Mohon tunggu...
Andie Hazairin S
Andie Hazairin S Mohon Tunggu... -

Seorang yang ingin menambah kawan dan saling bertukar cerita.

Selanjutnya

Tutup

Money

Strategi Membentuk Perusahaan Joint Venture yang Menguntungkan (1)

11 Agustus 2015   17:07 Diperbarui: 4 April 2017   17:47 9458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Joint Venture bisa jadi merupakan hal baru bagi sebagian perusahaan-perusahaan di Indonesia yang sedang berkembang. Untuk menjadi besar, joint venture adalah salah satu jalan yang sangat menarik.

Sejumlah nama besar di Indonesia tumbuh dan berkembang bersama partner-partner joint venture-nya. Misalnya PT Astra International, Tbk yang mengelola sejumlah perusahaan joint venture di anak-anak usahanya seperti PT. Toyota Astra Motor (TAM) yang merupakan perusahaan joint venture antara PT Astra International, Tbk dengan Toyota Motor Corporation, Jepang. Lalu ada PT Astra Honda Motor (AHM), yang merupakan perusahaan joint venture antara PT. Astra International, Tbk dan Honda Motor Co, Ltd, Jepang. Belum lagi sejumlah perusahaan joint venture di level cucu perusahaan seperti PT Astra Otoparts, Tbk dan Denso Corporation, Jepang. Ada PT Akebono Brake Astra Indonesia, perusahaan joint venture antara PT. Astra Otoparts, Tbk dan Akebono Corporation, Jepang, dan masih banyak lagi.

Bagi perusahaan-perusahaan yang baru akan memulainya, membuat perusahaan joint venture adalah hal yang tidak mudah. Tidak banyak orang yang memiliki keahlian untuk melakukan negosiasi dalam pembentukan perusahaan joint venture. Sebab orang tersebut harus memiliki cara pandang helicopter view yang luas, memahami aspek komersial bisnis, memahami corporate finance, memahami cara pendanaannya, dan menguasai aspek legal. Lebih dari itu, orang itu juga harus memiliki jam terbang yang cukup dan kemampuan bernegosiasi yang handal.

Alasan Membentuk Joint Venture

Daya tarik seperti apa yang dicari oleh perusahaan asing sehingga mereka memilih untuk melakukan joint venture daripada mendirikan perusahaan sendiri? Pertama, biasanya partner asing akan datang bila kita memiliki akses yang kuat terhadap pasar di dalam negeri. Kedua, bila kita memiliki kedekatan atau kemudahan untuk berurusan dengan birokrasi pemerintahan dan menguasai seluk-beluk hukum yang berlaku. Ketiga, bila kita menguasai sumber daya alam yang melimpah, yang bisa menjamin ketersediaan bahan baku perusahaan joint venture. Keempat, bila kita mampu menyediakan sumber daya manusia yang siap untuk dilatih dan bekerja sebagai karyawan perusahaan joint venture dengan tingkat upah yang kompetitif. Kelima, bila kita mempunyai cukup modal untuk disetorkan bersama-sama secara proporsional sesuai kesepakatan, sehingga kita dan mereka akan berbagi risiko investasi dan risiko bisnis.

Sebaliknya, sebagian dari perusahaan lokal di dalam negeri pada umumnya enggan untuk berbagi kepemilikan. Apalagi bila mereka diminta untuk menjadi pemegang saham minoritas. Mereka sangat takut bila di masa yang akan datang bisnis mereka terdilusi dan dimakan oleh partner asingnya. Apalagi bila bisnis itu adalah bisnis keluarga. Sejumlah teman professional yang bekerja di perusahaan keluarga sempat bercerita bahwa mereka mempunyai kendala dalam membesarkan perusahaan karena biasanya para pemilik itu enggan untuk melakukan joint venture maupun aksi korporasi lainnya. Mereka lebih suka mempunyai perusahaan yang ukurannya kecil, tetapi 100% milik mereka. Daripada perusahaan mereka besar, tetapi mereka harus berbagi.

Nah, bagaimana caranya menjembatani agar perusahaan-perusahaan lokal bisa memetik manfaat dari joint venture dengan partner asing seperti PT Astra International, Tbk dan anak-anak perusahaannya misalnya? Sebab sayang sekali bila ada partner potensial dari luar negeri, yang mana mereka membawa brand internasional, teknologi, dan know how, namun kita tidak mau membentuk perusahaan joint venture dengannya hanya karena kita tidak mau berbagi share dengan mereka.

Tentukan Tujuan Membentuk Joint Venture

Saat ini sekitar 35% dari pendapatan perusahaan global berasal dari aktivitas bisnis non operasional, antara lain melalui partnership, aliansi, dan joint venture. Hal itu dikatakan oleh Dr. Marc van Grondelle dari KPMG dalam artikelnya yang berjudul “Joint Venturesthe “New Normal” for Corporate Growth”. Artinya, sekitar sepertiga perusahaan global telah menikmati pendapatan dari aktivitas bisnis non operasionalnya. Jadi, joint venture adalah bisnis sampingan yang menghasilkan. Studi kasus terhadap PT Astra International, Tbk akan menjelaskan perihal bisnis seperti apa yang harus dipegang sendiri kendalinya, dan mana yang bisa dilakukan bersama-sama dengan partner joint venture.

Pada umumnya pembentukan perusahaan joint venture ditujukan untuk melakukan ekspansi bisnis. Ekspansi itu bisa dilakukan ke depan (forward integration), yaitu dengan memperbesar pangsa pasar, atau ke belakang (backward integration), dengan menguasai sebagian saham milik supplier, sehingga perusahaan mendapatkan prioritas pasokan dengan harga yang bagus. Atau bisa juga ekspansi dilakukan dengan kombinasi ke depan dan ke belakang. Namun pada intinya bisa diambil benang merah bahwa ekspansi pastilah dimaksudkan untuk menambah pendapatan dan/atau memperbesar laba bersih.

Kegagalan perusahaan joint venture kerapkali terjadi manakala dari awal tujuan dari pembentukan joint venture tersebut tidak jelas, dan biasanya jauh melenceng dari bisnis utama perusahaan. Seorang direktur sebuah group besar yang juga seorang ekspatriat pernah bercerita betapa dia harus pecah kongsi dengan partner lokalnya. Setelah sekian lama berjalan, partner lokalnya menanyakan mengapa perusahaan joint venture mereka tidak kunjung membukukan laba dan membagi dividen? Ternyata sejak awal pendirian, perusahaan joint venture itu hanya didirikan atas dasar keyakinan bahwa bisnis itu prospektif, atas dasar saling percaya antara kedua belah pihak, sehingga tidak dilakukan perhitungan atas feasibility study dengan serius. Akibatnya, anggaran investasinya membengkak berlipat-lipat, dan bahkan perusahaan tersebut tidak pernah bisa menutup biaya operasionalnya. Partner lokal menuduh sang partner asing berbuat curang. Singkat cerita kedua belah pihak berselisih, dan akhirnya pecah kongsi.

Cerita lain adalah ketika seorang pengusaha mengatakan bahwa dia melakukan joint venture dengan perusahaan asing hanya untuk menaikkan citra groupnya. Tanpa banyak bicara dia menandatangani perjanjian joint venture dengan partner asingnya itu. Belakangan dia menyesal, mengapa dia tidak mengkaji dengan benar sebelum melakukan joint venture dengan partnernya itu. Banyak hal yang membuatnya merasa dirugikan, tetapi mau tidak mau dia harus tetap melakukannya karena sudah tercantum di dalam perjanjian joint venture. Kerja bakti deh jadinya.

Studi Kasus PT Astra International, Tbk

PT Astra International, Tbk, perusahaan merupakan perusahaan publik yang 50,11% sahamnya dikuasai oleh Jardine Cycle & Carriage Limited Singapore yang juga anak usaha dari Jardine Matheson Holdings Limited Bermuda dan Jardine Strategic Holdings Limited Bermuda atau Jardine Group. Adapun 48,89% saham lainnya dimiliki oleh publik yang masing-masing menguasai kurang dari 5% sahamnya. Di sini jelas, bahwa pengendali perusahaan adalah Jardine Group, sedangkan pemilik saham lainnya adalah investor publik, yang dengan otomatis dan serta merta menyerahkan pengendalian perusahaan kepada Jardine Group. Di level ini tidak dikenal adanya joint venture dengan pihak manapun juga.

PT Astra International, Tbk ini adalah tipe perusahaan operating holdings, yaitu perusahaan yang selain menjadi induk dari anak-anak perusahaannya, dia juga mempunyai aktivitas bisnis operasional langsung, seperti Toyota Sales Operation, Honda Sales Operation, Daihatsu Sales Operation, Isuzu Sales Operation, UD Trucks Sales Operation, BMW Sales Operation, Peugeot Sales Operation, dan Astraworld. Di level ini tidak dikenal adanya joint venture dengan pihak manapun juga. Bisa dikatakan bahwa aktivitas bisnis operasional ini adalah bisnis utama dari PT Astra International, Tbk, yang mayoritas bergerak di bidang perdagangan otomotif, dan kendali sepenuhnya ada di tangan mereka.

Turun satu level di bawahnya ada perusahaan-perusahaan sub holding, yaitu anak-anak perusahaan PT Astra International, Tbk yang menjadi holding bagi cucu-cucu perusahaan. Perusahaan-perusahaan subholding seperti Astra Motor I-IV, Astra Financial Services & Banking, dan Astra Heavy Equipment & Mining Value Chain adalah perusahaan-perusahaan yang tegas-tegas dibuat untuk mendukung kelangsungan aktivitas bisnis utama perusahaan. Sementara Astra Resources yang bergerak di bidang agribisnis, Astra System yang bergerak di bidang dokumen, IT Services, logistic & value chain, dan Astra Infrastruktur dibuat sebagai bentuk diversifikasi usaha perusahaan yang tidak secara langsung mendukung bisnis utama perusahaan.

Di level satu tingkat di bawah PT Astra International, Tbk ini terdapat beberapa perusahaan joint venture dengan sejumlah partner strategik. Misalnya PT Astra Honda Motor di Astra Motor I yang merupakan perusahaan joint venture antara PT Astra International, Tbk dan Honda Motor Co, Ltd Jepang dengan komposisi saham 50:50 dan merupakan perusahaan joint venture dengan pola joint control, yaitu dikelola secara bersama-sama antara kedua belah pihak. Ada juga yang unik, yaitu pada pola joint venture antara PT Astra International, Tbk dan Toyota Motor Corporation, Jepang pada PT Toyota Astra Motor (TAM). Walaupun memiliki 51% saham dimiliki oleh PT Astra International, Tbk, namun sesuai dengan kesepakatan para pemegang saham, pengelolaan TAM dilakukan secara joint control. Salah satunya adalah dengan adanya rolling Presiden Direktur TAM antara kedua belah pihak dalam kurun waktu tertentu yang telah disepakati sebelumnya.

Masih ada beberapa perusahaan joint venture di level satu tingkat di bawah PT Astra International, Tbk yang dikelola secara joint control, antara lain : PT Bank Permata, Tbk (44,52%), PT. Toyota Astra Financial Services (50%), PT. Isuzu Astra Motor Indonesia (44,94%), PT. Astra Auto Finance (60%), dan lain-lain.

Selanjutnya di level dua tingkat di bawah PT Astra International, Tbk, ada sejumlah perusahaan joint venture yang didirikan di bawah sub holding. Beberapa di antaranya dikelola secara joint control juga, antara lain : PT. Kayaba Indonesia (PT Astra Otoparts, Tbk memiliki 50%), PT. Akebono Brake Astra Indonesia (PT Astra Otoparts, Tbk memiliki 50%), PT. GS Battery (PT Astra Otoparts, Tbk memiliki 50%), PT. Aisin Indonesia (PT. Astra Otoparts, Tbk memiliki 34%), dan lain-lain.

Ada juga perusahaan-perusahaan joint venture yang dicatat sebagai equity method atau penyertaan saja sebagai perusahaan asosiasi. Misalnya penyertaan saham PT. Astra Otoparts, Tbk pada PT. Denso Indonesia yang hanya sebesar 25,66%. Namun demikian, perusahaan joint venture tersebut menjadi perusahaan yang strategis bagi PT Astra Otoparts, Tbk. Sebab PT Denso Indonesia adalah salah satu penyumbang dividen yang signifikan bagi PT. Astra Otoparts, Tbk. Demikian pula ada PT. TD Automotive Compressor Indonesia yang sahamnya dimiliki oleh PT. Astra Otoparts, Tbk sebesar 25,7%. Istilahnya, Astra hanya menitipkan investasinya di perusahaan-perusahaan asosiasi tersebut dengan pengelolaan diserahkan kepada partnernya. Astra hanya akan menerima dividen setiap tahunnya dari mereka.

Memulai Pembentukan Perusahaan Joint Venture

Pertanyaan pertama yang akan muncul adalah, bagaimana cara menemukan partner untuk membentuk perusahaan joint venture? Bila perusahaan kita memiliki daya tarik seperti telah dijelaskan sebelumnya, maka kita akan didatangi oleh calon partner asing. Calon partner terdekat yang akan datang biasanya adalah konsumen perusahaan kita atau supplier perusahaan kita. Bila mereka konsumen kita, kemungkinan mereka ingin memastikan agar pasokan barang dari kita akan berjalan lancar. Bila itu datang dari supplier kita, kemungkinan mereka ingin agar jualan mereka bisa lebih ditingkatkan dengan menggandeng kita lebih erat.

Dalam contoh kasus PT Astra International, Tbk, maka posisi Astra sebelumnya adalah konsumen dari Toyota Motor Corporation, Jepang di mana awalnya Astra mendistribusikan mobil-mobil buatan Toyota di Indonesia pada tahun 1969. Melihat potensi pasar yang prospektif ke depannya, maka pada tahun 1971 didirikanlah perusahaan joint venture antara Astra dan Toyota dengan nama PT Toyota Astra Motor (TAM) dan menjadi Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) Toyota. Semula TAM hanya berfungsi sebagai perusahaan importir mobil Toyota. Namun tak lama kemudian, TAM berfungsi sebagai distribusi mobil Toyota di Indonesia, hingga pada hari ini kita bisa melihat PT Astra International, Tbk sebagai pemimpin pasar otomotif di Indonesia. Bahkan tidak hanya itu, PT. Astra International, Tbk berkembang sedemikian rupa hingga memiliki ratusan anak perusahaan, sendiri maupun joint venture.

Cara lainnya adalah melalui mediator. Ada perusahaan joint venture yang tidak bisa disebutkan namanya didirikan melalui mediasi. Salah satu produsen ban papan atas dunia mencari partner untuk membuat perusahaan joint venture di Indonesia. Mediasi dilakukan dengan mempertemukan perwakilan perusahaan ban asing tersebut dengan CEO perusahaan komponen di Indonesia. Setelah dilakukan sejumlah pertemuan dan diskusi, maka didirikanlah perusahaan joint venture yang memproduksi ban kelas dunia itu di Indonesia.

Ada juga cerita di mana sebuah perusahaan di Amerika Serikat mengirim email ke CEO sebuah group perusahaan di Indonesia. Mereka berkenalan via email, lalu janjian untuk bertemu. Hasilnya saat ini mereka mempunyai perusahaan joint venture tipe joint control dengan kepemilikan 50 : 50.

Selain itu, bank-bank Jepang yang ada di Indonesia biasanya dengan senang hati memperkenalkan perusahaan-perusahaan Jepang yang akan berekspansi untuk membuat perusahaan joint venture di Indonesia. Selebihnya ilustrasi-ilustrasi tersebut hanyalah contoh bagaimana sebuah perusahaan joint venture dimulai. Pada prakteknya, pasti ada banyak cara untuk memulai suatu joint venture.

Membuat Parameter Joint Venture

Membuat parameter joint venture adalah suatu hal yang harus dilakukan sebelum melakukan apa pun dalam pembentukan perusahaan joint venture. Parameter tersebut antara lain adalah :

  1. Apakah bisnis yang akan dimasuki mendukung bisnis utama yang sudah ada atau tidak? Untuk tahap awal, sebaiknya bisnis yang akan dimasuki adalah bisnis yang mendukung bisnis utama perusahaan. Mengapa? Karena perusahaan telah mempunyai core competency yang terkait dengan bisnis tersebut, sehingga learning curve untuk bisnis tersebut bisa dipersingkat.
  2. Berapa besaran nilai investasi yang akan dimasukkan? Harus diperhitungkan masak-masak agar tidak mengganggu cashflow perusahaan induk. Misalnya maksimal Rp 250 milyar, Rp 500 milyar, atau Rp 1 trilyun. Lebih dari besaran angka aman, tinggalkan.
  3. Berapa Internal Rate of Return (IRR) minimal yang harus didapat? IRR adalah tingkat pengembalian dari investasi yang dilakukan. Besaran angka IRR ini harus lebih besar daripada bila menginvestasikan dana ke deposito di bank ataupun reksadana. Bila investasi tersebut dibiayai dengan pinjaman, maka IRR harus lebih besar dari suku bunga pinjaman. Investasi baru bisa disebut layak bila IRR-nya berada di atas batas IRR yang telah ditetapkan. Misalnya di atas 15%.
  4. Berapa lama Pay Back Period (PBP) dari investasi tersebut? Pay back period adalah jangka waktu pengembalian dari investasi yang telah dilakukan. Semakin pendek PBP, maka semakin bagus. Semakin panjang PBP, semakin berisiko investasi tersebut. Angka moderat PBP adalah 5 tahun. Sebab kita tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi lebih dari 5 tahun yang akan datang.
  5. Net Present Value (NPV) harus positif. NPV adalah selisih antara uang yang dikeluarkan dan uang yang diterima pada suatu periode waktu tertentu dengan memperhatikan time value of money. NPV ini harus positif. Sebab bila dalam perhitungannya NPV sudah negatif, maka dalam implementasinya besar kemungkinan akan lebih dalam negatifnya. Artinya, investasi yang dilakukan akan tekor.

Contoh dari pembuatan parameter joint venture tersebut adalah sebagai berikut :

Perusahaan A adalah perusahaan yang bergerak di bidang penjualan mobil. Perusahaan tersebut akan membentuk sebuah perusahaan joint venture dengan partner asing untuk memproduksi aki mobil. Dari parameter nomer 1, maka jelas bahwa aki mobil adalah bisnis yang terkait dengan bisnis utamanya.

Besaran investasi maksimal yang bisa dilakukan oleh Perusahaan A adalah sebesar Rp 250 milyar. IRR minimal adalah 15%, PBP maksimal 5 tahun, dan NPV positif. Kelima parameter tersebut sudah disetujui oleh para pemegang sahamnya.

Parameter-parameter tersebut adalah patokan-patokan dasar yang harus diperhatikan. Tanpa ditetapkan parameter-parameter seperti itu, bisa jadi perusahan joint venture yang dibentuk bisa jadi hanya akan menjadi kerja bakti, atau bahkan kerja rodi tanpa hasil. Selamat membentuk perusahaan joint venture.

 

(Andie Hazairin S, Chief of Group Treasury & Investor Relations pada PT Haka Sarana Investama (Holding of Kalla Group), former Head of Corporate Finance & Treasury pada PT Astra Otoparts, Tbk, dan former Head of Corporate Treasury pada PT Astra Sedaya Finance).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun