Karena kejadian ini tidak diprediksi sebelumnya, pada masa ini Pemerintah belum memiliki program dan alokasi dana yang cukup untuk bisa secepatnya memenuhi semua kebutuhan tersebut, termasuk kebutuhan pangan masyarakat. APBN/APBD/APBDes Tahun 2020 yang telah ditetapkan pada tahun 2019 silam belum memberikan ruang untuk bergerak cepat mengatasi masalah ini. Begitupula terkait keamanan negara, hampir bisa dipastikan bahwa pada saat itu, aparat keamanan pun belum sigap menghadapi kondisi tersebut, karena belum ada kejelasan seperti apa potensi kerawanan/konflik yang terjadi dibalik pandemi tersebut.Â
Nah, dalam kondisi seperti ini, bisa dibayangkan apa saja yang akan terjadi ketika secara tiba-tiba dilakukan "lockdown" di wilayah Indonesia atau Jabodetabek? (saya tidak mau ikut membayangkan...).
Maka yang dilakukan Pemerintah saat itu adalah secepatnya membuka ruang agar dapat menggunakan ABPN/APBD dalam memenuhi kebutuhan tersebut secara cepat dengan menerbitkan Instruksi Presiden (INPRES) Nomor 4 Tahun 2020 tentang Refocussing Kegiatan, Realokasi Anggaran serta Pengadaan Barang dan Jasa dalam rangka Percepatan Penanganan COVID-19. Pada masa ini, bersama BUMN, Pemerintah pun mulai menggencarkan pengadaan Falkes, APD, Rapid/PCR test, dan obat-obatan, seperti pembuatan Rumah Sakit Darurat baik di Wisma Atlit & Pulau Galang dan pengadaan APD dari luar negeri. Begitupula dengan tenaga medis, sudah lebih sigap dan keberadaan laboratorium untuk pengujian PCR sudah mulai diinstal pada beberapa daerah di luar Jabodetabek. Artinya bahwa pada masa awal ini, Pemerintah terlihat lebih berkonsentrasi pada pengadaan "peralatan perang" yang lebih optimal dan merata untuk seluruh wilayah Indonesia.
Diwaktu yang bersamaan, Pemerintah juga mulai menggodok strategi dalam menghadapi dampak yang ditimbulkan dalam "peperangan" ini. Selain Social Safety Net, faktor keamanan pun mulai menjadi konsentrasi Pemerintah. Pada masa ini, masyarakat diarahkan untuk bisa bertahan dan melakukan aktivitas yang lebih produktif dengan tetap menjaga standar/protokal kesehatan, begitupula aparat keamanan, juga mulai digerakkan untuk mengawasi pembatasan aktivitas masyarakat (pelarangan untuk berkumpul). Selain itu, Pemerintah juga mulai menyiapkan insentif dan program sosial bagi pelaku usaha dan masyarakat yang diprediksi akan terkena dampak atas mewabahnya covid-19 dan adanya pembatasan aktivitas masyarakat tersebut.
Nah, ketika Pemerintah telah memiliki peralatan tempur yang memadai dan strategi berlapis (solusi) dalam menangani dampak yang ditimbulkan dari peperangan ini maka Pemerintah pun mulai melakukan perang yang sesungguhnya.
Pada masa ini, disaat Pemerintah/Pemerintah Daerah sudah siap menghadapi segala konsekuensi dari pembatasan aktivitas masyarakat maka kran untuk melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) telah dibuka. Bahkan untuk wilayah Jabodetabek dan beberapa wilayah di Indonesia, pintu-pintu keluar masuk dari dan ke wilayah itu pun mulai ditutup rapat sejak tanggal 24 April 2020. Transportasi laut, udara dan darat (Menggunakan Kereta Api, Mobil & Motor) untuk mengangkut penumpang akhirnya ditutup total. Sanksi pun telah disiapkan bagi siapa saja yang melanggarnya.
Sebagai Panglima Perang di Indonesia, inilah wujud dari strategi Perang Presiden Jokowi melawan covid-19.
Tampaknya, dengan data-data yang beliau miliki (tentunya lebih lengkap dan valid daripada data yang kita miliki sebagai masyarakat awam), beliau tidak ingin gegabah (grasa grusu) dalam melakukan peperangan ini. Secara bertahap, beliau memulainya dengan membenahi diri (Pemerintah) serta menjamin ketersediaan fasilitas kesehatan, sosial, ketahanan pangan dan keamanan masyarakat terlebih dahulu. Setelah hal tersebut dirasa cukup terpenuhi dan kesadaran masyarakat telah tinggi atas keberadaan lawan sesungguhnya (virus covid-19), barulah beliau melakukan pembatasan yang lebih ketat daripada sebelumnya.
Pernyataan beliau yang perlu untuk dicatat dan dimaknai secara seksama pada acara Mata Najwa tersebut adalah "Membuat masyarakat tidak panik itu juga merupakan suatu keputusan" dan "Tidak bisa seperti itu, Itu yang saya tidak bisa, membiarkan masyarakat mencari solusi sendiri-sendiri atas pembatasan yang dilakukan oleh Pemerintah".Â
Dalam hal ini, Presiden Jokowi sepertinya tidak ingin Peperangan melawan covid-19 ini menimbulkan banyak korban. Kondisi kesehatan dan ekonomi masyarakat bukan untuk dipertentangkan, namun harus dibenahi secara bersamaan. Jika pun ada yang harus dikorbankan, bukan masyarakat kecil/tidak mampu dari sisi ekonomi, karena merekalah yang seharusnya paling diperhatikan ketahanannya dalam menghadapi peperangan ini. Komitmen dan strategi pengambilan keputusan Presiden Jokowi ini juga terkonfirmasi melalui pernyataan Bapak Prabowo Subianto, sebagai Ketua Umum Partai Gerindra dan Menteri Pertahanan pada Kabinet Indonesia Maju. (Videonya dapat dilihat disini).Â
Oleh karena itu, sebagai warga negara biasa, yang bukan merupakan tenaga medis, relawan ataupun aparat keamanan yang berada di garda terdepan. Dalam peperangan ini, hanya satu yang bisa saya lakukan, yaitu taat atas imbauan Panglima Perang.