Mohon tunggu...
Andi Alfian
Andi Alfian Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Rasionalitas dan kritik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Antara Hukum Agama atau Kepentingan Pemimpin dalam Praktik Money Politik pada Kontes Pilkada 2024

15 November 2024   22:40 Diperbarui: 15 November 2024   23:06 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Praktik politik di Indonesia terus menjadi sorotan, terutama menjelang pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024. Salah satu isu yang kerap muncul adalah *money politik*, yang diartikan sebagai pemberian uang atau materi kepada pemilih untuk memengaruhi pilihan mereka. Fenomena ini tidak hanya mencoreng prinsip demokrasi, tetapi juga menjadi tantangan besar dalam konteks hukum agama dan kepentingan politik pemimpin.

**Money Politik dalam Perspektif Hukum Agama**  

Dalam ajaran agama, terutama Islam yang mayoritas dianut di Indonesia, praktik *money politik* dikategorikan sebagai bentuk *risywah* atau suap. Nabi Muhammad SAW dengan tegas melarang praktik suap dalam segala bentuknya, baik pemberi maupun penerimanya. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda:  
*"Allah melaknat pemberi suap dan penerima suap."* (HR. Abu Daud).  

Suap dianggap sebagai tindakan yang merusak keadilan dan nilai moral masyarakat. Dalam konteks *money politik*, hal ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga menciptakan kepemimpinan yang tidak berdasarkan kompetensi, melainkan transaksi. Akibatnya, pemimpin yang terpilih cenderung lebih fokus pada pengembalian modal atau memenuhi janji kepada para penyokong dana, bukan pada pengabdian kepada rakyat.  

Agama menekankan bahwa memilih pemimpin adalah amanah. Pemilih diharapkan menggunakan hak suaranya secara jujur dan bertanggung jawab berdasarkan kapasitas, integritas, dan visi kandidat, bukan atas dasar pemberian materi. Dengan menerima *money politik*, pemilih tidak hanya melanggar nilai agama, tetapi juga ikut bertanggung jawab atas kerusakan yang mungkin terjadi di masa depan akibat kepemimpinan yang salah.

**Kepentingan Pemimpin dan Alasan Money Politik**  

Di sisi lain, dari sudut pandang pragmatisme politik, banyak pemimpin yang merasa terjebak dalam siklus *money politik* karena berbagai alasan. Salah satu alasan utamanya adalah sistem politik yang mahal. Untuk maju dalam Pilkada, seorang calon harus mengeluarkan biaya besar, mulai dari kampanye, tim sukses, hingga logistik. Dalam sistem ini, *money politik* sering dianggap sebagai "cara cepat" untuk mendapatkan dukungan.  

Selain itu, budaya politik masyarakat di beberapa daerah turut berperan. Dalam kondisi tertentu, pemberian uang atau materi dianggap sebagai bagian dari tradisi "serangan fajar" yang normal dan bahkan diharapkan. Pemilih yang sudah terbiasa dengan praktik ini sulit untuk menolak, apalagi jika kondisi ekonomi mereka lemah.  

Dilema muncul ketika calon pemimpin yang sebenarnya memiliki niat baik dan visi jangka panjang merasa tidak punya pilihan selain terlibat dalam *money politik* demi bersaing dengan kandidat lain yang juga melakukan hal serupa. Namun, hal ini tetap tidak dapat dijadikan pembenaran, karena keberadaan sistem yang korup harusnya dilawan, bukan dilanggengkan.

**Dampak dan Solusi**  

Praktik *money politik* merusak tatanan demokrasi dan melanggengkan kepemimpinan yang tidak bertanggung jawab. Pemimpin yang terpilih melalui praktik ini sering kali lebih memprioritaskan kepentingan pribadi atau kelompok pendukungnya dibandingkan rakyat. Akibatnya, pelayanan publik, pembangunan, dan keadilan sosial menjadi korban.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun