Selain memperkuat MCS nasional, Johns (2013) menyatakan bahwa rencana aksi satu negara (aksi regional) tidak mencukupi untuk memperbaiki IUU fishing, sehingga diperlukan 'coordinated regional action' dengan dukungan pembangunan berkapasitas internasional. Terkait dengan 'coordinated regional action', saat ini telah terbentuk aliansi regional maupun internasional (seperti ASEAN-Wildlife Enforcement Network dan Regional Plan of Action (RPOA-IUU) di Asia Tenggara).Â
Paradigma regulasi pluralistik tersebut dapat memanfaatkan keterkaitan IUU fishing dan aktivitas kriminal transnasional untuk mencapai hasil positif yang berlipat (Lindley dan Techera, 2017). Khusus di wilayah Indonesia, telah disusun suatu Rancangan Peraturan Presiden Republik Indonesia Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing Tahun 2016-2020.Â
Solusi lain untuk mengurangi overfishing agar populasi ikan dapat dikeola  berdasarkan prinsip berkelanjutan adalah dengan menggunakan teknologi akuakultur atau biasa dikenal dengan fish farming. Secara sederhana, teknik ini adalah dengan membuat batasan tertentu untuk membudidayakan ikan. Namun, akuakultur menghadapi tantangan seperti wabah penyakit, produksi pakan, dan pembuangan limbah. Â
Maka dari itu, terdapat teknologi baru dengan sistem resirkulasi air, sehingga bebas dari kontaminan dan patogen. Sistem ini dibuat dengan adanya pengolahan secara aerobik dan anaerobik, serta pengolahan lumpur yang dihasilkan dari pengolahan. Sistem ini terbukti menghasilkan produksi ikan yang efisien dari populasi dengan densitas tinggi yang terjaga dari agen penyakit (Tal et al., 2009).
Efisien dan produktif yang dimiliki oleh teknologi Akuakultur membuat permintaan terhadap teknologi ini meningkat pesat. Peningkatan permintaan penyediaan ikan dari Akuakultur akan mendorong kebutuhan perluasan wilayah untuk membentuk sistem Akuakultur (Tlusty et al., 2017; Gimpel et al., 2018).Â
Perluasan wilayah di daerah pantai dan persisir ini berpotensial konflik dengan sektor industri (Tlusty et al., 2017), aktivitas nelayan konvensional maupun pariwisata (Gimpel et al., 2018). Mengatasi hal tersebut dibutuhkan kajian analisis keruangan untuk memberikan decision support tool saat memberi penilaian pada perencanaan Akuakultur, antara lain yang tersedia saat ini adalah program AquaSpace (Gimpel et al., 2018) dan pemodelan Sistem Informasi Geografi (Vianna dan Filho, 2018).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H