Pada tahun 1989, seorang perempuan yang sedang berolahraga di Central Park, New York diserang dan diperkosa oleh seseorang. Perempuan tersebut bernama Trisha Meili yang harus melalui 12 hari dalam keadaan koma setelah kejadian tersebut. Trisha memang berhasil selamat, namun ia mengalami trauma berat dan tidak bisa mengingat siapa yang menyerangnya di malam itu.
Secara kebetulan, di Central Park pada malam itu juga terdapat sekelompok remaja kulit hitam yang tengah berjalan-jalan dan membuat sedikit onar. Dari 30 remaja yang dibawa ke kantor polisi akibat laporan malam itu, 5 di antaranya dipaksa untuk membuat pengakuan bahwa mereka merupakan pelaku pemerkosaan Trisha Meili. Kelima anak yang masih berumur 14 hingga 16 tahun itu dipanggil oleh media sebagai 'Central Park Five' dan diinterogasi oleh polisi selama berjam-jam tanpa adanya perwalian orang dewasa.
Ava DuVernay berusaha untuk mengangkat kisah tragis ini melalui mini-series Netflix yang berjudul When They See Us. Kisah ini memang sudah lama sekali terjadi dan sudah pernah dibuatkan film dokumenter berjudul The Central Park Five (2012). Akan tetapi, kisah yang disuguhkan oleh Ava DuVernay selaku produser, sutradara, sekaligus penulis naskah mini-series ini sangat wajib untuk ditonton.
Sang sutradara tidak bertujuan untuk memberikan para penonton hiburan yang menyenangkan ketika ia membuat serial dengan jumlah 4 episode ini. Dirinya serta seluruh kru lainnya ingin menyuguhkan kasus kemanusiaan dan kehormatan yang telah direnggut dari kelima anak ini.
Sepanjang serial, kita dapat melihat bagaimana mereka menjalani hidupnya sebagai anak-anak biasa yang bermain sepulang sekolah, ketika mereka ditahan, dan masa depan mereka yang hancur karena penangkapan tak berdasar ini.
When They See Us tidak dapat dibilang bagus hanya karena memberikan kisah tragis dengan latar belakang rasisme yang sudah mengakar di Amerika Serikat. Serial ini juga berhasil menjadi bagus berkat keahlian Ava DuVernay dalam melakukan pendekatan yang unik dan atas kecintaannya terhadap dokumenter.
Bagaimana ia telah berusaha untuk menggali perasaan tiap karakter melalui testimoni langsung dan bagaimana ia mengarahkan para pemainnya, kedua hal itu berhasil membuat penonton merasakan hal-hal yang tidak dapat dirasakan jika hanya menonton dokumenter biasa.
Serial ini berhasil membuat penonton merasa seakan sedang menyaksikan kejadian tragis tersebut bergulir tepat di depan mata. Rasa sesak, takut, sedih, dan marah akan menghampiri penonton selama menyaksikannya. Bukan hanya karena kisahnya sendiri yang memang tragis, namun juga secara visual dengan pewarnaan frame yang terkesan mencekam dan suram.