ANTENA KONSLET
 by Andi Yasa
        Pagi ini kubuka jendela kamarku yang terbuat dari papan yang di cat berwarna abu-abu, Sinar matahari terasa menyambar secara tiba-tiba. Mataku langsung tertuju dengan pemandangan beberapa buku yang berantakan dengan penuh coretan kalimat-kalimat penuh teka teki yang aku sendiri tidak tahu maksudnya. Untaian kalimat dari seorang wanita paruh baya mulai terdengar dengan kata-kata yang tidak mengenakkan, Beberapa kalimat untuk menyuruh putra tercintanya agar bersegera mandi yang menjelma menjadi sebuah umpatan dan seruan yang sudah menjadi makanan sehari-hari untukku. kepalaku sontak memikirkan apa yang akan terjadi nanti ketika disekolah. Kulihat masih ada bekas goresan luka lebam yang belum menghilang di lengan kanan kiriku. Namun seperti biasa aku mencoba mengabaikan pikiran negative itu sembari membayangkan hari ini aku pasti baik baik saja.
Setelah siap aku segera berangkat sekolah. Langkah kakiku bergerak pelan dengan pandangan kebawah. Tampak Sepasang sepatu berwarna hitam model bertali bergerak secara bergantian terlihat tampak bahagia. Iya itulah sepatu pemberian ayahku yang saat ini sedang merantau ke negeri jiran katanya untuk mencari uang agar bisa menyekolahkanku. Itulah alasanku sampai detik ini masih mau menginjakkan kakiku disekolah itu meski berat namun tetap aku lakukan. Setiap saat Aku merindukan ayahku. Sepasang sepatu yang kugunakan mengingatkanku kepada ayah.
"Woiii  minggir."
Suara teriakan seseorang yang menggunakan seragam yang sama dengan aku gunakan yaitu celana biru tua dan baju putih-putih. Aku tersontak kaget meyadarkan alam bawah sadarku. Ternyata beberapa anak melintasiku dengan mengayuh sepedanya dengan kencang. Padahal aku sendiri sudah berjalan dipinggir jalan.
"Dasar Antena Konslet."
Ejek anak lain bertopi merah dan menggunakan sepatu hitam berkilau sambil meludah tepat dihadapanku sebelum Ia benar-benar menjauh. Sudah kuduga apa yang mereka lakukan.
Antena Konslet adalah panggilanku disekolah saat mereka dengan sesuka hati mengejekku. Sebutan itu mereka gunakan saat aku menjadi orang yang tidak berguna, bodoh, suka melamun, dan terkadang aneh. Aku tidak tahu kapan sebutan itu lekat kepadaku yang aku ingat sebutan itu terlontar dari seorang guru saat aku masih SD ketika saat itu Ia menanyaiku sebuah pertanyaan ketika aku sedang tidak fokus lalu aku menjawab dengan jawaban yang salah dan ketika itu pula ia memanggilku dengan panggilan itu dengan pecahan dari nama aku sendiri yaitu Ankon si Antena Konslet.. Sampai sekarang aku masih ingat bagaimana struktur wajahnya dan bagaimana anak-anak yang lain menertawaiku secara serentak dan terbahak-bahak seperti puas apa yang guru itu katakan.
Tiba disekolah aku langsung menuju ke kelas terlihat tatapan-tatapan dengan muka sinis anak-anak tadi yang mengejekku dijalan. Bangku paling pojok belakang adalah tempat favoritku dari kelas 7 sampai 8. Kulihat jam dinding berdetak ternyata masih lama waktu masuk kelas, sambil menunggu guru seperti biasa aku menggambar sesuatu di buku gambarku pada halaman terakhir, baru saja lima menit menggambar duduk tiba-tiba anak-anak tadi dengan gerombolan mendekatiku.
"Wei, Antena konslet pinjem Pulpenmu dong, pulpen gua abis ni," Ucap Anak laki-laki berbadan besar dan tinggi sambil duduk diatas mejaku. Si Dumber , ketua gang segerombolan anak itu yang selalu saja memalakku. Namun aku tidak menghiraukannya.
"Woii."Â
Teriaknya sambil menarik buku gambarku hingga membuatnya robek terbelah dua.
"Gak ada, cuman satu."
 ucapku sambil berdiri menatapnya dengan tajam, beberapa anak yang lain terdiam heran melihatku tidak seperti biasanya yang selalu diam dan  nurut ketika dinakali oleh segerombolan anak gembul itu.  aku rasa muak telah menjadi bahan ejekan dan leluconnya mereka. kali ini mereka telah merusak buku gambar satu-satunya kesayanganku pemberian ayahku.
"Alasan pelit lo! Surya, ambil pulpennya."Â Seru Dumber kepada Surya. Ia pun merampas Pulpenku dari tanganku. Sontak kananku meninju muka Surya dengan mukanya bagiku sangat menjengkelkan dan melemparkan kursi kepada Dumber membuat ia terjatuh ke lantai. Meja didepanku aku banting hingga menimpa teman-teman gerombolannya yang lain. rasanya aku tidak bisa lagi mengendalikan amarahku ketika teringat setiap perkataan cacian dan ejekan mereka, bahkan guru-guru disekolah ini tak tangung-tanggung untuk menjadikanku lelucon sebagai bahan tertawaan untuk kepuasan batin mereka.Â
"Dasar Antena Konslet bodoh, Antena konslet Stress, Ankon anak nolep"Â kata-kata itu tak pernah hilang dipikiranku.
Anak-anak yang lain berhamburan keluar ketakutan tiba-tiba datang seorang lelaki paruh baya dengan seragam batik lengkap dengan celana hitam yang dipakai. Kumis tebalnya seolah tak asing lagi bagi siapa saja yang melihat dan ternyata Ia adalah Guru Matematika kami yang ingin mengajar dikelas bernama Pak Algorit.
"Ada apa ini ribut-ribut." Ucapnya dengan  heran dengan mata tertuju ke arahku kemudian langsung melirik kepada Segerembolan anak-anak setan yang terkapar kesakitan.
"Ankon pak, dia melempari kami dengan kursi dan meja." Ucap Dumber sambil memegang kepalanya yang sedikit berdarah  terkena kayu tajam kursi yang aku lempar. Kalimat itu seakan aku benar-benar membantainya dengan sengaja.
"Mereka duluan merusak bukuku."Â Kataku pelan sambil menunduk.
"Nggak sengaja itu pak," timpalnya. Mukanya seolah-olah sengaja dengan menuduhku dengan cara licik mereka.
"Mau jadi apa kamu Ankon, disekolah ini gak ada ngajarin  tentang Psikopat ya, makin aneh aja kamu. Ikut saya ke ruang BK sekarang!" kalimat tersebut serasa hunjaman sambaran petir bagiku. Bisa-bisanya Ia mengatakan itu kepadaku.
Psikopat         Â
Kata itu terngiang dikepalaku sebuah kata hinaan pertama kali aku dengar oleh mulut seseorang dimana ini pertama kalinya aku melakukan pembelaan terhadap diriku sendiri. Sekarang aku benar-benar yakin bahwa tempatku bukan disini
Apakah benar aku seorang Psikopat ? apa aku berbeda dengan yang lain? apa aku aneh? Hanya karena aku sering sendirian dan tidak punya teman, Pertanyaan bodoh yang selalu muncul dipikiranku saat aku mulai berada dalam larutan kesedihan.
Diruang BK aku terus-terusan di introgasi oleh guru BK dan beberapa orang tua anak segerombolan tadi dengan terus menerus menyalahkanku serta mengancamku akan memberikan hukuman kepadaku dan mengeluarkanku dari sekolah. Kataan dan cacian mereka tak henti-hentinya keluar dari mulut mereka. Tak sampai disitu anak-anak lain yang biasa cuek kepadaku kali ini semakin menjauhiku.
 "Ankon Si Antena Konslet sekarang sudah berubah menjadi Psikopat disekolah." Ucap salah satu mereka.
sejujurnya aku sangat terpukul dengan pernyataan itu karena aku tidak merasa demikian.
Setelah keluar dari ruang BK aku langsung memutuskan untuk pulang sekolah tanpa lagi kembali kekelas. Kulangkahkan kakiku dengan cepat. Aku orang-orang disekitarku, bahkan aku benci diriku sendiri. Aku hanyalah manusia yang dilahirkan aneh selama aku hidup. Tidak punya teman, sulit bergaul. Â bagiku dunia disekitarku hanyalah segerombolan manusia yang akan selalu membenciku.
Tak peduli bagaimana nanti reaksi ibuku setelah mengetahui apa yang barusan aku lakukan disekolah. Ia pasti sangat marah dan akan memaki habis-habisan. Aku hanya rindu ayahku. Sudah sebulan ini ayah tidak menelponku, padahal sebelumnya ia selalu menelponku setiap 3 hari sehari. Bahkan saat aku menelpon ayahku panggilan nomornya selalu tidak aktif.
Apakah ayah tidak lagi sayang kepadaku? Apakah ayah sekarang membenciku? Apakah ayah juga menganggapku anak aneh? Pertanyaan itu melemahkan semangatku saat ini.
Setelah sampai rumah, aku langsung menuju kamarku kukunci dengan rapat tidak ada satu celah pun untuk orang lain bisa memasuki kamarku. Aku hanya bisa menangis tanpa suara. Tangisan yang selama ini jarang aku rasakan. Air mata ini seolah-olah tumpah karena sudah lama tertimbun dibalik kornea mataku.
Wajah-wajah guru  dan anak-anak jahat itu masih selalu membayangi pikiranku serasa mengucap sumpah sarapah kepada mereka dan bersumpah tidak akan pernah memaafkan mereka sampai kapanpun.
"Dug dug dug, Ankon, kamu udah pulang?"Â suara genturan dan pertanyaan ibuku dibalik pintu kamarku. Aku diam tak menyahut sedikitpun. Aku bersiap untuk menerima Sanksi apa yang ibu lakukan kepadaku dan yang pasti ia akan memberitahu ayah.
"Ankon, buka pintunya! Ibu tau apa yang terjadi disekolah, tadi guru kamu menelpon ibu, Ibu tau kamu telah membuat anak-anak lain terluka, Ibu tahu itu  salah tapi Ibu gak akan marah kok, Ibu malah bangga sama kamu. "
Kalimat terakhir itu terasa janggal ditelingaku. Aku pun penasaran kenapa ia mengatakan itu kepadaku, padahal setiap kali aku berbuat salah sedikit saja ibuku selalu menghukumku tapi kenapa kali ini ibu tidak marah, aku rasa selama ini hal inilah ini termasuk kesalahan yang paling besar aku lakukan. Aku pun beranjak dari tempat tidurku berjalan pelan membuka pintu kamarku.
Kulihat pipi ibuku basah dengan bekas aliran air mata yang barusan diusapnya menggunakan tangannya, pemandangan yang jarang aku lihat karena selama ini aku hanya melihat ibu selalu mengomel dan marah-marah. Bahkan saat ayah masih belum berangkat ke Malaysia untuk bekerja, mereka selalu bertengkar hebat tanpa memikirkan aku sama sekali yang masih kecil.
"Ibu bangga, sekarang kamu melakukan yang seharusnya sudah kamu lakukan dari dulu ketika kamu dihina, ketika di ejek kamu tidak pernah membalasnya, kamu hanya memendamnya sendiri, dan kamu tidak pernah cerita kepada orang lain. ayah juga pasti ikut senang di alam sana. Maafin ibu nak, kamu pasti kuat." Ucap ibuku, untuk kedua kali aku dibuat terkejut mendengar perkataan ibuku.
Aku sangat heran. Ada apa ini kenapa ibu tiba-tiba minta maaf dan berkata itu terhadap ayah. Ibu langsung menangis sambil memelukku.
"Maksud ibu?"
 jantungku berdegup dua kali lebih kencang, pikiranku mulai tak tentu arah, membayangkan apa yang aku khawatirkan.
"Ayahmu meninggal kemarin sore karena jatuh dari lantai empat ketika ia bekerja menyambung besi bangunan baru saat itu tali pengamannya putus"Â
Ucap ibuku dengan tangisannya yang pecah.
Kepalaku terasa ditembak dengan peluru tajam hingga menembus jantungku, urat nadiku terasa putus tanpa isyarat Setelah mendengar apa yang barusan ibu katakan. Aku tidak tahu lagi apa yang harus lakukan. Â Rasanya Tuhan benar-benar tidak adil kepadaku. Aku langsung menuju kamarku ku banting pintu kamar dengan kuat dan berharap semua ini hanyalah mimpi.
Aku meninju dinding kamarku dengan tangan kosong secara berulang-ulang. Rasa sakit ini tak sebanding dengan aku rasakan. Satu-satunya orang yang membuatku bertahan saat ini sudah pergi dari kehidupanku. Ibuku ? Ia tidak sayang padaku. Ia bahkan pernah membawaku ke tempat anak temannya yang merupakan seorang Psikiater. ibuku juga sudah lama menganggapku anak yang aneh.Â
Saat itu terdapat sebuah obrolan serius antara ibuku dan wanita itu. Saat itu pula aku benci semua orang selain ayah. Sekarang aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi.Â
Duniaku hanyalah semu.
tapi harapan tetap kucari......................
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H