[caption id="attachment_302753" align="aligncenter" width="562" caption="Jokowi (kompas.com)"][/caption]
Awalnya saat membaca berita Jokowi Jamin PDI-P Tidak Bagi-bagi Kursi Menteri, kening ini berkerut. Logika awam masih terpasung pada paham generik bahwa dalam berkoalisi itu ya take and give alias saya kasih dukungan suara yang saya punya, maka anda harus memberi imbalan. Dalam konteks kekuasaan di pemerintahan, maka koalisi itu berarti berbagi kue kekuasaan yang dalam arti sempit adalah kursi kabinet atau bahkan porsi wapres, tergantung bargaining power yang dimiliki masing-masing parpol.
Model seperti itulah yang memang terjadi selama ini, khususnya dalam rentang waktu 10 tahun terakhir masa kekuasaan SBY. Koalisi yang dibangun pemerintahan SBY sarat dengan nuansa pelangi yang mengakomodasi semua kekuatan parpol pendukungnya. Fakta yang kemudian terjadi adalah pemerintahan rezim SBY tersandera! SBY terjebak dengan desain koalisi yang dirancangnya sendiri. Walaupun diawal pembentukan pemerintahannya ada pakta integritas yang ditandatangani anggota-anggota kabinet, namun dalam perjalanannya Presiden SBY ibarat bebek lumpuh yang tanpa daya.
Dalam perspektif Jokowi, sistem koalisi itu semisal suatu partai politik dalam pemilihan legislatif yang memperoleh suara 20 persen, maka parpol itu mendapatkan jatah kursi menteri 8. Atau suatu partai politik memperoleh suara 10 persen, maka mereka hanya mendapatkan jatah 5 kursi menteri.
Nah ketika Jokowi mengatakan bahwa dirinya menjamin kerja sama politik ala partainya tidak berujung pada bagi-bagi kursi menteri, lalu seperti apa sih maunya Jokowi ini dengan desain kabinet pemerintahannya apabila ia benar-benar terpilih sebagai Presiden RI mendatang? Mari kita coba membaca maunya Jokowi ini.
Apabila berkaca pada langkah yang diambil Jokowi dalam membenahi birokrasi di lingkungan Pemda DKI Jakarta yang diantaranya melakukan lelang jabatan untuk mengisi berbagai posisi di birokrasi DKI untuk mendapatkan orang yang tepat, punya kapasitas dan kapabilitas, maka seandainya Jokowi terpilih sebagai Presiden RI mendatang, mungkin model semacam itulah yang kira-kira akan digunakannya untuk mengisi kabinet pemerintahannya.
Tentunya mengisi kursi kabinet yang jumlahnya tidak lebih dari 30 orang itu akan berbeda dengan mengisi posisi jabatan eselon II, III, IV di lingkungan Pemda DKI yang jumlahnya ratusan. Tapi intinya sama saja yakni mencari orang-orang yang mumpuni, punya kapasitas dan kapabilitas cukup di bidangnya masing-masing.
Dalam konteks merancang desain kabinet pemerintahannya mendatang, Jokowi dan PDIP ini jelas tidak ingin mengulangi kesalahan yang telah dilakukan SBY dan Partai Demokrat. Sejak awal Jokowi dan PDIP ketika melakukan PDKT dengan parpol-parpol lebih menekankan kosa kata kerja sama dan bergotong-royong untuk membangun bangsa. Koalisi yang identik dengan bagi-bagi kursi kabinet benar-benar coba dikesampingkan.
Jebakan-jebakan dalam koalisi ini akan jelas terlihat ketika dukungan parpol harus dikonversi dengan jatah kursi kabinet sesuai kesepakatan. Maka ketika presiden terpilih menyusun formasi kabinetnya ia hanya akan dihadapkan pada pilihan-pilihan figur yang disodorkan parpol. Tidak jarang figur calon menteri yang diajukan parpol itu adalah ketua umum parpol itu sendiri yang belum tentu pas dan capable sebagai menteri. Padahal Jokowi berharap para menterinya itu harus siap bekerja secara profesional, mengikuti irama presiden yang langsung tancap gas bekerja untuk rakyat bukan lagi penghambaan pada partai dan golongannya sendiri.
Jokowi tidak ingin pilihan figur calon menterinya nanti terbatas hanya sesuai yang disodorkan parpol pendukungnya. Kalau kebetulan calon menteri yang disodorkan parpol itu sesuai kriterianya sih tidak jadi masalah, tapi kalau standarnya jauh dari harapan ya harus ditolak. Sebaliknya, jika parpol pendukung ternyata mengajukan figur-figur kader parpol yang mamang layak sebagai menteri berdasarkan kriteria semisal profesional, capable, berintegritas, punya rekam jejak excellent, dan lain sebagainya, maka bisa saja Jokowi menerima tanpa ada batasan kuota-kuotaan untuk parpol itu.
Maka dari itu pula, Jokowi juga menyatakan sedini mungkin diawal kerjasama politik yang akan dibangunnya bahwa pemerintahan adalah sistem presidensiil. Implikasinya, presiden mempunyai hak prerogatif penuh dalam menyusun para anggota kabinetnya.