Mohon tunggu...
Andi Baso Amirul Haq
Andi Baso Amirul Haq Mohon Tunggu... Nelayan - Secretary General

Mahasiswa | Peminat Kajian Politik & Filsafat | Himpunan Mahasiswa Islam | Komite Nasional Pemuda Indonesia | Quotes: Abu dahulu kemudian menjadi Baru

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Connected Society dan Simulacra

27 Oktober 2019   13:35 Diperbarui: 31 Oktober 2019   16:06 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita semua menjalani perubahan ini karena kita tengah berada pada sebuah era baru. Connected Society atau bahkan hyperconnected society, yang mengubah banyak hal. Termasuk marketing, komunikasi kehumasan (corporate communication dan public relation), proses bisnis, sampai kemodel bisnis dan leadership. Seperti pernyataan filsuf Will Durant bahwa "kita adalah apa yang kita lakukan berulang kali" adalah benar, maka hadapi saja: kita menjadi semakin seperti mesin melalui interaksi kita yang hamper konstan dengan teknologi. Sebagai akibatnya, kita telah menjadi kecanduan perangkat digital yang ada dimana-mana seperti smartphone, computer dan berbagai aplikasi yang memberi makan pada emosi kita dan menghargai keinginan kita yang tak ada puasnya.

Kita tahu bahwa kini sebanyak 2/3 penduduk bumi telah terhubung. Demikian pula di Indonesia dari 264 juta penduduk (2018), sudah 170 juta yang terhubung internet (APJII, 2018). Artinya, 65 persen sudah hidup sebagai connected society. Bahkan, bukan cuma manusia yang terhubung, melainkan juga benda-benda disekitar kita. Semua saling terhubung dan bisa digerakkan dari jarak jauh, diberdaya gunakan.

Dengan menarik konsumen dengan layanan gratis, sering kali berkualitas tinggi, perusahaan teknologi besar Google, Facebook dan Amazon mampu melacak dan memprediksi aktivitas pengguna dengan presisi yang mengejutkan. Pertumbuhan dan keinginan besar mereka akan akuisisi mengubah masyarakat menjadi Panapticon Digital yang disebut Michel Foucault ilustrasi untuk menggambarkan bagaimana kuasa menggunakan pengetahuan untuk mengontrol tindak tanduk populasi. Panapticon Digital adalah model penjara yang berbentuk melingkar dan ditengah-tengah lingkaran itu ada menara pengawas yang diisi oleh PRISM/Sumber intelejen baku nomor satu yang digunakan untuk laporan analitik NSA (National Security Agency) Amerika Serikat.

Dalam mengurangi niat dan tindakan kita terhadap komodifikasi, kita harus berupaya menarik kembali nuansa privasi kita. Kita sekarang memandangi cermin hitam yang selalu ada menghantui psikologi, menguasai akal, manipulative dan menguasai pikiran. Mereka memakai wajah kita sebagai topeng dan memegang kekuatan merekam, memprediksi dan pada akhirnya menghindari niat dan tindakan kita. Sistem sosial dan ekomomi mengalami peningkatan totalitas interaksi manusia di transaksikan dan dimediasi sebagai pertukaran pasar dalam bingkai masyarakat komoditas.

"Jika anda tidak membayar untuk produk, maka Anda adalah Produk" telah berubah dari klise menjadi disangkal. Pengguna dan perhatian pengguna bukan lagi produk yang paling menguntungkan untuk dijual kepada penawar tertinggi. Adalah hidup kita, identitas kita, otonomi kita sendiri yang disimulasikan dan disiapkan untuk dijual.

Setidaknya sejak Plato, dan di banyak tradisi filosofis dan religius di dunia, telah dikemukakan bahwa elemen penting dari perkembangan moral adalah pendisiplinan hasrat: menundukkan keinginan kita untuk refleksi, kontrol, atau penindasan, termasuk penanaman rasa malu, moderasi, dan penyangkalan diri. Di sisi lain, ketika prospek yang jelas dibuka di hadapan kita untuk kepuasan yang mudah dan langsung dari hasrat kita, sulit bahkan bagi orang yang paling teliti sekalipun di antara kita untuk menahan godaan. Jika ketegangan yang menonjol dalam pemikiran moral ini benar, maka dunia mesin yang memuaskan semua keinginan kita, apa pun itu, menyingkirkan kebutuhan akan disiplin dan mengancam untuk menjadikan kita sebagai versi terburuk diri kita. (Ryan Jenkins, Profesor Filsafat, Cal Poly).

Konsep filosofis dari simulacra representatif memberikan lensa yang membantu melalui mana komodifikasi oleh simulasi ini dapat dipahami. Dalam Sofisnya, Plato mengidentifikasi dua bentuk representasi: reproduksi yang setia dan simulacra yang sengaja didistorsi. Reproduksi yang setia adalah yang sesuai dengan realitas material, sedangkan simulacra sengaja didistorsi agar tampak akurat bagi pemirsa terlepas dari sifat menipu mereka. Orang dapat menghargai manifestasi fisik simulacra dalam proporsi sudut pandang yang melengkung dari arsitektur kuil Yunani, yang mendistorsi persepsi pemirsa tentang ukuran sedemikian rupa sehingga kuil-kuil tampak megah seperti yang kita yakini.

Dalam kebangkitan revolusi telekomunikasi, filsuf Perancis Jean Baudrillard memperluas bentuk representasi Plato dalam risalah 1981, Simulacra dan Simulasi. Bagi Baudrillard, tidak ada dua tetapi empat bentuk representasi. Yang pertama adalah representasi realitas yang diubah, seperti potret foto yang tidak diedit yang dengan setia jika hanya sebagian mereproduksi subjeknya.

Yang kedua adalah penyimpangan realitas, seperti foto yang diubah yang mendenaturasi subjek untuk menekankan atau menyembunyikan aspek-aspek realitas tertentu, seperti sampul foto yang banyak diedit majalah mode.

Bentuk ketiga hanya menawarkan kepura-puraan realitas salinan tanpa orisinal seperti model virtual foto-realistis seseorang yang tidak akan pernah Anda temui, atau video palsu yang dipalsukan AI dari politisi yang mengatakan apa pun penciptanya keinginan.

Bentuk keempat dan terakhir adalah representasi yang melampaui salinan, parodi, atau imajinasi, tetapi adalah simulacra murni, "menggantikan tanda-tanda nyata dengan nyata itu sendiri."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun