Pendidikan doktor atau S3 terdengar sangat prestisius. Karena tingkat ini adalah tingkat tertinggi dalam pendidikan. Dua tingkat setelah sarjana. Satu tingkat setelah master. Di Indonesia sendiri, jumlahnya masih minim. Tahun 2017, dosen yang bergelar doktor: baru mencapai 31.000 orang. Untuk jabatan fungsional peneliti, tentunya jauh dibawah itu. Jumlah peneliti saja masih dibawah 10.000 orang. Untuk semua jenjang pendidikan: S1, S2, dan S3. Di LIPI saja, yang penelitinya ada 1.677 orang. Baru 334 orang bergelar doktor.
Anggapan bahwa pendidikan doktor sangat sulit. Mungkin jadi salah satu penyebab minimnya jumlah doktor. Entahlah.
Kenapa ada anggapan tersebut? Bisa jadi karena prosesnya yang cukup rumit. Yang butuh perjuangan. Misalnya program doktor di Indonesia. Yang ujian akhirnya cukup rumit. Ada ujian (sidang) tertutup. Juga sidang terbuka. Untuk mempertanggungjawabkan disertasinya. Dihadapan penguji. Yang rata-rata adalah guru besar. Yang bisa dilakukan berjam-jam. Yang cukup menguras energi. Belum lagi tentang penelitiannya. Ujian perkuliahannya. Tulisan ilmiahnya. Dan sebagainya.
Bagaimana dengan program doktor di luar negeri? Apakah cukup rumit juga? Saya ceritakan sesuai pengalaman saya. Untuk program doktor di Prancis. Dan juga Denmark. Karena saya cukup beruntung. Mengikuti program doktor. Yang double degree. Pada program Forest and Nature for Society (Fonaso). Yang dibiayai Komisi Uni Eropa. Yang dikoordinasikan oleh University of Copenhagen (KU). Melalui skema Erasmus Mundus.
Seleksi fellowship
Saya mengajukan fellowship ke Fonaso. Dengan mengirimkan dokumen-dokumen. Yang paling penting: resume penelitian doktor. Semacam idea concept paper (ICP). Untuk dievaluasi oleh tim Fonaso. Yang lolos evaluasi ini akan melanjutkan ke tahap berikutnya: wawancara.
Ada seratusan  ICP yg diterima Fonaso. Dari seluruh penjuru dunia. Hanya 18 orang yang dipanggil wawancara. Salah satunya saya. Pemberitahuannya lewat email. Yang isinya panggilan wawancara. Juga pemberitahuan calon supervisor. Dan juga co-supervisor. Masing-masing dari Prancis dan Denmark. Dalam email itu pun diminta: hubungi supervisor anda, secepatnya, untuk menulis proposal. Ya. Proposal doktoral untuk diujikan dalam wawancara. Yang akan dilaksanakan dua bulan setelah email tersebut.
Wawancara proposal dilakukan di Kopenhagen. Pada Februari 2014. Dihadapan 3 orang penguji. Dua profesor dan satu peneliti senior. Dari Denmark, Jerman, dan Prancis. Saya presentasi proposal selama 15 menit. Dilanjutkan tanya jawab dengan tiga penguji. Tanya jawab itu sekitar 1 jam. Alhamdulillah lancar.
Satu hari setelahnya. Ketika masih di Kopenhagen. Saya menerima email. Ada 6 orang dengan nilai tertinggi. Berdasarkan hasil wawancara kemarin. Yang berhak menerima tawaran fellowship. Salah satunya saya. Dan mereka menanyakan. Apakah saya bersedia menerima tawaran tersebut. Tentu saja: YA.
Beberapa hari setelahnya. Saya menerima dokumen kontrak dengan Fonaso. Salah satu isinya: program doktor harus dimulai dalam kurun waktu September 2014 - Februari 2015. Saya berkonsultasi dengan supervisor. Dan memutuskan untuk memulainya Februari 2015. Alasannya: saya akan membawa keluarga. Istri saya akan melahirkan anak kedua kami. Pada September 2014. Jadi lebih baik menunggu kedatangan anak kedua kami. Dan menunggu beberapa bulan. Sampai anak saya cukup kuat untuk perjalanan jauh.
Pendaftaran di Doctoral School
Program doktor di Prancis ini cukup unik. Terutama dalam kasus saya. Saya dikontrak oleh AgroParisTech (APT). Salah satu Grand Ecole di Prancis. Sebagai peneliti. Untuk penelitian doktor. Karena statusnya peneliti untuk gelar doktor, saya harus mendaftar pula di Doctoral School. Namanya GAIA. Doctoral School di Montpellier. Yang administrasinya terpisah dengan APT. Namun demikian, meskipun terikat oleh APT, dan terdaftar di GAIA, ruangan sehari-hari saya ada di Cirad. Lembaga penelitian di Prancis. Yang berbeda dengan APT. Pada saat yang sama. Karena Fonaso adalah double degree. Maka saya harus terdaftar pula di Copenhagen University (KU). Institusi co-supervisor saya. Rumit bukan?Â
Sidang komite
Sidang komite wajib dilakukan setiap tahun. Laporan sidang ini wajib dilampirkan ketika registrasi ulang ke GAIA. Yang dilakukan tiap awal tahun ajaran. Tanpa melampirkan laporan komite: tidak bisa registrasi di GAIA. Yang berarti gagal jadi doktor. Tujuan utama sidang komite adalah perencanaan dan evaluasi. Terhadap apa yang akan dan telah dilakukan dalam proyek doktor saya. Anggota komite ini cukup lengkap. Selain supervisor dan co-supervisor.Â
Harus juga ada perwakilan dari APT, GAIA, Cirad, dan pihak eksternal. Jadi setidaknya ada 6 orang yang mengevaluasi tiap tahunnya. Yang biasanya dilakukan selama 2 atau 3 jam. Isinya tentunya presentasi dan tanya jawab. Dan diakhiri dengan kesimpulan ketua komite. Yang beberapa hari kemudian menuliskan laporannya. Laporan kesimpulan sidang komite. Apakah proyek doktor bisa dilanjutkan. Atau tidak sama sekali. Jika tidak. Tentu berarti gagal jadi doktor.
Penelitian
Penelitian adalah bagian utama proyek doktor. Bisa dibilang nyawanya proyek doktor. Karena tanpanya, tidak akan dapat data. Tanpa data, tidak akan ada tulisan. Tanpa tulisan, tidak akan ada disertasi. Tanpa disertasi, tidak akan ada doktor. Dalam kasus saya: penelitian tentang karbon di hutan Kalimantan. Yang saya lakukan dua kali. Masing-masing di Berau dan Malinau. Masing-masing sekitar 1 bulan.
Perkuliahan
Di kontrak doktor dengan APT, saya harus memenuhi minimal 100 jam peningkatan kemampuan internal. Bisa perkuliahan tentang bidang saya. Bisa juga terkait hal lain. Misalnya belajar bahasa Prancis. Tapi ada dua yang wajib diikuti. Tentang filosofi ilmu pengetahuan. Dan tentang penulisan ilmiah. Selain dua itu. Saya mengikuti perkuliahan lainnya. Statistik. Bahasa Prancis. Tropical forests. Carbon accounting methods. Dan lainnya. Namun demikian, karena saya akan mendapat gelar doktor dari KU juga.Â
Maka saya harus mengikuti aturan KU. Yaitu minimal mengikuti 25 ECTS. Yaitu satuan kredit perkuliahan di Eropa. Semacam SKSnya di Indonesia. Beruntung bagi saya. Karena main university-nya di Prancis. Sesuai dengan agreement, hanya diwajibkan minimal 15 ECTS. Semua perkuliahan ini tidak ada nilainya. Tidak ada nilai A, B, atau yang lainnya. Hanya disebutkan telah mengikuti perkuliahan yang dimaksud. Dalam sertifikatnya. Yang kemudian divalidasi oleh GAIA.
Konferensi
Konferensi ilmiah wajib dilakukan oleh calon doktor. Tujuan utamanya diseminasi hasil penelitian doktornya. Juga latihan berdiskusi dalam forum internasional. Dan tentu saja memperluas jaringan. Untuk penelitian kedepannya. Dalam hal ini, saya berkesempatan mengikuti dua kali konferensi. Satu di Prancis. Satunya lagi di Belgia. Semuanya dalam bentuk oral presentation.Â
Penulisan artikel
Ini salah satu yang terberat. Cukup membuat panas dingin. Karena salah satu syarat dari GAIA untuk ujian lisan disertasi adalah memiliki 3 artikel ilmiah. Salah satunya harus berstatus minimal accepted. Tentu saja di jurnal internasional. Yang terindeks global. Minimal Scopus atau ISI Web of Science. Dua tulisan lainnya minimal dalam bentuk manuskrip.
Berbeda dengan KU. Tidak ada syarat minimal accepted. Untuk ujian lisan disertasinya. Yang penting memiliki minimal 3 manuskrip. Tapi jika ada yang accepted. Akan menjadi nilai lebih.
Untuk diketahui saja. Menulis satu artikel cukup melelahkan. Membuat emosi jiwa. Satu manuskrip bisa membutuhkan waktu sampai satu tahun. Bahkan lebih. Tapi bisa juga kurang. Dari mulai menulis, analisis, sampai manuskrip yang siap disubmit ke jurnal ilmiah. Setelah disubmit pun cukup melelahkan. Butuh waktu berbulan-bulan sampai statusnya accepted. Jika rejected? Jangan sampai. Karena penulisan harus dari awal lagi. Pun analisisnya harus dimulai dari awal lagi. Cukup melelahkan.
Penulisan disertasi
Ada dua jenis disertasi. Satu monograph. Satu article-based. Monograph cukup populer di KU. Namun article-based banyak dipilih di GAIA. Saya memilih yang article-based. Dimana 3 chapter berisi 3 tulisan ilmiah. Yang saling terkait satu dan lainnya. Sehingga saya tinggal menulis pendahuluan, diskusi, dan kesimpulan.
Namun tiga hal tersebut bukanlah hal yang mudah. Berkali-kali revisi pendahuluan. Berkali-kali pula revisi diskusi. Bahkan sampai sekarang pun belum selesai. Karena masih revisi sana sini. Setidaknya untuk mendekati sempurna. Jika dihitung, hampir 8 bulan saya menulis tiga bagian itu. Karena yang 3 chapter sudah selesai. Yaitu yang tulisan ilmiah itu. Yang salah satunya sudah accepted. Bahkan published awal tahun ini.
Ujian disertasi
Setelah disertasi dinilai layak diajukan oleh supervisor, maka harus declare ke GAIA. Dokumen-dokumen pendukung diserahkan ke GAIA. Salah satunya persetujuan disertasi dari supervisor dan co-supervisor. GAIA kemudian mempunyai waktu 8 minggu untuk mengevaluasi disertasi tersebut. Yang dibagi dalam dua termin. Masing-masing selama empat minggu.
Empat minggu pertama, disertasi dievaluasi oleh minimal dua penguji. Yaitu mereka yang ahli dengan topik disertasi doktor yang diajukan. Yang diajukan atas kesepakatan calon doktor dan supervisor. Dan disetujui oleh GAIA. Yang syaratnya adalah dosen universitas bergelar doktor. Atau peneliti di lembaga penelitian.Â
Yang telah terakreditasi oleh pemerintahnya untuk menguji calon doktor. Syarat lainnya: baik dosen atau peneliti tersebut tidak pernah terlibat dalam sidang-sidang komite yang dilakukan calon doktor yang akan diuji. Dalam empat minggu tersebut, harus ada kesimpulan dari penguji. Apakah disertasi itu bisa diujikan secara lisan atau tidak. Jika tidak, maka disertasi harus direvisi.
Empat minggu kedua, disertasi akan dikirimkan ke tiga, empat, atau lima penguji lainnya. Yang akan menguji calon doktor secara lisan. Diluar supervisor dan co-supervisor. Nama-nama penguji pun syaratnya sama dengan evaluasi empat minggu pertama. Biasanya, dua penguji termin pertama, terlibat juga dalam termin terakhir ini. Karena saya double degree. Maka komposisi penguji di atas harus pula disetuji oleh KU. Sehingga satu hasil evaluasi bisa digunakan tiga pihak. Yaitu GAIA, APT, dan KU. Yang artinya ujian doktor hanya dilakukan satu kali saja. Yang hasilnya diakui oleh tiga pihak tersebut. Jika telah melewati empat minggu. Maka sidang atau ujian lisan doktor siap dilaksanakan.
Pada sidang doktor yang terbuka untuk umum, akan dipilih president of the jury. Yaitu salah satu dari para penguji. Yang akan menjadi semacam moderator. Yang akan menjadi pengadil dalam sidang. Yang akan menyampaikan keputusan sidang rapat penguji.
Teknis sidang doktor pun sederhana. Presentasi dari calon doktor dilakukan selama maksimal 45 menit. Kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab antara calon doktor dan penguji. Waktu tanya jawab dibatasi. Yaitu maksimal 20 menit untuk masing-masing penguji.
Gelar doktor
Setelah sidang terbuka tadi. Semua penguji akan melakukan rapat tertutup. Rapat itu diikuti pula oleh supervisor dan co-supervisor. Setelah rapat tersebut. Presiden of the jury akan membacakan hasilnya. Di depan calon doktornya. Yang juga dihadiri oleh umum. Hasilnya berupa: apakah sang calon doktor itu bisa diberi gelar doktor atau tidak. Hasil keputusan rapat tadi kemudian diserahkan kepada tiga pihak. GAIA, APT, dan KU. Yang kemudian beberapa minggu atau bulan setelahnya, APT dan KU menerbitkan ijazah doktornya masing-masing. Yang satu ijazah untuk gelar doktor dari APT. Dan yang satu lagi ijazah gelar PhD dari KU.
Memang cukup panjang prosesnya. Sangat kompleks dan menguras energi. Tapi saya yakin. Semuanya akan berakhir dengan indah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H