Tidak ketinggalan juga, dibuatlah film bertajuk Chernobyl Diaries, yang menunjukkan efek kecelakaan Chernobyl seperti ikan yang bermutasi, mutan humanoid, sampai kesembronoan dalam menggambarkan ‘radiasi yang terlalu tinggi’. Padahal, kota Pripyat yang menjadi lokasi cerita banyak dikunjungi turis, alih-alih kosong mengerikan dan dipenuhi radiasi berbahaya.
Lebih dari itu, yang lebih banyak disorot adalah propaganda-propaganda anti nuklir yang seolah mendapat angin segar pasca kecelakaan Chernobyl untuk menyuarakan penentangan mereka. Maka dimuatlah bahwa dampak berkepanjangan Chernobyl mengakibatkan puluhan ribu kematian, radiasi akibat material radioaktif mengakibatkan ribuan kasus kanker, aborsi spontan, mutasi genetik pada keturunan, serta berbagai efek mengerikan yang dilebih-lebihkan oleh kelompok anti nuklir. Sementara, semua jenis laporan, klarifikasi, data lengkap hasil survei di lapangan, baik yang dilakukan oleh IAEA maupun World Health Organisation (WHO), diabaikan.
Sedikit melebar ke kasus terbaru, Fukushima, tragedi sebenarnya adalah tsunami, yang menewaskan lebih dari 15 ribu orang. Namun, terjadinya ledakan di reaktor Fukushima Daiichi unit 2 membuat media massa melupakan korban sebenarnya dari tragedi tsunami, dan beralih menggembargemborkan “bencana nuklir”, walau faktanya korban tewas akibat kecelakaan reaktor itu adalah nol.
Amoralitas Media
Tampaknya, media massa sama sekali tidak peduli dengan detail. Yang mereka pedulikan adalah sensasi. Tentu saja, karena sensasi itulah yang paling menjual. Siapa, sih, yang mau membaca berita bahwa ‘hanya’ 30 orang yang meninggal karena ledakan Chernobyl berdasarkan laporan resmi? Lebih memikat kalau menyajikan informasi bahwa korbannya ribuan orang, dengan informasi berasal dari pihak anti nuklir. Masyarakat akan jauh lebih tertarik membacanya.
Para jurnalisnya pun masa bodoh dengan fakta bahwa tidak ada reaktor nuklir di dunia, baik yang sudah beroperasi maupun sedang dan akan dibangun, yang menggunakan desain reaktor Chernobyl. Sementara, ketiadaan reaktor RBMK tersebut berarti melenyapkan sama sekali peluang terjadinya kecelakaan sejenis, apalagi yang lebih parah. Mereka juga tidak mau tahu soal dosis radiasi, apalagi efek deterministik dan stokastik radiasi nuklir terhadap tubuh manusia. Yang penting itu radiasi, dan radiasi itu berbahaya. Titik. Meski faktanya, setiap hari pun manusia ‘dibombardir’ oleh radiasi, baik radiasi kosmik maupun radiasi latar dari bumi. Dosis radiasi di area sekitar lokasi kecelakaan nuklir yang digembargemborkan pun sebenarnya sudah rendah, sehingga relokasi ke tempat yang lebih jauh dari lokasi dekat kecelakaan pun tidak banyak membantu.
Fakta lainnya, seperti ditampilkan National Geographic, daerah eksklusi Chernobyl, yang tidak boleh dimasuki oleh manusia, justru banyak ditinggali oleh hewan-hewan liar. Mereka tumbuh dan berkembang lebih pesat dibanding saat manusia masih menghuni tempat itu, tanpa ditemukannya efek negatif radiasi terhadap hewan-hewan itu. Belarusia, yang seperempat bagian negaranya terkena dampak radioaktivitas dari kecelakaan Chernobyl, mulai merelokasi penduduk ke tempat yang terkena dampak itu. Bahkan, mereka sekarang sudah move on dan membangun PLTN.
Tapi, semua fakta itu tidak disorot oleh media massa. Jurnalis dan media lebih suka mengambil sudut pandang yang lebih ‘seksi’ untuk disajikan pada publik. Sekalinya ada yang jujur memberitakan, jumlahnya jauh lebih sedikit dan dampaknya tidak begitu besar.
Hasilnya? Persepsi masyarakat mengenai nuklir pun banyak yang negatif. Akibat persepsi publik yang disimpangkan ini pula, Jerman ‘terpaksa’ mengambil keputusan untuk menutup semua reaktor nuklirnya pada tahun 2022, meski sekarang diperpanjang menjadi 2035.
Konon, Napoleon Bonaparte lebih takut pada tiga surat kabar daripada seratus ribu bayonet. Wajar saja. Media massa memiliki peran dalam memengaruhi opini publik. Persepsi mereka banyak dibentuk oleh apa yang mereka baca. Apa yang mereka baca menimbulkan persepsi, dan persepsi itulah yang kemudian memengaruhi sikap seseorang terhadap sesuatu, dalam hal ini nuklir.
Coba tanyakan saja pada anak sekolah, apa yang mereka pikirkan ketika mendengar kata nuklir? Kalau bukan ‘radiasi’, ya ‘bom’. Mereka telah dicekoki persepsi sejak kecil melalui media (termasuk buku pelajaran yang tidak menjabarkan fakta secara detail), sehingga membentuk persepsi buruk terhadap nuklir dan akhirnya bersikap takut bahkan antipati. Apalagi LSM-LSM anti nuklir semacam Greenpeace terus menyebarkan informasi-informasi yang menambah persepsi buruk itu secara tidak bertanggungjawab. Tidak heran orang-orang mengalami ketakutan berlebihan yang sama sekali tidak diperlukan.