Mohon tunggu...
Andi Chairil Furqan
Andi Chairil Furqan Mohon Tunggu... Dosen - Menelusuri Fatamorgana

Mengatasi Masalah Dengan Masalah Baru

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Terungkap "Strategi Perang" Presiden Jokowi Melawan Covid-19 di Indonesia

25 April 2020   04:27 Diperbarui: 25 April 2020   12:25 1287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Tentunya saya tidak akan ikut dalam polemik "Mudik / Pulang Kampung" pada program acara Mata Najwa yang bertajuk "Jokowi Diuji Pandemi" sebagaimana ramai diperbincangkan Masyarakat Indonesia saat ini (video lengkap pernyataan Presiden Jokowi disini), namun dari keseluruhan wawancara antara Najwa Shihab dengan Presiden Jokowi pada saat itu dan melihat pola kebijakan Pemerintah akhir-akhir ini, maka dapat terlihat bagaimana sebenarnya pola ataupun "Strategi Perang" Presiden Jokowi melawan Covid-19 di Indonesia.

Pada tulisan sebelumnya yang berjudul "Menguak Jokowi Surprise Effect" (dapat dilihat disini), dapat dikatakan bahwa Presiden Jokowi merupakan tipe seorang manusia yang berani mengambil resiko, "out of the box", kekinian, kreatif (banyak ide), dan unpredictable. Karenanya, terkadang perlu waktu untuk kita (terutama masyarakat awam) yang jauh dari lingkaran istana untuk mengetahui seperti apa maksud dari suatu kebijakan yang diambilnya, termasuk dalam memerangi Covid-19 di Indonesia saat ini.

Pada tanggal 2 Maret 2020, awal publikasi pasien positif Covid-19 di Indonesia yang dilakukan sendiri oleh Presiden Jokowi didampingi Menkes Terawan Agus Putranto, Mensesneg Pratikno, dan Seskab Pramono Anung di beranda Istana Merdeka pada saat itu terkesan sangat santai. Bahkan banyak pihak membandingkannya dengan negara lain (seperti Singapura, Korsel dan Jepang) yang terlihat lebih serius dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini.

Sejak saat itu, tuntutan untuk melakukan "lockdown" sebagaimana dilakukan di Wuhan (pusat pandemi Covid-19), semakin dilancarkan oleh berbagai pihak. Bahkan tanpa adanya lockdown, beberapa pihak memprediksi bahwa Indonesia akan menjadi Episentrum baru Virus Corona Dunia Setelah Wuhan.

Namun lagi-lagi Pemerintah seakan-akan tidak bergeming atas semua tuntutan itu, bahkan Jawaban Pemerintah saat itu pun terlihat kurang tegas, hanya mengatakan bahwa "sampai saat ini Pemerintah belum ada pemikiran untuk melakukan lockdown" dengan argumen seadanya.

Puncaknya, ketika terungkap bahwa telah ada lebih dari 70 ribu warga telah meninggalkan Ibu Kota kembali ke kampung halamannya masing-masing sejak masa tanggap darurat Covid-19 hingga 31 Maret dan ditemukan bahwa salah satu penyebab penyebaran covid-19 di daerah-daerah akibat dari masyarakat yang berasal dari wilayah Jabodetabek, sejak saat itu, tudingan yang mengatakan Pemerintahan Jokowi tidak serius, abai, kurang tegas, lambat dalam merespon penyebaran covid-19 dan lebih mementingkan masalah ekonomi dibandingkan kesehatan masyarakat pun semakin bersileweran di tengah-tengah masyarakat.

Lantas apakah benar tudingan itu? Seperti itukah Presiden Jokowi?...

Untuk menjawabnya, mari kita urai satu persatu pola kebijakan yang dikeluarkan Presiden Jokowi dalam memerangi covid-19 ini secara bertahap:

Walaupun sebenarnya telah dilakukan gerakan "bawah tanah" yang masyarakat tidak mengetahuinya secara pasti apa saja itu, kebijakan Pertama yang dikeluarkan oleh Pemerintah yang diketahui oleh publik terkait dengan penanganan covid-19 ini adalah pembentukan tim "Gugus Tugas Pusat" yang diketuai oleh Kepala Basarnas. Dari sini terlihat strategi Pemerintah untuk menyatukan kekuatan, agar penanganan covid-19 di Indonesia dapat terkoordinir dan dilakukan dibawah satu komando.

Pada masa ini, harus diakui bahwa "peralatan tempur" belum memadai, sehingga dapat dikatakan Pemerintah belum siap untuk melakukan peperangan. Di Jakarta saja (sebagai ibukota negara), jumlah fasilitas kesehatan (rumah sakit dan peralatan penunjangnya lainnya) masih sangat minim, protap penanganan pasien covid-19 belum sempurna dan terkoodinir dengan baik, ketersediaan APD masih sangat kurang, termasuk laboratorium untuk pengujian PCR, baru tersedia satu. Apalagi di daerah-daerah, tidak mempunyai senjata sama sekali untuk bisa bertempur. 

Sementara pada tingkat pelaku usaha dan masyarakat, sejak awal bulan maret tersebut, kepanikan mulai terjadi. Tidak hanya IHSG di pasar modal dan nilai tukar mata uang rupiah terhadap dollar Amerika yang mulai merosot tajam, dengan edukasi/pemahaman terkait Covid-19 yang terbatas, sempat terjadi "punic buying" yang melanda warga sekitar Jabodetabek, bahkan karena kegelisahannya, masyarakat mulai berbondong-bondong mengunjungi klinik/puskesmas/rumah sakit untuk memeriksakan diri dan meyakinkan bahwa dirinya tidak terkena covid-19, sehingga penumpukan pasien pun terlihat di tempat-tempat tersebut.  

Karena kejadian ini tidak diprediksi sebelumnya, pada masa ini Pemerintah belum memiliki program dan alokasi dana yang cukup untuk bisa secepatnya memenuhi semua kebutuhan tersebut, termasuk kebutuhan pangan masyarakat. APBN/APBD/APBDes Tahun 2020 yang telah ditetapkan pada tahun 2019 silam belum memberikan ruang untuk bergerak cepat mengatasi masalah ini. Begitupula terkait keamanan negara, hampir bisa dipastikan bahwa pada saat itu, aparat keamanan pun belum sigap menghadapi kondisi tersebut, karena belum ada kejelasan seperti apa potensi kerawanan/konflik yang terjadi dibalik pandemi tersebut. 

Nah, dalam kondisi seperti ini, bisa dibayangkan apa saja yang akan terjadi ketika secara tiba-tiba dilakukan "lockdown" di wilayah Indonesia atau Jabodetabek? (saya tidak mau ikut membayangkan...).

Maka yang dilakukan Pemerintah saat itu adalah secepatnya membuka ruang agar dapat menggunakan ABPN/APBD dalam memenuhi kebutuhan tersebut secara cepat dengan menerbitkan Instruksi Presiden (INPRES) Nomor 4 Tahun 2020 tentang Refocussing Kegiatan, Realokasi Anggaran serta Pengadaan Barang dan Jasa dalam rangka Percepatan Penanganan COVID-19. Pada masa ini, bersama BUMN, Pemerintah pun mulai menggencarkan pengadaan Falkes, APD, Rapid/PCR test, dan obat-obatan, seperti pembuatan Rumah Sakit Darurat baik di Wisma Atlit & Pulau Galang dan pengadaan APD dari luar negeri. Begitupula dengan tenaga medis, sudah lebih sigap dan keberadaan laboratorium untuk pengujian PCR sudah mulai diinstal pada beberapa daerah di luar Jabodetabek. Artinya bahwa pada masa awal ini, Pemerintah terlihat lebih berkonsentrasi pada pengadaan "peralatan perang" yang lebih optimal dan merata untuk seluruh wilayah Indonesia.

Diwaktu yang bersamaan, Pemerintah juga mulai menggodok strategi dalam menghadapi dampak yang ditimbulkan dalam "peperangan" ini. Selain Social Safety Net, faktor keamanan pun mulai menjadi konsentrasi Pemerintah. Pada masa ini, masyarakat diarahkan untuk bisa bertahan dan melakukan aktivitas yang lebih produktif dengan tetap menjaga standar/protokal kesehatan, begitupula aparat keamanan, juga mulai digerakkan untuk mengawasi pembatasan aktivitas masyarakat (pelarangan untuk berkumpul). Selain itu, Pemerintah juga mulai menyiapkan insentif dan program sosial bagi pelaku usaha dan masyarakat yang diprediksi akan terkena dampak atas mewabahnya covid-19 dan adanya pembatasan aktivitas masyarakat tersebut.

Nah, ketika Pemerintah telah memiliki peralatan tempur yang memadai dan strategi berlapis (solusi) dalam menangani dampak yang ditimbulkan dari peperangan ini maka Pemerintah pun mulai melakukan perang yang sesungguhnya.

Pada masa ini, disaat Pemerintah/Pemerintah Daerah sudah siap menghadapi segala konsekuensi dari pembatasan aktivitas masyarakat maka kran untuk melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) telah dibuka. Bahkan untuk wilayah Jabodetabek dan beberapa wilayah di Indonesia, pintu-pintu keluar masuk dari dan ke wilayah itu pun mulai ditutup rapat sejak tanggal 24 April 2020. Transportasi laut, udara dan darat (Menggunakan Kereta Api, Mobil & Motor) untuk mengangkut penumpang akhirnya ditutup total. Sanksi pun telah disiapkan bagi siapa saja yang melanggarnya.

Sebagai Panglima Perang di Indonesia, inilah wujud dari strategi Perang Presiden Jokowi melawan covid-19.

Tampaknya, dengan data-data yang beliau miliki (tentunya lebih lengkap dan valid daripada data yang kita miliki sebagai masyarakat awam), beliau tidak ingin gegabah (grasa grusu) dalam melakukan peperangan ini. Secara bertahap, beliau memulainya dengan membenahi diri (Pemerintah) serta menjamin ketersediaan fasilitas kesehatan, sosial, ketahanan pangan dan keamanan masyarakat terlebih dahulu. Setelah hal tersebut dirasa cukup terpenuhi dan kesadaran masyarakat telah tinggi atas keberadaan lawan sesungguhnya (virus covid-19), barulah beliau melakukan pembatasan yang lebih ketat daripada sebelumnya.

Pernyataan beliau yang perlu untuk dicatat dan dimaknai secara seksama pada acara Mata Najwa tersebut adalah "Membuat masyarakat tidak panik itu juga merupakan suatu keputusan" dan "Tidak bisa seperti itu, Itu yang saya tidak bisa, membiarkan masyarakat mencari solusi sendiri-sendiri atas pembatasan yang dilakukan oleh Pemerintah". 

Dalam hal ini, Presiden Jokowi sepertinya tidak ingin Peperangan melawan covid-19 ini menimbulkan banyak korban. Kondisi kesehatan dan ekonomi masyarakat bukan untuk dipertentangkan, namun harus dibenahi secara bersamaan. Jika pun ada yang harus dikorbankan, bukan masyarakat kecil/tidak mampu dari sisi ekonomi, karena merekalah yang seharusnya paling diperhatikan ketahanannya dalam menghadapi peperangan ini. Komitmen dan strategi pengambilan keputusan Presiden Jokowi ini juga terkonfirmasi melalui pernyataan Bapak Prabowo Subianto, sebagai Ketua Umum Partai Gerindra dan Menteri Pertahanan pada Kabinet Indonesia Maju. (Videonya dapat dilihat disini). 

Oleh karena itu, sebagai warga negara biasa, yang bukan merupakan tenaga medis, relawan ataupun aparat keamanan yang berada di garda terdepan. Dalam peperangan ini, hanya satu yang bisa saya lakukan, yaitu taat atas imbauan Panglima Perang.

Bekerja dan belajar dari rumah, beribadah di rumah, rajin mencuci tangan, memakai masker ketika keluar rumah, menghindari kerumunan serta video call dengan orang tua dan keluarga yang berada jauh disana dan kemungkinan besar tidak bisa berlebaran bersama-sama mereka pada tahun ini.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun