Aneh bin Ajaib.. Itulah kata-kata yang pantas diucapkan ketika melihat fenomena PILKADA di DKI dan sosok Ahok sebagai salah satu kontestannya..
Betapatidak, mungkin tanpa disadari, banyak hal yang membuat kita geleng-geleng kepala, terheran-heran, tertawa senang, kecewa, terharu bahkan marah melihat apa yang terjadi sepanjang PILKADA DKI digelar dari awal dimulainya tahap pilkada sampai usai pencoblosan.
Itulah yang disebut "Anomali PILKADA" atau realitas dari PILKADA yang tidak biasa terjadi atau belum pernah kita lihat atau alami sebelumnya, dan mungkin diluar dugaan para pengamat dan ahli-ahli sekalipun.
Berikutbeberapa anomali di PILKADA DKI yang mungkin dapat kita jadikan referensi untukpembelajaran di kemudian hari dan mungkin bisa menjadi sejarah perpolitikan diIndonesia:
1. Adanya Gerakan dari komunitas masyarakat untuk mengusung bakal calon.
Gerakan"Teman Ahok" dalam menjaring fotocopy KTP dan dukungan masyarakat kepada Ahok untuk maju dalam PILKADA sebagai calon independen mengawali anomali yang terjadi di PILKADA DKI. Betapa tidak, walaupun telah banyak calon Kepala daerah yang maju dan berhasil terpilih melalui jalur independen sebelumnya, namun sulit ditemui catatan sejarah PILKADA sebelumnya dimana masyarakat membentuk sendiri komunitas untuk mendukung bakal calon Kepala Daerah independen, terlebih dengan biaya sendiri atau dana yang dikumpulkan melalui penjualan merchandise, pameran, dll.Â
Bermodalkan perjuangan, kekompakan dan kreatifitas komunitas anak muda ini, gerakan temanahok berhasil menghimpun dukungan (KTP) dari masyarakat Jakarta sampai menembusangka 1 juta. Walaupun tidak sedikit pihak yang meragukan kemurnian gerakanini, dan pada akhirnya bakal calon kepala daerah yang akan diusung tidak maju sebagai calon independen, namun keunikan gerakan teman ahok ini merupakan suatufenomena yang perlu untuk dicermati oleh politisi ataupun pihak-pihak yang berniat untuk bertarung dalam PILKADA.
2. Politik Tanpa Mahar.
Anomali yang kedua di PILKADA DKI adalah menjadi trendnya politik tanpa mahar. Sudah menjadi rahasia umum bahwa "tak ada makan siang gratis dalampolitik". Selain harus memiliki kompetensi yang cukup dan elektabilitas yang tinggi, untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah juga membutuhkan modal (dana) yang banyak, terutama jika melalui jalur partai. Itulah yangbanyak kita dengar dan lihat di perhelatan PILKADA sebelumnya. Walaupun terkadang hal ini sulit untuk dibuktikan, namun realitas PILKADA sebelumnya seringkali diwarnai dengan adanya tawar menawar harga perahu politik untukmemuluskan seseorang menjadi calon dari partai politik tertentu yang biasanyaakan terendus ke publik jika terjadi perselisihan, atau sang calon kalah dalamkompetisi.Â
Mungkin politik tanpa mahar pernah terjadi pada pilkada sebelumnya di daerah lain, namun setidaknya pada PILKADA DKI, ahok dan beberapa partai politik telah menunjukkanbahwa "mahar" bukanlah syarat yang wajib dimiliki seseorang untukmaju sebagai calon kepala daerah melalui jalur partai, tetapi yang terpentingdaripada itu adalah integritas, kompetensi dan elektabilitas tentunya. Inilahanomali perpolitikan Indonesia yang diharapkan dapat menjadi kebiasaan dikemudian hari.
3. Salah satu Kontestan di demo dan di seret ke Meja Hijau disaat proses PILKADA sedang berlangsung.
Anomali yang ketiga adalah adanya salah satu kontestan yang di demo dan di seret kemeja hijau selama proses PILKADA sementara berlangsung. Tidak tanggung-tanggung, demo ini mengatasnamakan agama tertentu, sehingga menjadi isu nasional bahkan internasional. Inilah suatu fenomena yang mungkin hanya dijumpai pada PILKADA DKI. Disaat seorang kontestan yang akan bertarung diPILKADA seharusnya mengumpulkan dukungan sebanyak-banyaknya dengan janji-janjimanis yang diungkapkan, yang terjadi di DKI malah sebaliknya, Ahok sebagai salah satu peserta PILKADA DKI di demo, di cemooh, di usir, bahkan di ancam secara terang-terangan di muka umum. Suatu hal yang sangat tidak lazim dalam perhelatan pilkada di Indonesia.Â
Uniknya, walaupun ahok sampai di seret ke pengadilan atas kasus "menistakan agama dan pemuka agama tertentu" yang dituduhkan kepadanya, ahok tidak kehabisan pendukung, malahan yang terjadi sebaliknya, dukungan dan simpati warga masyarakat kepada ahok juga terus mengalir, tidak hanya dari warga DKI, bahkan dari provinsi lain dan luar negeri. Inilah anomali yang semoga hanya terjadi diPILKADA DKI dan tidak terjadi pada PILKADA di daerah lain.
4. Penggalangan Dana Kampanye dari rakyat.
Anomali yang keempat adalah pendanaan kampanye yang sebagian besar dari sumbangan masyarakat. Sumbangan yang berasal dari masyarakat sudah biasa kita lihat dari Laporan Dana Kampanye Pasangan Calon Kepala Daerah pada PILKADA-PILKADAsebelumnya. Namun, jika ditelusuri bagaimana strategi tim kampanye ahok dalam mengumpulkan sumbangan-sumbangan masyarakat, hal itulah yang mungkin dapat membuat kita berdecak kagum.Â
Berdasarkan laporan dana kampanye ahok-djarot yang diserahkan kepada KPUD DKI Jakarta, tercatat bahwa pada putaran pertama, sumbangan dana kampanye yang berhasil dikumpulkan mencapai sekitar Rp, 60,1 M, termasuk sumbangan yang berasal dari masyarakat sekitar Rp.58,1 M dari sekitar 10 ribu penyumbang, sedangkan pada putaran kedua, sumbangan yang didapatkan dari masyarakat sekitar Rp27,8 miliar yang terdiri dari sumbangan perseorangan (3.245 warga) sebanyak Rp10,1 miliar dan sumbangan dari perusahaan atau badan hukum swasta sebanyak Rp17,6 miliar.Â
Menariknya, sumbangan dana kampanye yang diterima oleh tim kampanye ahok-djarot ini bersumber dari berbagai kalangan, termasuk pengusaha, artis bahkan masyarakat umum. Caranya pun terbilang unik, karena selain mengumpulkan dana melalui pengumpulan dana secara tunai di sekretariat pemenangan, juga melalui media lain seperti internet banking, termasuk dengan cara menyelenggarakan gala dinner dan lelang. Inilah bentuk anomali dalam pengumpulan dana sumbangan PILKADA yang patut untuk ditiru pada kontestasi PILKADA lainnya.
5. Bentuk Kampanye Kreatif.
Anomali yang kelima adalah bentuk kampanye kreatif. Sulit untuk dipungkiri bahwa kreatifitas relawan pendukung dan tim kampanye ahok-djarot dalam menyelenggarakan kampanye sangatlah brilian. Tidak hanya menciptakan berbagai lagu dan cuplikan parodi yang menggambarkan sosok ahok-djarot dan ajakan untuk memilih ahok-djarot, baik tim kampanye maupun para pendukung memiliki cara-cara yang sangat mengagumkan dalam mengampanyekan ahok-djarot kepada publik, misalnya dengan cara membuat konser, pesta rakyat, flashmob dan acara show dimedia sosial yang kemudian dikenal dengan acara "Ahok Show". Bentuk-bentuk kampanye ini tentunya suatu anomali yang diharapkan dapat memberikan inspirasi kepada para calon kontestan PILKADA lainnya.
6. Petahana yang kalah, mengajak pemenang PILKADA (calon Pejabat baru) untuk bersama-sama menyusun APBD/APBDP.
Anomali yang keenam adalah petahana yang kalah, mengajak pemenang PILKADA (calon Pejabat baru) untuk bersama-sama menyusun APBDP. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan apa yang telah dipertontonkan pejabat-pejabat daerah terdahulu. Biasanya, seorang petahana yang akan berakhir masa jabatannya dan sudah bisa dipastikan tidak akan menjabat kembali akan berupaya untuk memanfaatkan sisa-sisa akhir jabatannya untuk "mengumpulkan pundi-pundi kekayaan",terlebih lagi jika pejabat tersebut telah mengikuti PILKADA yang sampai-sampai menguras kekayaannya, bahkan menyisakan utang.Â
Tentunya tidak mudah untuk seseorang berjiwa besar mau mengakui kekalahan sekaligus mengajak "lawan" untuk bersama-sama menyusun APBD (dalam konteks DKI, APBDP 2017). Karena sejatinya, inilah kesempatan terakhir bagi sang petahana untuk sepenuhnya menentukan kebijakan dalam rangka mewujudkan segala cita-citanya yang belum tercapai dalam membangun daerah, karena ketika mengajak pejabat terpilih, tentunya akan membatasi ruang gerak sang petahana dalam menentukan kebijakan anggaran.
Oleh karenanya, apa yang ditunjukkan oleh ahok dengan mengajak gubernur terpilih pilkada DKI bersama-sama dalam menyusun APBDP 2017 merupakan suatu anomali yang semoga dapat memberikan teladan bagi seluruh petahana yang gagal dalam pertarungan PILKADA dan masih memiliki sisa masa waktu jabatan sebelum menyerahkan tongkat kepemimpinan kepada pejabat yang baru.
7. Pihak yang kalah dalam PILKADA kebanjiran karangan bunga ucapan simpati dan terima kasih masyarakat.
Anomali yang ketujuh atau terakhir dalam tulisan ini adalah Pihak yang kalah kebanjiran karangan bunga ucapan terima kasih dan simpati dari masyarakat. Fenomena inimungkin hanya akan dimiliki oleh Ahok-Djarot semata, karena ini akan sangattergantung sosok individual pemimpin itu dan bagaimana memperlakukanmasyarakatnya selama masa kepemimpinannya.Â
Selama ini yang sering terjadi adalah ketika calon kepala daerah kalah dalam PILKADA,bahkan petahana sekalipun, biasanya para pendukung akan sedih dan kurangbersemangat, malahan tidak sedikit diantara para relawan atau pendukungtersebut yang berputar haluan atau balik badan mendukung sang pemenang.
Namun, apa yang didapatkan oleh Ahok-Djarot dari warga Jakarta dan masyarakat Indonesia ini tentunya merupakan suatu anomali, yang diharapkan dapat menjadi pelajaran berarti dalam memimpin daerah dan berdemokrasi di Indonesia, karena sejatinya inilah sosok pemimpin daerah yang patut menjadi teladan, dihargai danakan dikenang oleh masyarakat.
Masih banyak anomali yang mungkin terjadi sepanjang perhelatan PILKADA DKI belum sempat dibahas, namun dibalik kekurangan tulisan ini, semoga pemaparan atas anomali yang mungkin hanya terjadi di PILKADA DKI dan terkait sosok Ahok ini bisa bermanfaat bagi kita semua dalam memaknai suatu proses pendewasaan berpikir, bertindak dan berpolitik.
#Terima kasih Ahok-Djarot, #Selamat Anies-Sandi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H