Mohon tunggu...
Andang Masnur
Andang Masnur Mohon Tunggu... Relawan - Komisioner

Komisioner KPUD Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara | Sedang Belajar Menulis

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Dinasti dalam Praktik Politik Kekinian

27 Juli 2020   09:34 Diperbarui: 27 Juli 2020   18:47 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Andang Masnur (sumber: edit pribadi) 

Kontestasi dalam gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 kini telah menunjukkan suhu yang mulai menghangat. 

Percaturan siapa yang bakal maju menjadi calon Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota dan Gubernur/Wakil Gubernur mulai terlihat. Ada 270 daerah yang bakal menggelar Pilkada 9 Desember 2020 nanti. 

Salah satu yang menjadi diskusi di media-media adalah di beberapa daerah hadirnya bakal calon yang berasal dari keluarga pejabat daerah maupun pejabat negara yang sebagian kalangan menyebut dengan istilah dinasti politik. 

Namun apakah dengan majunya keluarga dari pejabat tersebut misal anak, istri, adik atau saudara tersebut melanggar atau dilarang dalam sistem demokrasi kita?

Dinasti Politik dalam Istilah

Pada konteks bahasa dinasti kita kenal sebagai sebuah istilah dalam praktik politik zaman kerajaan. Kekuasaan akan turun temurun kepada keluarga ahli waris yang berhak melanjutkan tahta kekuasaan jika yang memangku jabatan tersebut telah mangkat atau tidak dapat lagi melanjutkan kekuasaannya. 

Dinasti politik dapat diartikan sebagai upaya mempertahankan kekuasaan agar tidak jatuh kepada orang lain melainkan masih dalam lingkungan keluarga terdekat.

Praktik politik seperti ini telah ada sejak zaman kerajaan kuno baik di Indonesia itu sendiri maupun kerajaan lainnya di dunia. Seolah mengadopsi apa yang telah terjadi selama ini, maka dinasti politik juga berintegrasi dalam sistem perpolitikan kekinian. 

Jika cara kuno atau tradisional peralihan kekuasaan adalah dengan sistem penujukan kepada sang ahli waris kekuasaan maka dalam konteks kekinian peralihan kekuasaan dipraktikkan secara prosedural.

Dinasti Politik dalam Regulasi

Tren politik dinasti ini bukan hal yang baru lagi, sehingga di beberapa daerah kita jumpai adanya hubungan kekerabatan yang begitu dekat antara pejabat kepala daerah sebelumnya dengan yang sedang menjalankan pemerintahan hari ini. 

Puncaknya adalah dengan disusunnya UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Pada Pasal 7 huruf r UU disebutkan "warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah memenuhi persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana". 

Pada penjelasan UU, konflik kepentingan dengan petahana yang dimaksudkan adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 kali masa jabatan.

Tetapi belum lama diundangkan Adnan Purichta Ichsan politisi asal Sulsel menggugat pasal ini ke MK. Hasilnya kemudian Adnan memenangkan untuk kemudian pasal ini dihapuskan dalam UU Pilkada tersebut dan membolehkan keluarga yang dimaksud dalam pasal tersebut untuk mencalonkan diri. Sampai saat ini pada UU Nomor 10 tahun 2016 regulasi yang membatasi hal tersebut tidak lagi kita dapati di dalamnya.

Praktik Politik Kekinian

Tidak hanya di Indonesia, tetapi praktik seperti ini juga dapat kita temui di luar negeri. Contoh Amerika sebagai negara adikuasa yang kita kenal lebih maju dalam segala bidang termasuk dalam hal demokrasi. 

Di negara tersebut Joseph Curl dalam "Rise of 'Dynasty' Quick, far-Reaching" menyebutkan bahwa keluarga Bush sebagai dinasti politik yang paling sukses dalam sejarah Amerika. Keluarga Bush menghasilkan dua presiden yakni presiden ke 41 dan presiden ke 43 AS. Selain menjadi Presiden juga keluarga Bush ada yang menjadi di Texas dan Florida.

Andang Masnur (sumber: edit pribadi) 
Andang Masnur (sumber: edit pribadi) 
Sebagian kalangan berpendapat bahwa dinasti seperti ini mengkhawatirkan bagi perjalanan demokrasi kita. Sebab orientasinya adalah bagaimana mempertahankan kekuasaan tersebut di lingkungan keluarga tertentu. 

Fasilitas yang melekat secara alamiah pada diri calon yang berasal dari keluarga petahana menjadikannya mampu dengan mudah mengungguli rivalnya pada setiap gelaran pemilihan. Peralihan kekuasaan dengan cara mengikuti kontestasi pemilihan ini yang disebutkan sebagai praktik dinasti dengan cara prosedural.

Jika kembali mengaitkan dengan Pilkada 2020 yang tahapannya sedang dijalankan, dengan UU Nomor 10 tahun 2016 yang dipakai sebagai rujukan maka tidak ada celah untuk menghentikan niat bakal calon yang berasal dari keluarga pejabat atau petahana. 

"Subsantsinya adalah bagaimana menjadikan pemilihan menjadi ajang "fair" untuk semua orang dan memberikan ruang kepada seluruh masyarakat menggunakan haknya."

Begitu juga jika berbicara pada rancangan masa depan demokrasi kita, pada draf RUU Pemilu yang sedang menjadi pembahasan. Pada  buku ketiga Pasal 182 tentang persyaratan pencalonan tidak terdapat hal yang membatasi keluarga dari petahana untuk maju mencalonkan diri.

Sebenarnya bukan persoalan calon tersebut berasal dari keluarga pejabat atau petahana, amanah UU menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak untuk memilih dan dipilih (menurut ketentuan). 

Sebab hal tersebut juga menyangkut kedaulatan dan hak politik orang per orang. Tetapi subsantsinya adalah bagaimana menjadikan pemilihan menjadi ajang "fair" untuk semua orang dan memberikan ruang kepada seluruh masyarakat menggunakan haknya. 

Masyarakat dengan pengetahuan politik yang dimilikinya tentu tidak akan bisa didikte atau diintervensi oleh kekuasaan untuk memilih calon tertentu. 

Pengawasan yang berjalan juga tentu akan melihat dan memastikan bahwa kekuatan kekuasaan tidak untuk memobilisasi dan digunakan untuk menguntungkan calon yang berasal dari keluarga tertentu. 

Jika semua ini berjalan sebagaimana mestinya tentu tidak ada kekhawatiran yang berlebih terhadap dinasti politik yang sedang ramai dibicarakan.

Harapan besar kita bahwa pendidikan politik menjadi salah satu solusi dalam memberikan pencerahan kepada masyarakat. 

Hal tersebut dimaksudkan agar masyarakat tidak gaduh melihat jika seseorang yang berasal dari keluarga pejabat maju menggunakan haknya untuk mencalonkan diri. Sebab penentu terpilih dan tidaknya mereka ada ditangan masyarakat sebagai wajib pilih yang akan menyalurkan hak pilihnya di TPS nanti.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun