Mohon tunggu...
Andi Irawan
Andi Irawan Mohon Tunggu... profesional -

Love to be black

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pecinan Tua Peunayong; Romantisme Sejarah Tionghoa di Aceh

22 Desember 2012   03:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:13 2154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kompetisi usaha antara Tionghoa dan pribumi di Banda Aceh berjalan lama, sehingga menimbulkan prejudice, saling mencurigai dan konflik terpendam, yang akhirnya menimbulkan ketegangan. Tapi, semua ini tidak sampai memicu konflik fisik. Hidup Tionghoa dan pribumi terus langgeng, hingga akhirnya pengkhianatan Partai Komunis Indonesia (PKI) membuyarkan semuanya.

Pada masa itu orang Tionghoa di Aceh, yang cenderung bersikap angkuh dan terlalu berorientasi kepada nasionalisme negeri leluhurnya di Cina, dituduh sebagai pendukung PKI dan dicurigai ikut mendanai “Gerakan 30 September”, terutama yang masih berstatus warga negara asing. Maka, prasangka buruk yang sudah lama terpendam berubah menjadi konflik fisik terbuka.

Terjadilah aksi massa untuk mengusir etnis Tionghoa. Menurut laporan penelitian Pasifikus Ahok (1976), pengusiran itu dipelopori oleh Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Aksi ini dibantu oleh Resimen Mahasiswa (Menwa) yang didukung Kodam I Iskandar Muda. Pengusiran ini kemudian dikuatkan dengan ultimatum Panglima Kodam Iskandar Muda, Brigadir Jenderal Ishak Djuarsa, yang memerintahkan agar etnis Tionghoa meninggalkan Aceh sebelum 17 Agustus 1966. Pengumuman itu disebarkan pada 8 Mei 1966.

Menurut laporan tahunan milik Kodam Iskandar Muda (edisi 1966), sepanjang awal April hingga pertengahan Agustus 1966 jumlah warga Tionghoa yang hengkang dari Banda Aceh menuju Medan 2.146 orang. Dari jumlah itu, 1.698 orang di antaranya diberangkatkan oleh Komando Sektor Pertahanan (Kosekhan) Banda Aceh dalam beberapa tahap sebelum peringatan ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1966. Sisanya 448 orang berangkat sendiri dengan menyewa puluhan bus.

Pengusiran bukan hanya terjadi di Banda Aceh. Dari seluruh Aceh, sedikitnya ada 15.000 warga Tionghoa yang eksodus. Di Medan, mereka tinggal di penampungan di Pulau Berayan, Suka Mulia dan Binjai.

Pada masa itu banyak aset-aset komunitas Tionghoa diambil alih dan disita, seperti gedung sekolah SMA Negeri 2 dan SMP Negeri 4 yang sebelumnya bekas sekolah Tionghoa di Banda Aceh. Demikian juga gedung di kawasan Pusong Lhokseumawe, yang pernah menjadi SMEA Negeri dan PGA Negeri, atau Gedung Ampera di Langsa, yang juga pernah menjadi SMEA dan Komisariat KAPPI di Aceh Timur. Akibat sentimen anti-Tionghoa yang keras pada saat itu, banyak warga Tionghoa meninggalkan Aceh.

Ibarat bebas dari mulut singa malah diterkam buaya. Di Medan pun, tembok-tembok penuh dengan coretan-coretan seperti “Orang-orang Cina, pulang…!” dan “Sekali Cina, tetap Cina…!”. Etnis Tionghoa masih diteror. Berbagai organisasi massa di sana juga menuntut pemerintah mengusir semua warga Tionghoa dari Sumatera Utara dan Indonesia.

Ketika politik dalam negeri Indonesia mulai stabil dan sentimen mereda, warga Tionghoa berangsur-angsur kembali ke Aceh. Menurut sebuah catatan, Tionghoa berstatus warga negara Indonesia mengawali kepulangan mereka pada tahun 1970, terutama ke Banda Aceh. Tionghoa yang sudah menjadi warga Indonesia lebih mudah kembali dan menetap di Banda Aceh, sedangkan Tionghoa warga negara asing hanya bisa masuk ke kota ini dengan memanfaatkan visa kunjungan.

Kesulitan terkait izin untuk menetap kembali di Aceh akhirnya mulai bekurang sejak tahun 1975. Pada tahune-tahun berikutnya etnis Tionghoa mulai menemukan kembali ketenangan yang dulu tercabik-cabik. Perlahan mereka menata kembali kehidupan sosial dan perekonomian, hingga bisa kembali berdampingan dengan pribumi Aceh.

Konflik dan tsunami

Sentimen anti-Tionghoa kembali muncul ketika Indonesia memasuki zaman reformasi. Kondisi ini terimbas hingga ke Aceh. Pada pertengahan 1999, ketika Indonesia masih terkapar setelah dihantam krisis moneter, Tionghoa di Aceh kembali ikut menjadi sasaran. Peristiwa ini kembali memicu gelombang eksodus kecil, tidak sedahsyat tahun 1966.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun