"Mau jadi apa kamu Ankon, disekolah ini gak ada ngajarin  tentang Psikopat ya, makin aneh aja kamu. Ikut saya ke ruang BK sekarang!" kalimat tersebut serasa hunjaman sambaran petir bagiku. Bisa-bisanya Ia mengatakan itu kepadaku.
Psikopat         Â
Kata itu terngiang dikepalaku sebuah kata hinaan pertama kali aku dengar oleh mulut seseorang dimana ini pertama kalinya aku melakukan pembelaan terhadap diriku sendiri. Sekarang aku benar-benar yakin bahwa tempatku bukan disini
Apakah benar aku seorang Psikopat ? apa aku berbeda dengan yang lain? apa aku aneh? Hanya karena aku sering sendirian dan tidak punya teman, Pertanyaan bodoh yang selalu muncul dipikiranku saat aku mulai berada dalam larutan kesedihan.
Diruang BK aku terus-terusan di introgasi oleh guru BK dan beberapa orang tua anak segerombolan tadi dengan terus menerus menyalahkanku serta mengancamku akan memberikan hukuman kepadaku dan mengeluarkanku dari sekolah. Kataan dan cacian mereka tak henti-hentinya keluar dari mulut mereka. Tak sampai disitu anak-anak lain yang biasa cuek kepadaku kali ini semakin menjauhiku.
 "Ankon Si Antena Konslet sekarang sudah berubah menjadi Psikopat disekolah." Ucap salah satu mereka.
sejujurnya aku sangat terpukul dengan pernyataan itu karena aku tidak merasa demikian.
Setelah keluar dari ruang BK aku langsung memutuskan untuk pulang sekolah tanpa lagi kembali kekelas. Kulangkahkan kakiku dengan cepat. Aku orang-orang disekitarku, bahkan aku benci diriku sendiri. Aku hanyalah manusia yang dilahirkan aneh selama aku hidup. Tidak punya teman, sulit bergaul. Â bagiku dunia disekitarku hanyalah segerombolan manusia yang akan selalu membenciku.
Tak peduli bagaimana nanti reaksi ibuku setelah mengetahui apa yang barusan aku lakukan disekolah. Ia pasti sangat marah dan akan memaki habis-habisan. Aku hanya rindu ayahku. Sudah sebulan ini ayah tidak menelponku, padahal sebelumnya ia selalu menelponku setiap 3 hari sehari. Bahkan saat aku menelpon ayahku panggilan nomornya selalu tidak aktif.
Apakah ayah tidak lagi sayang kepadaku? Apakah ayah sekarang membenciku? Apakah ayah juga menganggapku anak aneh? Pertanyaan itu melemahkan semangatku saat ini.
Setelah sampai rumah, aku langsung menuju kamarku kukunci dengan rapat tidak ada satu celah pun untuk orang lain bisa memasuki kamarku. Aku hanya bisa menangis tanpa suara. Tangisan yang selama ini jarang aku rasakan. Air mata ini seolah-olah tumpah karena sudah lama tertimbun dibalik kornea mataku.