Mohon tunggu...
Andhika ivananta budiman
Andhika ivananta budiman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Memupuk dengan membaca, memetik dengan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

01.40

9 Januari 2024   08:30 Diperbarui: 9 Januari 2024   08:41 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Untuk apa toh? Bukankah kita semua ini adalah binatang bermuka dua? Toh ujungnya yang kamu lakukan ke sesama itu hanya untuk kepentinganmu kan?" tegur Lara kepada Atman.

Atman termenung sejenak, sesuai dengan pemikirannya, memang manusia bisa dikatakan makhluk yang berwajah samar, entah, ia agaknya meyakini bahwa memang benar adanya.

"tapi man, bukankah itu yang menjadikan kita ini unik? Ya mungkin masuk akal jika ada sisi egois atau kemunafikkan pada kita, tapi bayangkan, tanpa kekurangan itu, kita tidak bisa mengetahui kemampuan kita, tidak tau arti melengkapi." sahut Ananda, memberi pandangan yang lain dari Lara.

"alah persetan saling melengkapi itu, hal-hal itu hanyalah bualan, itu hanya fiksi yang kita ciptakan, man, seumur hidupmu kapan terakhir kali kamu merasakan kebahagiaan dalam waktu yang lama? Kamu merasakan cinta, namun direnggut secepat kilat, kamu merasa aman dalam lingkunganmu, tapi siapa yang ada dalam kesendirian mu dulu? Bahkan keluarga? Yang kebanyakan orang merasa itu tempat terhidup bagi seorang jiwa, adakah kamu merasa hidup di sana? Orang yang kamu cintai di sana telah meninggalkan mu man, ia direnggut begitu saja tanpa pamit oleh semesta ini, nampaknya bukan hanya manusia yang munafik, seisi alam semesta pun begitu!" Maki Lara kepada Atman, mengingatkannya akan hal-hal yang sudah terjadi.

"Ra! Perhatikan ucapanmu! Tidakkah kamu menghargai apa yang Atman telah lalui? Proses jatuh dan bangun, datang dan pergi, hidup dan mati adalah hal yang wajar dalam dunia ini, Atman, coba kamu lihat itu dari gambaran yang lebih kecil lagi, bukankah kamu menikmatinya? Lagu-lagu syahdu dalam buaian harian cinta mu, basa-basi yang sebetulnya tidak perlu dalam keseharian itu, aroma masakan rumah di pagi hari, bukankah kamu mencintai itu man?"

"Persetan itu semua man, tidak ada gunanya hal kecil yang baik jika berakhir dalam lingkaran besar yang buruk, bukankah lebih baik jika seisi dunia terbakar bersama mu?"

Setelah pertanyaan itu, pikiran Atman berlari dari percakapan tersebut, perdebatan Lara dan Ananda hanya menjadi  lagu latar belakang dalam perjalanan rekaman memorinya, ia berlari liar dalam pikiran masa lalu, memikirkan apakah perkataan Lara sesungguhnya adalah kebenaran? Tapi ada sedikit perasaan yang menolak itu, Atman tidak tahu apa, mungkin ucapan Ananda ada benarnya juga, jadi, siapa yang benar? Mana yang benar? Dua hal tersebut menjadi perdebatan tersendiri dalam diri Atman.

"Sudah lah! Aku tidak tau mana yang benar dan salah, aku teringat cerita Satya dulu, aku pikir aku perlu melakukannya juga." Jawab Atman sebelum meninggalkan mereka.

Kemudian Atman beranjak pergi, dipikirannya tertuju satu tempat, stasiun kereta, tempat dimana banyak aktivitas manusia yang mungkin bisa membantu Atman menentukan pilihannya, dalam perjalanannya, pikiran Atman berkecamuk, teringat Kembali perasaan-perasaan yang sudah ditimbun dengan usaha keras oleh Atman.

Sesampainya di stasiun Atman mencari penjual kopi pinggir jalan, memesan kopi lalu mengeluarkan buku tulisnya, ia perlu mencurahkan isi pikiran dan perasaannya terlebih dahulu setelah diserang habis-habisan dalam perjalannya ke stasiun, mengeluarkan pena sebelum siap menulis puisi, memasang earphone dan memainkan lagu Nyala dari Sal priadi.

"Aku ingin jadi jantungmu dan berhenti semauku, agar kau tahu rasanya hampir mati

Nyalakan tungku itu, persembahan jiwa ku pada neraka

Bertepuk tangan lah seraya kau berjalan mundur

Di bawah purnama, berteriak lah, saksikanlah persembahan ini

Bawalah darahku nanti sebagai pengiring langkahmu

Menarilah di atasnya, tertawalah seangkuhmu

Mungkin ini yang ku cari, mungkin itu yang ku nanti."

Lalu ia berhenti sejenak setelah dirasa cukup untuk melampiaskan rasa dan karsanya, ditutuplah bukunya, ia mencoba memahami realita, memandangi kurir yang mengangkut barang bawaannya, pedagang kaki lima yang sibuk menyajikan makanannya, bisingnya lalu Lalang kendaraan dan mesin kereta, tangisan anak kecil hingga pelukan perpisahan atau pertemuan dari perpisahan yang memakan waktu.

"Nugas kok di stasiun mas?" tanya seorang perempuan yang tak dikenali Atman.

"Nggak mba, lagi nulis aja,"

"Oalaahh, jarang-jarang saya ngeliat orang nulis di keramaian gini, biasanya orang kalua nulis nyari tempat yang damai, emang masnya lagi nulis apa?"

"Puisi doang sih mba, lagi bingung mau ngapain sore-sore gini, kayaknya nyantai di sini sambil nulis asik,"

"Wah, masnya suka nulis puisi juga? Boleh dong sharing tulisan mas, mas lagi nulis tentang apa? oh iya, ngomong-ngomong namaku shanti," ujar seorang puan yang ternyata Bernama shanti itu, ia terlihat sangat bersemangat Ketika mengetahu Atman sedang menulis puisi.

"Wahh, boleh-boleh, aku juga butuh temen buat sharing, siapa tau bisa tukeran ide-ide, namaku Atman, aku lagi nulis puisi tema percintaan sih, mungkin buat awalan, kenapa kamu suka nulis puisi?" jawab Atman yang juga tampak semangat.

"Awal aku nulis puisi iu semenjak aku berkunjung ke panti asuhan, waktu itu aku lagi bagi-bagi buku di sana, entah kenapa dari banyaknya buku yang ku bagiin, kebanyakan anak-anak usia sekitaran anak SMP mungkin ya? Mereka tertarik sama buku-buku sastra, kita jadi bercerita tentang perasaan dari pengalaman yang mereka rasakan, dari situ aku entah kenapa jadi bersemangat buat menulis karya sastra dan aku mulai dari puisi, mungkin karena dari situ aku merasa kalua karya sastra adalah media penghubung perasaan sesame manusia, kalau mas sendiri kenapa suka nulis puisi?"

"Hmm, awalnya sih aku nulis puisi cuman sebagai pengisi waktu luang aja, cuman seiring berjalannya waktu, aku ngerasa menulis nambah keahlian ku mengolah kata dan khususnya berfikir, mungkin pandanganmu benar, karena dari proses menulis itu kita jadi lebih mengenali apa yang kita rasakan dan juga apa yang orang lain rasakan kan? Lalu kita curahkan itu dalam bentuk tulisan,"

"Mungkin iya sih mas.. dari yang sering aku tulis, aku lebih sering nulis dari apa yang kulihat lalu dari situ baru aku terjemahin ke dalam diriku, seperti tulisan pertama ku sepulang dari panti asuhan itu, aku menulis apa yang mereka rasakan, lalu aku selami itu, aku bentrokkan dengan apa yang aku rasakan, ngomong-ngomong soal ide, mas lebih sering nulis genre apa?"

"Sebelum bahas genre tulisan, aku ada pertanyaan, kenapa kamu menulis tentang hal luar terlebih dahulu sebelum diri kamu? ini menarik, karena yang aku lakukan itu sebaliknya, menurutku proses menyelami diri itu penting sebelum kita berpindah ke luar itu," Tanya Atman yang penasaran, karena apa yang Shanti lakukan berbeda dengan Atman.

"Awalnya aku pun begitu, tapi lama-kelamaan aku merasa jika terlalu lama meresapi apa yang ada dalam diri, kita hanyut di dalamnya, terlena, aku menulis pun sebenarnya juga jadi salah satu proses damai dengan diri sendiri, menurutku untuk berdamai, kita harus mempunyai perbandingan, agar tidak tenggelam dalam satu sudut pandang saja, kalau mungkin aku masih menggunakan cara itu, cara yang mas lakukan, bukankah itu malah membawakan kebencian?"

Atman terdiam sejenak, pertanyaan terakhir Shanti menggema dalam pikirannya, "bagaimana bisa? Bukankah dengan mengamati penderitaan orang lain agar tidak terjadi di kita adalah sebuah tarian di atas tangisan mereka?"

"Itu sepertinya berbeda hal mas, yang aku lakukan itu aku mencoba menjadi dua arah, keluar dan kedalam di saat bersamaan, aku rasa akan ada kemunafikkan, jika mas bermaksud mengenali diri sendiri secara penuh terlebih dahulu sebelum membagikannya ke orang lain, karena nantinya sifat besar kepala akan terbawa keluar sana, yang meruntuhkan mas di tangga kedua, dari khayalan dan harapan yang mas ciptakan, tanpa diiringi kenyataan"

"Sebentar, biarkan aku berfikir," Atman meminta waktu seraya memikirkan apa yang sudah, sedang dan akan ia alami.

Percintaan, hubungan seperti Romeo dan Juliet, Atman meyakini bahwa itu adalah omong kosong, tidak ada lagi Romeo dan Juliet pada masa kini, hanya ada Romeo atau Juliet, usaha-usaha yang dilakukan oleh Romeo atau Juliet hanya menghasilkan rasa sakit, benci dan dendam, cinta yang murni itu hanya ada dalam ilusi yang muncul dari sentuhan pertama, selanjutnya bukan cinta namanya, melainkan proses negosiasi, jual-beli.

Kehidupan dan kematian, dua hal yang selalu ada, dan Atman membencinya, untuk apa diciptakan dengan diberikan penderitaan Panjang lalu akhirnya dibinasakan? Jika memakai aturan agama, bahkan ada kemungkinan setelah dibinasakan seseorang itu disiksa kembali, seseorang pernah memberi tahu Atman bahwa hidup ini adalah ujian, bahkan sebelum diturunkan ke bumi ini, katanya kita sudah pernah dipertanyakan apakah sanggup mengikuti ujian tersebut? Ya, tetap saja, Atman selalu bertanya, untuk apa?

Lalu Atman menjelaskan isi pikirannya kepada Shanti. "Sekarang kamu mengerti kan?"

"Mungkin pertama-tama, kita harus tahu jikalau lawan dari cinta bukanlah benci namun ketidak pedulian, aku rasa kamu harus memahami konsep yin dan yang, keteraturan dalam kekacauan atau sebaliknya, perihal hidup, kita harus memahami apa itu kehidupan, jadi apa definisi kehidupan bagi mu?" Tanya Shanti kepada Atman, sebelum Shanti pamit.

Atman mulai memikirkan sudut pandang Shanti, ia paham, jikalau untuk menyadari keindahan harus ada keburukan, positif selalu berdampingan dengan negative, perjuangan satu paket dengan kegagalan, ia memahami, namun tak lagi mampu meresapi, tidak ada kesimpulan baginya, semua hal menjadi hampa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun