Mohon tunggu...
Hamdan eSA
Hamdan eSA Mohon Tunggu... Penulis - Dosen

bukan siapa siapa, hanya orang biasa...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Spiral of Silence dan Diamnya Kaum Intelek

24 Juli 2024   12:56 Diperbarui: 24 Juli 2024   12:59 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Hamdan (Dosen Universitas Al Asyariah Mandar)

Dalam hiruk-pikuk kehidupan publik, sejatinya, kelompok intelektual memiliki peran paling urgen dalam mengawal opini publik untuk menjaga kualitas diskursus dan memastikan bahwa keputusan-keputusan yang diambil oleh masyarakat dan pemerintah didasarkan pada informasi yang akurat dan analisis yang mendalam.

Intelektual menyediakan pengetahuan, mendorong pendidikan dan literasi, mengawasi kekuasaan, menawarkan solusi, dan menggerakkan opini publik. Intelektual membantu membentuk masyarakat yang lebih adil, transparan, dan berpengetahuan.

Intelektual harus terus didorong untuk berbicara dan berkontribusi, meskipun menghadapi berbagai tantangan dan risiko, karena peran mereka sangat krusial dalam mengarahkan masyarakat menuju kebaikan bersama.

Namun, sejarah dunia telah menunjukkan banyak contoh di mana para intelektual memilih untuk tidak berbicara meskipun mengetahui kebenaran yang perlu disuarakan. Dari masa-masa kelam di bawah rezim otoriter hingga kontroversi sosial di era modern, para intelektual sering kali menghadapi dilema moral yang rumit.

Tekanan sosial, risiko kehilangan pekerjaan, dan ketidakpastian tentang reaksi publik menjadi penghalang yang signifikan. Keputusan untuk tetap diam mungkin dilihat sebagai upaya untuk menjaga stabilitas pribadi dan profesional, namun implikasinya bagi masyarakat luas sangatlah mendalam.

Tentang Spiral of Silence

Fenomena diamnya seorang atau sekelompok orang atas opini yang berkembang secara dominan di tengah publik, oleh Noelle-Neumann disebutkan sebagai "spiral of silence". Teori yang ia kembangkan di tahun 1970-an ini memberikan kerangka kerja untuk memahami sikap individu---termasuk mereka yang berpengetahuan luas, bertabur titel akademik, dan mampu berpikiran kritis---memilih untuk tetap diam dalam menghadapi opini mayoritas.

Dalam masyarakat yang mengharapkan para intelektual untuk menjadi suara kebenaran dan moralitas, sikap diam mereka menjadi fenomena yang membingungkan dan mengkhawatirkan. Mengapa para intelektual, yang diharapkan menjadi pembimbing dalam kegelapan, sering kali memilih untuk menarik diri dari percakapan publik yang penting?

Spiral of silence menyatakan bahwa individu cenderung melakukan pengamatan dan penilaian terhadap iklim opini di sekitar mereka. Lalu membuat keputusan apakah akan berbicara atau tetap diam berdasarkan ketakutan akan isolasi sosial. Elisabeth Noelle-Neumann mengamati bahwa mereka yang merasa pandangannya minoritas lebih mungkin untuk memilih tetap diam.

Pilihan diam ini selanjutnya justru menciptakan efek spiral di mana opini mayoritas tampak semakin dominan. Semakin diam semakin dominan. Dan pada akhirnya mereka ikut bersuara pada suara dominan tersebut.

Ketakutan akan dikucilkan atau dihakimi oleh pemilik opini mayoritas dan kekuasaan, sering kali menjadi pendorong utama di balik keputusan untuk diam tidak bersuara. Hal ini menjadi sangat mengkhawatirkan, ketika para intelektual, akhirnya merasa bahwa mengutarakan pendapat kontroversial bisa merusak reputasi profesional mereka atau menyebabkan alienasi sosial.

Spiral of Silence di Indonesia

Di Indonesia, selama masa Orba di bawah pemerintahan Soeharto, banyak intelektual, akademisi, dan tokoh masyarakat yang memilih untuk diam atau tidak secara terbuka menyuarakan kritik terhadap pemerintah.

Pemerintah Orba dikenal dengan kontrol ketat terhadap kebebasan berekspresi dan penindasan terhadap oposisi politik. Kritik terhadap pemerintah sering kali direspon dengan tindakan represif, termasuk penahanan tanpa pengadilan, pengawasan ketat, dan ancaman terhadap keselamatan pribadi dan keluarga.

Bagaimana mekanisme spiral of silence bekerja dalam contoh kasus Orba tersebut?

Pemerintah Orba membangun narasi bahwa stabilitas nasional dan pembangunan ekonomi hanya bisa dicapai melalui kepemimpinan yang kuat dan tanpa adanya gangguan dari oposisi. Media massa yang dikendalikan oleh pemerintah Orba memperkuat narasi ini, sehingga opini publik cenderung mendukung pemerintahan yang otoriter tersebut.

Intelektual dan akademisi yang memiliki pandangan kritis terhadap pemerintah sering kali takut akan konsekuensi negatif, seperti penahanan, pemecatan dari pekerjaan, atau bahkan ancaman fisik. Ketakutan lain, misalnya ketakutan akan diasingkan dari komunitas profesional dan sosial mereka.

Banyak intelektual memilih untuk tidak mengkritik pemerintah secara terbuka atau bahkan berhenti berbicara tentang isu-isu sensitif politik. Beberapa intelektual beralih ke penelitian atau diskusi yang dianggap lebih aman, menghindari topik-topik yang bisa memicu tindakan represif dari pemerintah.

Media massa pada waktu itu berada di bawah kontrol ketat pemerintah, sehingga informasi yang disajikan kepada publik sangat terbatas dan bias. Liputan media yang mendukung pemerintah dan mengabaikan atau mendiskreditkan kritik memperkuat iklim opini yang mendukung status quo.

Dampak dari spiral of silence adalah kurangnya kritik terbuka terhadap pemerintah. Hal ini mengakibatkan hilangnya mekanisme checks and balances yang penting untuk demokrasi. Kebijakan pemerintah jarang dipertanyakan secara terbuka, mengakibatkan penyalahgunaan kekuasaan.

Tekanan untuk menyesuaikan diri dengan opini mayoritas meningkat, menciptakan suasana ketakutan dan kecurigaan yang meluas. Banyak individu merasa terpaksa mendukung atau setidaknya tidak menentang kebijakan pemerintah secara terbuka.

Intelektual dan akademisi yang berani berbicara sering kali menghadapi konsekuensi serius, seperti kehilangan pekerjaan atau ditangkap. Kondisi ini menciptakan budaya ketakutan yang menghambat perkembangan intelektual dan diskursus akademis.

Kasus Orba di Indonesia menunjukkan bagaimana spiral of silence dapat membuat intelektual memilih untuk tetap diam dalam menghadapi opini mayoritas yang represif. Ketakutan akan isolasi sosial dan represial menjadi pendorong kuat di balik keputusan mereka untuk tidak berbicara. Akibatnya, publik kehilangan suara-suara kritis yang sangat penting bagi masyarakat demokratis yang sehat.

Dalam satu dekade terakhir, harus diakui kehidupan demokrasi memang lebih maju dibanding Orba. Namun terdapat beberapa indikasi yang menunjukkan berlangsungnya mekanisme spiral of silence.

Sebagian besar media mainstream, mendukung kebijakan pemerintah, terutama terkait pembangunan infrastruktur. Liputan yang dominan mengkonstruksi positif, menciptakan kesan bahwa kebijakan pemerintah mendapatkan dukungan luas dari publik. Media sosial juga memainkan peran besar dalam membentuk opini publik. Dukungan dari "influencer" dan buzzer pro-pemerintah sering kali mendominasi narasi di media sosial.

UU ITE sangat mungkin digunakan untuk menuntut individu yang mengkritik pemerintah, baik di media sosial maupun media konvensional. Ketakutan akan dikenakan pasal karet, membuat banyak orang memilih untuk tidak berbicara. Individu yang secara vokal mengkritik pemerintah sering kali menghadapi serangan balik di media sosial, termasuk ancaman dan intimidasi dari akun-akun anonim atau pendukung pemerintah.

Akibat dari ketakutan tersebut, tidak sedikit intelektual, akademisi, dan tokoh masyarakat yang memilih "cari aman" dengan tetap diam atau tidak menyuarakan kritik mereka secara terbuka. Mereka memilih untuk melakukan self-censorship, menyensor diri mereka sendiri, menghindari pembahasan isu-isu sensitif yang bisa menarik perhatian negatif atau tindakan hukum.

Beberapa intelektual mungkin lebih memilih untuk berdiskusi di forum-forum tertutup atau akademik daripada menyuarakan pendapat mereka di ruang publik yang lebih luas.

Mengatasi spiral of silence memerlukan upaya bersama dari pemerintah, media, dan masyarakat sipil untuk menciptakan iklim yang mendukung kebebasan berekspresi dan dialog terbuka. Masih sangat relevan untuk melakukan reformasi hukum, pemberdayaan lembaga hak asasi manusia, peningkatan literasi media, dan komitmen untuk pemberitaan yang berimbang.

Langkah tersebut penting untuk dapat membantu mengatasi ketakutan akan isolasi sosial dan reprisal (pembalasan), serta memastikan bahwa suara-suara kritis tetap terdengar dalam diskursus publik.

Polewali Mandar, 01 Juli 2024.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun