Mohon tunggu...
Andi Darlis
Andi Darlis Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pancasila dalam Turbulensi Kebangsaan

2 Juni 2017   09:06 Diperbarui: 2 Juni 2017   09:22 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pancasila adalah gagasan, ide, nilai dan tata laku merupakan kristalisasi  dari sejumlah tata nilai dan kearifan budaya serta realitas kehidupan dalam masyarakat Indonesia. Sebagai sebuah gagasan atau ide, Pancasila bukanlah khayalan ataupun gagasan absurd ia berada dalam spektrum budaya nasional kita.  Dalam kondisi kekinian kita saat ini Pancasila sebagai sebuah ideologi negara menghadapi banyak tantangan dan ancaman.

Ancaman terhadap Pancasila datang dari luar dan dalam negeri. Ancaman dari luar berupa masuknya isme-isme asing seperti liberalisme, kapitalisme dan neoliberalisme serta paham-paham lainnya. Sementara dari dalam muncul keinginan dari pihak tertentu untuk mengganti dasar dan bentuk negara berlandaskan agama Islam. 

Kekuatan dan daya tahan sebuah ideologi  dalam menghadapi tantangan dan ancaman sangat tergantung pada pemahaman dan implementasinya dalam kehidupan kebangsaan kita yang saat ini berada diambang perpecahan.  Kuatnya intrusi pengaruh dari luar dan lemahnya ketahanan nasional saat ini menjadi ancaman langsung terhadap Pancasila besutan founding fathers kita.  Masuknya kekuatan luar yang memiliki kepentingan di Indonesia dan timbulnya gejolak sosial dalam negeri seolah berkolaborasi menghancurkan sendi-sendi negara. 

Pancasila sebagai vis obligandi menjadi kehilangan daya magisnya untuk tetap menjadi pengarah dalam hidup berbangsa dan bernegara ditengah hiruk pikuk turbulensi politik kebangsaan kita.   Menguatnya politik identitas menjadi indikasi utama retaknya rasa nasionalisme kita sebagai sebuah bangsa. Masing-masing pihak ingin menunjukkan kekuatan dan pengaruh libido dominandi terhadap satu sama lain yang pada akhirnya berujung pada konflik sesama anak bangsa. Hal ini kemudian menjadi peluang bagi kekuatan asing untuk bermain proxy dengan menggunakan Indonesia sebagai “bidak catur” dalam upayanya menguasai Indonesia.

Pancasila sebagai weltanschauung dan code of conduct juga telah kehilangan daya tariknya sebagai pembimbing kehidupan sosial kemasyarakatan.   Hal itu dapat kita lihat dari meningkatnya intensitas konflik baik vertikal maupun horisontal. Perseteruan antar elit dan kelompok massa menjadi pemandangan sehari-hari yang mengisi memori kolektif kita sebagai bangsa. Akibatnya kita terbelah sebagai bangsa dan generasi muda kehilangan pegangan serta sulit mencari contoh teladan yang membuat mereka cenderung menganut nilai-nilai yang jauh dari budaya nasional dan agama. Jika sekiranya Pancasila masih menjadi   driving force kita dalam berbangsa dan bernegara tentu kondisi kekinian kita  tidak seperti yang terjadi saat ini.

Peran Elit.

Elit dalam kehidupan sosial dan struktur kekuasaan adalah sekelompok orang yang memengaruhi dan menjadi pemimpin dalam kehidupan nasional. Elit merupakan kelompok kecil dari warganegara yang berkuasa dalam sistem politik. Mereka ini memiliki kuasa dan kewenangan yang luas untuk mendinamiskan struktur dan fungsi sebuah sIstem politik. Secara operasional para elit politik atau elit penguasa mendominasi segi kehidupan dalam sistem politik. Penentuan kebijakan sangat ditentukan oleh kelompok elit politik tersebut (Gaetano Mosca). 

Selain elit politik juga terdapat elit massa yang juga memiliki peran signifikan dalam masyarakat, meskipun tidak ikut menentukan kebijakan publik tetapi dapat menjadi faktor penting dalam dinamika atau perubahan sosial. Kedua jenis dan strata elit ini seyogyanya berkolaborasi dan bersinergi secara positif menggalang persatuan untuk ketahanan nasional.  Bukan mempertontonkan perilaku yang tidak patut, bersikap dan bertindak kurang bijak yang melahirkan antipati sosial. 

Kelemahan mendasar para elit kita adalah kurangnya integritas, ego sentrisme, menghujat, dan mudah diadu domba. Golongan elit seharusnya sudah selesai dengan dirinya, tidak lagi berbicara pada tataran pribadi dan kelompok tetapi sudah berjuang dengan visi misi yang menjangkau kedepan untuk meraih cita-cita nasional. Keberadaan elit di strata tertinggi dalam piramida pelapisan sosial dan struktur pemerintahan seharusnya menjadikan elit kita lebih arif, mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk bangsa bukan saling tuding yang merusak kewibawaan dan sangat tidak produktif bagi kemajuan bangsa dan tentu saja menjadi contoh buruk bagi perkembangan jiwa generasi muda yang masih sibuk mencari jati diri.

Pekan pancasila

Penetapan  29 Mei – 4 Juni 2017 sebagai  Pekan Pancasila oleh Presiden RI Joko Widodo merupakan salah satu upaya pemerintah untuk merekonstruksi ingatan kebangsaan kita terhadap nilai-nilai dasar Pancasila yang secara masif mulai tergerus oleh beragam nilai-nilai asing.  Pekan Pancasila  dapat menjadi refleksi bagi kita semua untuk kembali merenung dan bertanya akan kemana kita sebagai bangsa. Melalui Pekan Pancasila ini pula kita secara bersama dengan seluruh elemen bangsa dapat me-revitalisasi spirit Pancasila sebagai ideologi negara agar kita kembali ke jatidiri sebagai bangsa Indonesia yang memiliki kesantunan dan keadaban dalam semua aspek kehidupan.  

Dalam konteks ini para elit/tokoh nasional harus berdiri didepan dan memberi contoh yang baik sesuai dengan kodrat kita sebagai bangsa Indonesia.  Sekali lagi kita berharap bahwa ancaman turbulensi terhadap Pancasila dan retaknya hubungan sosial kita sesama anak bangsa hanya  dapat diobati dengan penampilan elit kita yang berlandaskan norma-norma yang tercermin dalam dasar negara kita. 

Hal ini penting agar generasi muda bisa mencari tokoh panutan yang baik untuk dijadikan patron sebagai dasar bertindak kelak ketika mereka juga bermetamorposis masuk dalam jajaran elit nasional.  Sikap arogansi yang terkadang menumpulkan akal sehat sejauh mungkin harus dihindari agar tidak menjadi virus yang dapat mengontaminasi masyarakat grass root. Demokrasi yang dibangun jangan sampai kontraproduktif dengan nilai-nilai kemanusiaan berupa timbulnya “dominasi mayoritas” atau “tirani mayoritas” yang justru membahayakan demokrasi. Mari berkontemplasi di Pekan Pancasila ini untuk menghidupkan kembali spirit kebangsaan kita, segelap apapun dunia ini, Pancasila harus tetap menjadi pelita bangsa.(amd).  ---

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun