilakukan sejak 3000 tahun yang lalu dan sudah menjadi kebiasaan masyarakat Asia Tenggara. Dari cerita-cerita sastra, ada yang beranggapan bahwa tradisi ini berasal dari India. Namun ada yang berasumsi tradisi ini kemungkinan berasal dari Nusantara karena tanaman pinang dan sirih diduga kuat merupakan tanaman asli Indonesia. 

Pada zaman dulu, tradisi menyirih merupakan kebiasaan dari keseharian masyarakat kelas atas. Hal itu terbukti dalam beberapa peninggalan, seperti salah satunya pada relief candi dan catatan pada masa kolonial.

Dalam salah satu relief Candi Borobudur yang dibangun abad ke-8 serta Candi Sojiwan yang dibangun pada abad ke-9 di Jawa Tengah, dapat ditemukan gambaran kebiasaan menginang sejak zaman  dulu. Pada salah satu relief terdapat kotak sirih dan tempat untuk meludah di samping orang yang sedang mengunyah yang ditafsirkan oleh para arkeolog, sedang mengunyah sirih. 

Ilustrasi Relief Candi Borobudur/williekhonggo.com
Ilustrasi Relief Candi Borobudur/williekhonggo.com

Hingga pada abad ke-17 ditemukan catatan perihal tradisi mengunyah sirih oleh kalangan elit Eropa yang saat pergi ke gereja sering kali membawa kotak yang dibawa budak-budak berisi perlengkapan nginang. Bahkan karena sirih dianggap sebagai salah satu item pengeluaran penting, kantung uang yang diterima budak Belanda disebut sebagai "siriegeld" (uang sirih).

Bukan hanya itu saja, loh! Di masa lalu, beberapa daerah di Indonesia menganggap tradisi menyirih ini cukup penting. Bisa dikatakan sebagai media tata krama untuk tamu di istana atau desa. Mirip seperti fungsi teh atau kopi pada saat ini. Nyirih juga dianggap sebagai simbol ritual utama sosial bagi setiap orang dewasa. Tidak menawarkan sirih atau menolak tawaran nyirih bisa dicap sebagai sebuah penghinaan. Wah, ternyata sepenting itu tradisi nyirih ya! 

Selain itu, anak-anak di Nusantara bagian Timur diharuskan nginang saat gigi mereka mulai tumbuh, sebagai tanda bahwa mereka telah memasuki usia dewasa. Tradisi nyirih juga dianggap memiliki banyak manfaat, seperti membantu pencernaan, menenangkan otak, memperkuat gigi, dan penyegar mulut. 

Tapi, sejak pertengahan abad ke-18, orang-orang Eropa khususnya Belanda yang ada di Indonesia mulai meninggalkan kebiasaan nyirih ini. Kebiasaan ini menghilang setelah munculnya tren baru dalam kebiasaan nyirih, yaitu dengan menghisap tembakau atau yang dikenal dengan merokok. Sehingga kebiasaan nyirih mulai dianggap menjijikan oleh bangsa Eropa. 

Menjelang berakhirnya abad ke-19, perbedaan kultur antara bangsa Eropa dan Indonesia mulai terlihat jelas. Bagi bangsa Eropa, kebiasaan nyirih dipandang sebagai tanda inferioritas bangsa Indonesia. 

Kemudian diawal abad ke-20, sejalan dengan masuknya pendidikan ala bangsa barat ke Nusantara, tradisi nyirih mulai ditinggalkan. Di beberapa daerah di Indonesia masih menggunakan bahan-bahan untuk nyirih, tetapi tidak untuk dikonsumsi, melainkan untuk ritual perkawinan. Seperti contohnya daerah Bugis dan Makassar. Di Jawa dalam acara formal dan ritual adat masih sering kali dijumpai peralatan nyirih, tetapi hanya sedikit orang yang masih mengonsumsinya. 

Lama kelamaan, tradisi nyirih mulai tergantikan dengan kebiasaan menghisap tembakau dalam bentuk rokok yang cukup banyak beredar. Hal tersebut menyebabkan kebiasaan nyirih dianggap jorok dan tidak higienis. 

Walaupun tradisi nyirih sudah mulai menghilang, masih banyak masyarakat daerah di pelosok Indonesia yang mengonsumsi nyirih, khususnya orang-orang tua dan pada saat dilakukan upacara ritual adat. 

Bagaimana? Apakah kalian mau mencoba nyirih? Siap-siap rasakan sensasinya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun