Waktu itu, kelompok tertentu di Aceh memanfaatkan isu nasionalisme untuk melampiaskan rasa iri mereka kepada etnis Tionghoa, apalagi etnis minotitas ini cenderung tidak kelabakan saat krisis moneter melanda. Sayangnya, banyak pemuda, pelajar dan mahasiswa tersulut oleh sentimen sesaat itu.
Sentimen pada era reformasi ini membuat massa beringas. Toko-toko milik Tionghoa dijarah dan dibakar. Peristiwa ini terjadi di beberapa daerah di pesisir utara dan timur Aceh, tempat sebaran terbanyak etnis Tionghoa, yakni Langsa, Lhokseumawe, Bireuen dan Banda Aceh. Di pesisir barat, jumlah warga turunan Cina sedikit, dan sentimen terhadap mereka tidak sampai “membara”.
Ketegangan ini cuma sesaat. Pada tahun berikutnya sentimen anti-Tionghoa teredam oleh konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia. Di masa konflik ini Tionghoa di Aceh, terutama di Banda Aceh, bisa hidup lebih tenang karena mereka tidak menjadi sasaran langsung konflik.
Sayangnya, ketentraman itu hanya dirasakan sesaat. Ujian besar bagi Tionghoa terjadi lagi. Bencana gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004, yang merenggut lebih 200 ribu nyawa, membuat Banda Aceh luluh lantak. Pecinan bernama Peunayong “ditelan” gelombang. Hampir seribu orang Tionghoa di kota ini meninggal dunia pada bencana Minggu pagi itu.
Gelombang pengusiran setelah pengkhianatan PKI yang gagal, sentimen di era reformasi dan bencana tsunami telah menguji kesetiaan etnis Tionghoa pada kota tua ini. Di sini, mereka sudah merekam catatan-catatan kelam. Cuma romantisme sejarah yang bisa membuat mereka bertahan. [Andi Irawan]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H