Mohon tunggu...
Andi Perdana G
Andi Perdana G Mohon Tunggu... -

Hidup adalah Ibadah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Miskinnya Para Petani di Hari Tani

25 September 2010   10:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:58 817
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemiskinan didefinisikan sebagai suatu standar hidup yang rendah, yaitu adanya tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang berlaku di masyarakat yang bersangkutan. Ada dua tolak ukur untuk memahami kemiskinan. Pertama, tolok ukur yang umum dipakai yaitu berdasarkan tingkat pendapatan per waktu kerja, Kedua, tolok ukur kebutuhan relatif per keluarga berdasarkan kebutuhan minimal yang harus dipenuhi sebuah keluarga. Menurut PP No. 42 tahun 1981 menegaskan bahwa fakir miskin adalah: Pertama, sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya yang layak sebagai manusia dan Kedua mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya yang layak sebagai manusia.

Merilis angka kemiskinan per Maret 2010 sebanyak 31,02 juta, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa dominasi pengeluaran utama si miskin, 73,5 persen adalah untuk makan. Umumnya masyarakat miskin di Indonesia adalah mereka yang status mata pencahariannya bertani atau disebut dengan petani yang tinggal di desa. Banyak penduduk desa yang menganggur karena tak memiliki tanah untuk bertani. Mayoritas hanya menguasai tanah di bawah 0,5 hektar atau 0,5-1 hektar. Mereka masuk kategori orang miskin dan rawan miskin.

Petani dan Hari Tani Petani dan Hari Tani adalah ibarat petani dengan cangkulnya yang tak terpisahkan, karena setiap sektor masyarakat pastilah punya hari yang bersejarah ataupun hari raya nya tersendiri. Pada tanggal 24 september inilah harinya petani Indonesia, karena pada hari ini dibuat satu kebijakan UUPA yang mengatur tentang hak-hak dan kewajiban kaum tani, mengatur hak atas tanah, hak atas sumber-sumber agraria untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran petani dan bangsa. Penetapan Hari Tani Nasional berdasarkan keputusan Presiden Soekarno tanggal 26 Agustus 1963 No 169/1963 menandakan pentingnya peran dan posisi petani sebagai entitas bangsa.

Dalam usaha membebaskan kaum tani dari penderitaan, kita kenang hari yang baik dalam sejarah perjuangan kaum petani yaitu Hari Tani Nasional yang jatuh pada tanggal 24 September. Pada tanggal tersebut dengan dikeluarkannya UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), kepedulian Negara terhadap kemajuan hidup rakyatnya terutama para petani penggarap mulai diwujudkan. Ini tentu saja sejalan dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan yaitu menyejahterakan rakyatnya dengan melenyapkan Undang-Undang pertanahan yang kolonial dan feodal yang menghambat kemajuan petani khususnya petani penggarap.

Namun, pada lima puluh tahun Hari Tani Nasional kali ini pada faktanya, manisnya sektor pertanian saat ini hanya dinikmati oleh segelintir orang saja yang notabene merupakan pihak minoritas. Mereka adalah para pedagang/ penyalur produk pertanian. Sementara petani sebagai produsen masih belum dapat merasakan nikmatnya usaha mereka. kaum tani Indonesia belum menemukan kesejahteraan, problem aktual yang dihadapi kaum tani Indonesia saat ini yang makin menyengsarakan kaum tani bersumber dari usaha kolonial baru bernama neoliberalisme.

Permasalahan Pertanian Indonesia Sebagian besar petani Indonesia, kegiatan pertanian masih dianggap sebagai rutinitas turun temurun. Petani masih belum berorientasi pada aspek bisnis untuk mendapatkan keuntungan besar. Setidaknya ada 4 faktor yang menjadi penyebab problem pertanian ini terjadi, diantaranya:

Pertama, Penguasaan tanah: Usaha penjajahan baru neoliberalisme memperlihatkan bagaimana perusahaan besar baik yang bergerak di bidang perkebunan, tambang dan lain-lain semakin leluasa menjarah tanah-tanah petani sementara negara tampak tak berpihak kepada petani ketika terjadi konflik antara perusahaan besar dengan petani sehingga menyebabkan kepemilikan tanah petani Indonesia sangat sempit, petani tidak mendapatkan keuntungan yang besar dari sektor pertanian ini. Sebagai gambaran, petani kita rata-rata hanya memiliki sawah dengan luas 0,5 ha. Ini sangat berbeda sekali dengan petani Thailand yang rata-rata memiliki luas sawah 4 ha. Apabila dibuat penghitungan berdasar produktivitas sawah dengan standar rata-rata per musim 4 ton per ha. Maka apabila rata-rata sawah yang dimiliki 0,5 ha berarti semusim petani panen 2 ton gabah kering panen (GKP). Rata-rata harga GKP Rp 2.000 per kg. Jadi selama satu musim (± 4 bulan) petani hanya mendapatkan Rp 4.000.000. Berarti Rp 1.000.000 per bulan. Itupun belum dipotong dengan modal tanam berupa benih, pupuk, traktor untuk olah lahan ataupun tenaga yang dikeluarkan selama perawatan sawah. Bisa dibayangkan berapa total uang yang dibawa pulang petani untuk keluarganya.

Menilik mengenai penguasaan tanah, sesungguhnya banyak pula petani yang tidak memiliki lahan pertanian. Mereka umumnya hanya maro dengan pemilik tanah sebenarnya. Dewasa ini dengan barbagai krisis ekonomi yang makin kompleks petani banyak yang menjual tanah pertaniannya kepada para konglomerat dari kota-kota besar. Selanjutnya mereka hanya menjadi buruh tani saja. Pada kasus seperti ini, tentunya kondisi petani yang memiliki lahan meski cuma 0,5 ha lebih beruntung dibanding petani yang tidak memiliki lahan sama sekali.

Kedua, Produktivitas Rendah. Masalah produktivitas dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya lahan, varietas, dan skill (keterampilan) petani. Tidak dipungkiri bahwa ada lahan yang memiliki tingkat kesuburan yang berbeda. Sehingga ada pengkelasan lahan. Lahan kelas A mempunyai potensi produktivitas yang tinggi. Selanjutnya disusul dengan kelas B, C dan seterusnya yang memiliki kualitas lebih rendah. Kualitas lahan ini dipengaruhi oleh kesuburan dan atau kandungan unsur hara pada tanah. Jenis varietas tanaman juga memiliki peran besar dalam produktivitas tanaman. Kebanyakan petani belum begitu memperhatikan peranannya. Petani kadangkala masih asal dalam pemilihan jenis varietas. Bahkan banyak pula yang tidak mempedulikan varietas yang ditanam, yang penting mereka tanam padi. Entah itu dari varietas unggul atau tidak. Padahal dengan mengetahui jenis varietas yang ditanam, maka petani dapat memiliki gambaran tentang bagaimana resistensi tanaman yang akan ditanam terhadap hama dan penyakit tanaman, berapa rata-rata produktivitasnya, cara pemupukannya, pemeliharaannya, dan sebagainya. Dengan demikian petani dapat mengoptimalkan varietas yang ditanam dengan lahan atau lingkungannya.

Ketiga, Serangan HPT dan perubahan iklim. Serangan hama dan penyakit tanaman (HPT) sering menjadi momok besar bagi petani. Keberadaan serangan HPT tertentu pada tanaman dapat membuyarkan seluruh mimpi-mimpi petani. Besarnya harapan petani di awal musim tiba-tiba harus dihadapkan pada kenyataan. Serangan HPT dapat menurunkan produktivitas tanaman bahkan kadang sampai membuat petani gagal panen. Tetapi sebenarnya petani dapat meminimalisasi serangan HPT dengan melakukan pengantisipasian pemilihan terhadap jenis varietas yang ditanam atau menanggulanginya dengan pembasmian menggunakan pestisida. Akan tetapi petani kadang merasa dilematis, disatu sisi serangan HPT memerlukan pembasmian menggunakan pestisida dengan dosis tinggi tapi disisi lain penggunaan pestisida secara berlebihan dapat mengakibatkan hama menjadi resisten. Begitu pula perubahan iklim akhir-akhir ini yang mengganggu pola tanam dan dapat menyebabkan kegagalan produk pertanian akibat perubahan cuaca yang ekstrem yang bisa mendorong bencana banjir dan sebagainya.

Keempat, Kebijakan pemerintah. Tanah yang luas, produktivitas yang tinggi dan tiadanya serangan HPT belumlah cukup untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Masih ada faktor kunci lagi, yakni kebijakan pemerintah. Pemerintah merupakan pihak yang paling bertanggung jawab terhadap nasib rakyatnya, termasuk petani. Melalui kebijakan yang dikeluarkannya akan menentukan sejahtera tidaknya petani, saatnya ini pemerintah masih belum berpihak kepada petani, hal ini dibuktikan dengan adanya kenaikan harga pupuk dan pestisida serta adanya penghapusan berbagai subisidi, khususnya di bidang pertanian tanpa dukungan infrastruktur serta teknologi pertanian. Hal ini akan  berpengaruh pada rendahnya tingkat kesejahteraan petani.

Ini baru satu contoh sarana produk pertanian. Masih banyak produk-produk lain yang sangat bergantung dengan kebijakan pemerintah. Misalnya bawang merah di Brebes. Petani seringkali mengalami kerugian akibat tidak memiliki bargaining position atas tanaman yang mereka tanam. Dalam penentuan harga bawang, mereka banyak ditentukan oleh para tengkulak. Mereka sama sekali tidak memiliki akses info terhadap harga real di pasaran.

Saatnya Sejahterakan Petani Kecil Dengan Syariah Lima puluh tahun Hari Tani Nasional yang tampak tak semakin menemukan jalan kesejahteraan bagi kaum tani tapi justru memasuki dunia pertanian yang semakin kalah, membuat kita bertanya di mana letak pembelaan Negara terhadap usaha kemajuan kaum tani yang nota bene adalah rakyatnya yang mayoritas miskin dan menderita? Di sini, Negara dituntut untuk semakin memberikan perhatian berlebih pada kaum tani dalam usaha meningkatkan kesejahteraannya. Bila UUPA lima puluh tahun lalu memperlihatkan bagaimana petani penggarap oleh Negara didahulukan dalam usaha memajukan kesejahteraan rakyat, kini demikian pula pemerintah dituntut langkah-langkah dan terobosan yang kongkret dalam usaha memajukan kehidupan kaum taninya.

Kaum tani Indonesia tentu tidak tinggal diam dan terus didesak kalah oleh kepentingan-kepentingan neoliberal. Karena itu berbagai wadah persatuan kaum tani perlu didirikan dan aktif dalam persatuan perjuangan melawan penjajahan baru neoliberalisme.

Akhirnya berbicara mengenai kesejahteraan petani sesungguhnya banyak faktor yang bertalian. Seperti mengurai benang kusut maka sesungguhnya masalah ini tidak bisa diselesaikan setengah-setengah. Penyelesaiannya harus secara integral. Berbagai pihak baik itu pemerintah, peneliti dan bahkan petani sendiri sama-sama memiliki peran penting dalam mengatasi permasalahan pertanian yang terjadi. Karenanya di hari tani ini sudah saatnya kita peduli untuk sejahterakan petani kecil. Selamatkan Pertanian Indonesia dengan Syariah Islam.

andi.sangpenakluk@gmail.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun