Mohon tunggu...
Andi Muhammad Yusuf Bakri
Andi Muhammad Yusuf Bakri Mohon Tunggu... -

Curious but kindly and friendly person

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

UU Jabatan Hakim; 70 Tahun Utang Konstitusi

2 Oktober 2015   08:31 Diperbarui: 6 Oktober 2015   16:30 925
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam catatan sejarah ketatanegaraan RI, perubahan informal konstitusi sudah beberapa kali terjadi. Yang paling masyhur adalah Ketetapan MPR-RI Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum, yang mengatur hak penentuan usul perubahan undang-undang dasar ada pada rakyat yang akan ditentukan melalui referendum. Tap MPR tersebut “secara diam-diam” telah mengubah tata cara perubahan undang-undang dasar yang diatur pada Pasal 37 UUD 1945 (pra-amandemen).

Contoh teranyar, Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 yang membuka kran kewenangan MK menguji konstitusionalitas Perpu, sedangkan Pasal 24C ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 hanya menyebutkan kewenangan MK menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, tanpa sedikitpun menyebutkan Perpu.[4]

Berdasarkan pemaparan di muka, maka tegaslah bahwa meskipun Pasal 25 tidak mengalami amandemen secara formal, namun tidak bisa dielakkan bahwa pasal tersebut telah mengalami perubahan secara informal yaitu dengan perluasan makna yang mencakup substansi penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD pra amandemen tentang jaminan kedudukan para Hakim yang diatur dengan Undang-Undang. Jika tidak demikian, maka para perumus perubahan konstitusi bisa dianggap telah melanggar butir kesepakatan yang menjadi koridor dalam melakukan amandemen, yaitu bahwa penjelasan ditiadakan namun hal-hal normatif dalam penjelasan dimasukkan ke dalam pasal-pasal.

Sekarang semakin mudah menelusuri penyebab undang-undang yang memuat tentang jaminan kedudukan para Hakim belum dibentuk sampai usia ke-70 UUD 1945. Tidak lain penyebabnya adalah bahwa pembentuk undang-undang tidak memisahkan perintah UUD untuk; (a) membentuk Undang-Undang tentang lembaga peradilan sebagaimana termuat dalam Pasal 24A ayat (5), dengan (b) membentuk Undang-Undang tentang pengangkatan, pemberhentian, serta jaminan kedudukan Hakim yang termuat dalam Pasal 25.

Tidak mengherankan jika kemudian pengaturan tentang jabatan Hakim menjadi parsial, tersebar diberbagai Undang-Undang, dan tidak mencakup seluruh aspek pengelolaan jabatan Hakim. Ketentuan tentang status, kedudukan, cara pengangkatan, cara pemberhentian, pengawasan, penindakan, penggajian, dan lain-lain ditempel sedikit-sedikit di berbagai UU. Akibatnya, perintah konstitusi agar dibuat Undang-Undang tentang jaminan kedudukan para Hakim menjadi tidak terpenuhi baik secara formal maupun secara materil. Sebaliknya, menimbulkan kesimpangsiuran dan inkonsistensi, akibatnya pengelolaan jabatan Hakim tidak mampu memberi perlindungan yang cukup bagi terwujudnya independensi Hakim.

Last but not least, 70 tahun kealpaan menjalankan perintah konstitusi untuk membentuk Undang-Undang yang menjamin kedudukan para Hakim (Undang-Undang Jabatan Hakim) sudah waktunya diakhiri, apalagi Dewan Perwakilan Rakyat RI telah memasukkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Jabatan Hakim menjadi salah satu RUU pada Program Legislasi Nasional Tahun 2014-2019. Langkah tersebut harus diappresiasi secara positif dan dimaknai sebagai wujud sikap DPR RI yang penuh tanggung jawab untuk segera melunasi utang konstitusionalnya. Besar harapan, RUU Jabatan Hakim tersebut bisa segera dibahas dan diundangkan dan selanjutnya menjadi lokomotif pembaharuan peradilan Indonesia demi terwujudnya negara hukum yang menjadi cita-cita konstitusional Negara Kesatuan Republik Indonesia.

 

[1] Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Latar Belakang, Proses, dan Hasil Pembahasan 1999-2002, Buku I Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan UUD 1945. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2010, Edisi Revisi, hal. 159

[2] Berikut ini petikan perbedaan pandangan anggota PAH I BP MPR mengenai kedua pasal tersebut:

Hamdan Zoelva dari F-PBB:

“Saya hanya sedikit saja, khususnya mengenai Pasal 25 ini. Di sini menjadi persoalan karena syarat-syarat untuk menjadi dan diberhentikan sebagai Hakim ditetapkan dengan undang-undang. Persoalannya hakim yang mana? Hakim Agung sudah ditentukan dalam Pasal 24 Ayat (5). Hakim Mahkamah termasuk hatim peradilan-peradilan yang ada di bawahnya. Hakim Konstitusi sudah ditentukan dalam Pasal 24C. Jadi, bagaimana ini kalau saya mengusulkan lebih aman, pasal ini dicabut saja...”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun