Tanggal 26 April 1986, reaktor nuklir yang berlokasi di Chernobyl, Uni Sovyet, meledak. Daya ledak sangat dahsyat, sampai mengakibatkan beton 1000 ton yang mengungkung reaktor patah dan terlontar. Teras reaktor hancur dan batang bahan bakarnya rusak parah, yang mengakibatkan sekitar 5% material radioaktif dalam teras terlepas ke lingkungan. Material radioaktif itu terdiri dari bahan bakar dan produk fisi, baik yang memiliki umur paruh panjang maupun pendek (kontribusi terbesar diberikan oleh I-131 dan Cs-137). Sebagian besar material radioaktif berbentuk padat yang terlepas ke lingkungan tertumpuk di sekitar reaktor, tapi sebagian terbawa melalui udara dan menyebar ke negara-negara di sekitarnya (termasuk wilayah Belarusia dan Ukraina saat ini), termasuk Skandinavia dan Eropa secara umum, walau kadarnya tidak signifikan.
Dalam kecelakaan ini, satu orang tewas seketika dan satu lagi tewas di rumah sakit. Sejumlah 28 orang lain turut meninggal dalam tiga bulan setelahnya, akibat paparan tinggi radiasi terhadap tubuh mereka. International Atomic Energy Agency (IAEA) mengkategorikan kecelakaan Chernobyl dalam kecelakaan Level 7. Hingga sekarang, 30 tahun pasca kecelakaan tersebut, Chernobyl masih menjadi kota mati, ditinggalkan oleh penduduknya.
Reaktor Chernobyl
Reaktor nuklir Chernobyl unit 4 yang mengalami kecelakaan merupakan reaktor tipe RBMK. Reaktor jenis ini unik hanya dibangun di Uni Sovyet kala itu, dan ditengarai merupakan bagian dari Perang Dingin dengan Amerika Serikat, yang mana kedua negara berlomba-lomba membuat senjata nuklir untuk ‘pamer kekuatan’. Basis reaktor ini adalah Boiling Water Reactor (BWR/Reaktor Air Didih), walau konfigurasinya tidak persis sama. Yang menjadi pembeda utama adalah moderatornya yang menggunakan grafit alih-alih air ringan.
Dibanding reaktor nuklir lain yang dibangun di dunia pada masa itu, reaktor RBMK Uni Sovyet memiliki desain yang buruk. Tidak hanya itu, sistem keselamatan secara keseluruhan pun menyedihkan. Reaktor ini memiliki koefisien reaktivitas sangat positif di daya rendah, serta memiliki struktur pengungkung yang jauh dari aman. Tidak berhenti di situ, konfigurasi teras yang menggunakan moderator grafit dan pendingin air pun merupakan kombinasi yang mengundang masalah. Seolah semuanya belum cukup, reaktor Chernobyl dioperasikan oleh operator yang tidak kompeten dan tidak melalui pelatihan yang seharusnya.
Melihat kondisi-kondisi tersebut, sebenarnya memang tinggal menunggu waktu saja sampai terjadi kecelakaan.
Pada hari terjadinya kecelakaan, operator reaktor ingin menguji sistem pada turbin dan generator reaktor. Celakanya, untuk melakukan pengujian ini, operator mematikan seluruh sistem keselamatan reaktor dan menguji sistem itu pada daya rendah (kondisi paling berbahaya). Hasilnya, daya reaktor naik dengan cepat seiring kenaikan suhu, melelehkan teras reaktor dan mengakibatkan kebocoran air pendingin ke moderator grafit. Kombinasi keduanya menghasilkan ledakan hidrogen dahsyat yang menghancurkan bangunan reaktor, disusul ledakan hidrogen lain yang diakibatkan reaksi kelongsong zirkonium bersuhu tinggi dengan air. Bahan radioaktif pun terlepas ke lingkungan, menyelimuti Chernobyl dengan radioaktivitas tinggi, yang hingga sekarang, masih belum benar-benar bisa dipastikan keamanannya.
Bombastisasi Dampak
Kecelakaan reaktor Chernobyl jelas merupakan bencana besar dan sama sekali tidak diharapkan untuk terjadi lagi. Para ahli nuklir di seluruh dunia pun kemudian merumuskan tata aturan keselamatan reaktor nuklir, agar kecelakaan serupa tidak terulang. Memang, pada tahun 2011, kecelakaan sejenis terjadi pada reaktor nuklir Fukushima Daiichi Unit 2 di Jepang. Namun, level kecelakaannya lebih rendah dan sama sekali tidak menghasilkan korban jiwa. Setelah itu pun, PLTN di seluruh dunia diharuskan untuk meningkatkan sistem keselamatannya, yang itupun masih dipertanyakan apakah benar-benar diperlukan atau tidak.
Yang menyedihkan adalah sikap media massa terhadap kecelakaan ini. Media, setelah kecelakaan Chernobyl, dengan sembrono menyebutkan ribuan orang mati karena kecelakaan itu, walau realitanya sampai tahun ini korban sebenarnya ‘hanya’ berkisar 30 orang, seperti dituliskan oleh World Nuclear Association (WNA) pada data awal mereka. Atau 64 orang, jika merujuk pada data UNSCEAR yang dirilis tahun 2011, juga dirujuk oleh WNA.
Selama bertahun-tahun berikutnya, kecelakaan Chernobyl ini terus disorot oleh media sebagai ‘bukti’ bahwa reaktor nuklir itu sangat berbahaya. Padahal, seperti dijelaskan sebelumnya, reaktor RBMK hanya ada di bekas Uni Sovyet, dan tidak ada di negara lain. Tidak ada regulator nuklir waras manapun yang memperbolehkan reaktor sejenis RBMK Chernobyl untuk beroperasi di belahan bumi lainnya. Bahkan, sekarang pun Rusia sama sekali tidak menggunakan lagi reaktor RBMK.
Tidak ketinggalan juga, dibuatlah film bertajuk Chernobyl Diaries, yang menunjukkan efek kecelakaan Chernobyl seperti ikan yang bermutasi, mutan humanoid, sampai kesembronoan dalam menggambarkan ‘radiasi yang terlalu tinggi’. Padahal, kota Pripyat yang menjadi lokasi cerita banyak dikunjungi turis, alih-alih kosong mengerikan dan dipenuhi radiasi berbahaya.
Lebih dari itu, yang lebih banyak disorot adalah propaganda-propaganda anti nuklir yang seolah mendapat angin segar pasca kecelakaan Chernobyl untuk menyuarakan penentangan mereka. Maka dimuatlah bahwa dampak berkepanjangan Chernobyl mengakibatkan puluhan ribu kematian, radiasi akibat material radioaktif mengakibatkan ribuan kasus kanker, aborsi spontan, mutasi genetik pada keturunan, serta berbagai efek mengerikan yang dilebih-lebihkan oleh kelompok anti nuklir. Sementara, semua jenis laporan, klarifikasi, data lengkap hasil survei di lapangan, baik yang dilakukan oleh IAEA maupun World Health Organisation (WHO), diabaikan.
Sedikit melebar ke kasus terbaru, Fukushima, tragedi sebenarnya adalah tsunami, yang menewaskan lebih dari 15 ribu orang. Namun, terjadinya ledakan di reaktor Fukushima Daiichi unit 2 membuat media massa melupakan korban sebenarnya dari tragedi tsunami, dan beralih menggembargemborkan “bencana nuklir”, walau faktanya korban tewas akibat kecelakaan reaktor itu adalah nol.
Amoralitas Media
Tampaknya, media massa sama sekali tidak peduli dengan detail. Yang mereka pedulikan adalah sensasi. Tentu saja, karena sensasi itulah yang paling menjual. Siapa, sih, yang mau membaca berita bahwa ‘hanya’ 30 orang yang meninggal karena ledakan Chernobyl berdasarkan laporan resmi? Lebih memikat kalau menyajikan informasi bahwa korbannya ribuan orang, dengan informasi berasal dari pihak anti nuklir. Masyarakat akan jauh lebih tertarik membacanya.
Para jurnalisnya pun masa bodoh dengan fakta bahwa tidak ada reaktor nuklir di dunia, baik yang sudah beroperasi maupun sedang dan akan dibangun, yang menggunakan desain reaktor Chernobyl. Sementara, ketiadaan reaktor RBMK tersebut berarti melenyapkan sama sekali peluang terjadinya kecelakaan sejenis, apalagi yang lebih parah. Mereka juga tidak mau tahu soal dosis radiasi, apalagi efek deterministik dan stokastik radiasi nuklir terhadap tubuh manusia. Yang penting itu radiasi, dan radiasi itu berbahaya. Titik. Meski faktanya, setiap hari pun manusia ‘dibombardir’ oleh radiasi, baik radiasi kosmik maupun radiasi latar dari bumi. Dosis radiasi di area sekitar lokasi kecelakaan nuklir yang digembargemborkan pun sebenarnya sudah rendah, sehingga relokasi ke tempat yang lebih jauh dari lokasi dekat kecelakaan pun tidak banyak membantu.
Fakta lainnya, seperti ditampilkan National Geographic, daerah eksklusi Chernobyl, yang tidak boleh dimasuki oleh manusia, justru banyak ditinggali oleh hewan-hewan liar. Mereka tumbuh dan berkembang lebih pesat dibanding saat manusia masih menghuni tempat itu, tanpa ditemukannya efek negatif radiasi terhadap hewan-hewan itu. Belarusia, yang seperempat bagian negaranya terkena dampak radioaktivitas dari kecelakaan Chernobyl, mulai merelokasi penduduk ke tempat yang terkena dampak itu. Bahkan, mereka sekarang sudah move on dan membangun PLTN.
Tapi, semua fakta itu tidak disorot oleh media massa. Jurnalis dan media lebih suka mengambil sudut pandang yang lebih ‘seksi’ untuk disajikan pada publik. Sekalinya ada yang jujur memberitakan, jumlahnya jauh lebih sedikit dan dampaknya tidak begitu besar.
Hasilnya? Persepsi masyarakat mengenai nuklir pun banyak yang negatif. Akibat persepsi publik yang disimpangkan ini pula, Jerman ‘terpaksa’ mengambil keputusan untuk menutup semua reaktor nuklirnya pada tahun 2022, meski sekarang diperpanjang menjadi 2035.
Konon, Napoleon Bonaparte lebih takut pada tiga surat kabar daripada seratus ribu bayonet. Wajar saja. Media massa memiliki peran dalam memengaruhi opini publik. Persepsi mereka banyak dibentuk oleh apa yang mereka baca. Apa yang mereka baca menimbulkan persepsi, dan persepsi itulah yang kemudian memengaruhi sikap seseorang terhadap sesuatu, dalam hal ini nuklir.
Coba tanyakan saja pada anak sekolah, apa yang mereka pikirkan ketika mendengar kata nuklir? Kalau bukan ‘radiasi’, ya ‘bom’. Mereka telah dicekoki persepsi sejak kecil melalui media (termasuk buku pelajaran yang tidak menjabarkan fakta secara detail), sehingga membentuk persepsi buruk terhadap nuklir dan akhirnya bersikap takut bahkan antipati. Apalagi LSM-LSM anti nuklir semacam Greenpeace terus menyebarkan informasi-informasi yang menambah persepsi buruk itu secara tidak bertanggungjawab. Tidak heran orang-orang mengalami ketakutan berlebihan yang sama sekali tidak diperlukan.
Sikap amoral media massa ini patut disayangkan. Media yang seharusnya menyajikan informasi yang benar (tidak hanya berimbang), malah jadi arena penyesatan publik melalui informasi-informasi menyesatkan yang tanpa henti disuapkan pada warga masyarakat. Bukannya mencerdaskan, media malah menjadi corong pembodohan massal. Padahal, konsekuensinya tidak ringan. Opini publik yang tersesatkan oleh propaganda negatif nuklir seringkali membuat arus politik berubah. Jerman, misalnya. Jepang, yang juga mengalami kecelakaan nuklir lima tahun lalu, mendapat tekanan besar dari publik untuk tidak lagi menggunakan reaktor nuklir karena dianggap ‘berbahaya’. Meski untungnya, pemerintah Jepang masih lebih logis daripada masyarakatnya, dan memutuskan untuk mulai menyalakan kembali reaktor nuklir mereka.
Di Amerika Serikat, opini anti nuklir sedikit atau banyak berpengaruh terhadap ditutupnya PLTN Yankee Vermont. Begitu pula tekanan untuk menutup PLTN Diablo Canyon, meski lisensi operasinya masih tersisa cukup lama. Peran siapa lagi kalau bukan media massa, yang terus menakut-nakuti masyarakat dengan berbagai dampak yang berlebihan?
Padahal, ditutupnya PLTN akan berakibat buruk pada kondisi bumi. Energi nuklir merupakan penyumbang listrik bebas karbon terbesar dunia, jauh di atas energi terbarukan. Penutupan PLTN tidak akan dikompensasi oleh energi terbarukan, semua itu hanya mitos. Pada akhirnya, PLTN itu akan diganti dengan sumber energi fosil, baik batubara ataupun gas alam. Seperti Jepang yang lima tahun terakhir sangat tergantung pada gas alam untuk mengompensasi dimatikannya PLTN mereka. Padahal, keduanya adalah penyumbang terbesar pemanasan global dan perubahan iklim yang terjadi di bumi ini. Partikel CO2 yang dilepaskannya ke udara tidak bisa ditanggulangi—gas itu akan lepas begitu saja dan mencemari atmosfer. Lebih dari 30 ribu orang mati tiap tahunnya di Amerika Serikat saja karena partikulat dari PLTU batubara, dan berkali lipat lebih banyak korbannya di Cina. Sikap anti nuklir mengancam usaha pengendalian pemanasan global, dan malah membuat pemanasan global jauh lebih buruk dari sekarang.
Apakah para awak media pernah berpikir sejauh itu? Tentu saja tidak.
Apa yang dilakukan media massa amoral ini jauh lebih banyak berdampak buruk daripada baik. Jelas saja, dampak baik apa yang bisa didapatkan dari informasi sesat dan menyesatkan? Jika media massa terus bersikap seperti ini, maka kita tahu siapa yang hidungnya harus ditunjuk jika PLTN banyak ditutup akibat tekanan politik dan pembangunan PLTN di negeri ini terus mangkrak gara-gara tekanan warga masyarakat terhadap penguasa yang merasa takut akan ‘ancaman’ PLTN, yang sebenarnya tidak ada wujudnya.
Menilik dari reaksi berlebihan media dan kemudian publik pasca kecelakaan Chernobyl (juga Fukushima), lalu dampak kolateral yang diakibatkan reaksi tersebut (ribuan orang meninggal di tempat relokasi, dan meninggalnya atas alasan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan nuklir), bisa dikatakan bahwa ketakutan yang dibuat-buat terhadap energi nuklir membunuh lebih banyak orang daripada teknologi nuklir itu sendiri.
Tulisan ini pertama dirilis untuk menanggapi 30 tahun kecelakaan Chernobyl pada 26 April 2016 lalu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H