Mohon tunggu...
Andi Muhammad Yusuf Bakri
Andi Muhammad Yusuf Bakri Mohon Tunggu... -

Curious but kindly and friendly person

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

UU Jabatan Hakim; 70 Tahun Utang Konstitusi

2 Oktober 2015   08:31 Diperbarui: 6 Oktober 2015   16:30 925
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Harun Kamil dari F-UG:

“Jadi begini. Tentunya dalam membuat konstitusi ini jangan sampai terjadi pengulangan yang pertama. Jadi kalau jelas-jelas bahwa telah diatur di Pasal 24A Ayat (5), itu Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya, artinya semua tingkatan daripada peradilan, Peradilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Keanggotaannya diatur oleh undang-undang. Keanggotaannya itu apa? Tentu recruitment-nya, syaratnya, bagaimana cara pengangkatannya, dan pemberhentiannya. Dengan dasar itulah menjadi kuat alasan kemudian jangan sampai terjadi pengulangan oleh Pasal 25. Sehingga Pasal 25 ini menurut kami selayaknya dihapus...”.[2]

Agun Gunandjar Sudarsa dari F-PG:

“...kalau dikatakan bahwa Pasal 25 ini tidak ada lagi manfaatnya atau redundant, menurut saya tidak. Bahkan mungkin ini akan lebih secara spesifik, memberikan payung, memberikan penegasan bahwa persoalan hakim yang memiliki kedudukan sentral dalam hukum tata negara kita, yang menjalankan kekuasaan yudikatif, itu syarat-syarat pengangkatan dan pemberhentiannya itu harus diatur dengan Undangundang. ...Kita tengok lagi Pak. ...yang dimaksud dengan Pasal 25 di sini adalah syarat-syarat untuk diangkat dan diberhentikan sebagai hakim diatur dengan undang-undang. Hakim itu bukan hanya hakim agung. Ada hakim di tingkat pengadilan tinggi, tingkat banding, ada di tingkat pertama, yang semuanya itu harus tidak bisa Mahkamah Agung nanti atau Mahkamah Konstitusi membuat kebijakan sendiri tentang itu semua, katakanlah ada permak segala macam, jadi ini penegasan harus dengan. Jadi saya tidak menafikan bahwa itu sudah cukup diatur, menurut saya baru sebagian. Akan lebih kuat kalau Pasal 25 ini tetap kita pakai sebagai payung betapa posisi hakim itu sangat strategis, bukan hanya hakim agung.”

Lihat di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku VI Kekuasaan Kehakiman. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010, hal. 208-215.

[3] K. C. Wheare, Modern Constitutions, diterjemahkan oleh Imam Baehaqie, dengan judul Konstitusi-Konstitusi Modern, Nusa Media, Bandung, tanpa tahun, hal. 104-207. Lihat juga Jimly Ashshiddiqie, Bagir manan dkk, Gagasan Amandemen UUD NRI TAHUN 1945 dan Pemilihan Presiden secara Langsung, Sekretariat jenderal dan Kepaniteraan MKRI, Jakarta: Cet. II, Februari 2006, hal. 15-16.

[4] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, tanggal 1 Februari 2010 tentang permohonan pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Putusan selengkapnya bisa di akses di website MK, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/putusan/putusan_sidang_Perkara%20Nomor%20138-PUU-VII-2009.pdf

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun