Oleh: Andi Muhammad Yusuf Bakri
Sita jaminan (conservatoir beslag) diatur dalam ketentuan Pasal 261 R.Bg.[1] dan Pasal 720 Rv.[2] Domain sita jaminan menurut teks kedua ketentuan tersebut hanya pada perkara mengenai tuntutan pembayaran sejumlah uang, dimana obyek penyitaan dimohonkan untuk dijadikan jaminan dari tuntutan pembayaran utang atau jaminan atas tuntutan ganti rugi. Dengan demikian, secara normatif ruang lingkup penerapan sita jaminan tidak mencakup sengketa kepemilikan atau perkara-perkara yang serupa dengan itu, misalnya sengketa mengenai hak waris, yang substansinya bukan mengenai pembayaran sejumlah uang.
Pada dasarnya, obyek-obyek yang disengketakan memang tidak perlu dimohonkan penyitaan, sebab dengan status sebagai obyek sengketa maka obyek-obyek tersebut menurut hukum tidak boleh dialihkan. Jika pihak berperkara ternyata mengalihkan atau menggelapkannya, maka jelas bahwa perbuatan pengalihan tersebut mengandung itikad buruk yang berakibat kerugian bagi pihak yang mengalihkannya. Namun demikian, karena sifat perkara serupa dengan party contract, yang daya ikatnya hanya terhadap kedua belah pihak yang terlibat, maka pihak ketiga tidak ikut terikat oleh prinsip dasar tersebut di muka.
Artinya bahwa apabila salah satu pihak berperkara mengalihkan obyek sengketa kepada orang lain (pihak ketiga), maka hanya pihak berperkara itulah yang dinilai melakukan suatu perbuatan berlandaskan itikad buruk. Pihak ketiga itu sendiri tidak terikat secara hukum, sehingga tetap diperlukan suatu lembaga penyitaan untuk mencegah pihak ketiga terlibat dalam pengalihan obyek-obyek yang sedang disengketakan.
Kebutuhan akan penyitaan dalam perkara waris dihadapkan pada problem wet vacuum atau kekosongan undang-undang. Maka, diperlukan penemuan hukum (rechtsvinding).
Dalam praktek umum peradilan, penyitaan terhadap obyek sengketa dalam perkara sengketa waris menggunakan instrumen hukum sita jaminan (conservatoir beslag). Ketentuan tentang sita jaminan yang pada dasarnya hanya diperuntukkan bagi perkara mengenai tuntutan pembayaran sejumlah uang diperluas cakupannya sehingga mengakomodir pula penyitaan dalam sengketa kepemilikan, termasuk sengketa waris. Syarat dan tata cara sita jaminan digunakan dalam memeriksa, mengadili, dan melaksanakan penyitaan dalam sengketa waris.
Salah satu syarat yang secara tegas diatur dalam ketentuan tentang sita jaminan adalah keharusan bagi Pemohon sita untuk membuktikan adanya kekhawatiran bersifat faktual bahwa obyek sita akan digelapkan atau dialihkan.
Praktek tersebut jelas keliru. Kekosongan undang-undang tentang penyitaan dalam sengketa waris tidak tepat diatasi dengan menggunakan tafsir ektensif peraturan tentang sita jaminan. Terdapat perbedaan mendasar mengenai sifat obyek sita dalam perkara tuntutan pembayaran sejumlah uang dengan obyek sita dalam perkara sengketa kepemilikan.
- Dalam perkara tuntutan pembayaran sejumlah uang, obyek sita bukan merupakan obyek yang disengketakan, sedangkan dalam sengketa kepemilikan, obyek sita adalah obyek sengketa itu sendiri.
- Dalam perkara tuntutan pembayaran sejumlah uang, obyek sita adalah barang milik Tergugat/debitur, tidak dibenarkan menyita obyek yang tidak jelas sebagai kepemilikan Tergugat, sedangkan dalam sengketa kepemilikan, kepemilikan obyek sita belum jelas karena masih disengketakan oleh para pihak.
- Dalam perkara tuntutan pembayaran sejumlah uang, obyek sita ada dalam penguasaan Tergugat/debitur, sedangkan dalam sengketa kepemilikan obyek sita tidak selamanya dikuasai seluruhnya oleh Tergugat, dalam konteks tertentu sebahagian obyek sita ada dalam penguasaan Penggugat.
Dalam sita jaminan, obyek sita jelas merupakan milik Tergugat, ada dalam penguasaan penuh Tergugat, dan tidak dalam keadaan disengketakan, sehingga penyitaan terhadap obyek tersebut secara tidak langsung berimplikasi pada kerugian Tergugat karena berakibat penguasaan penuhnya terhadap obyek sita menjadi terbatas padahal obyek tersebut adalah miliknya sendiri. Inilah ratio legis syarat adanya kekhawatiran bersifat faktual yang mendasari permohonan sita jaminan, agar penyitaan tidak menjadi tindakan pendzhaliman atas hak Tergugat.
Kondisi sebaliknya pada sengketa waris, kepemilikan obyek yang dimohonkan sita belum jelas menurut hukum karena masih berstatus sebagai obyek sengketa antara Penggugat dan Tergugat, penguasaan obyek juga tidak selamanya ada pada Tergugat seluruhnya sebab dalam konteks tertentu obyek seringkali dikuasai sebahagian oleh Penggugat. Oleh karena itu, penyitaan terhadap obyek-obyek yang disengketakan tidak bisa dinilai sebagai tindakan sepihak yang berimplikasi kerugian kepada pihak Tergugat, sehingga hukum tidak perlu menetapkan syarat khusus dalam penyitaan yang diorientasikan untuk perlidungan terhadap Tergugat.
Dengan demikian, penetapan syarat mengenai adanya kekhawatiran bersifat faktual menjadi tidak relevan diberlakukan, apalagi tidak logis kiranya menerapkan syarat tersebut sebab dalam hal sebahagian dari obyek sita berada dalam penguasaan Pemohon sita sendiri, maka Pemohon sita tidak mungkin dibebankan membuktikan adanya kekhawatiran bahwa keseluruhan obyek sita akan dialihkan.