Puncaknya adalah dengan disusunnya UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. Pada Pasal 7 huruf r UU disebutkan "warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah memenuhi persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana".Â
Pada penjelasan UU, konflik kepentingan dengan petahana yang dimaksudkan adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 kali masa jabatan.
Tetapi belum lama diundangkan Adnan Purichta Ichsan politisi asal Sulsel menggugat pasal ini ke MK. Hasilnya kemudian Adnan memenangkan untuk kemudian pasal ini dihapuskan dalam UU Pilkada tersebut dan membolehkan keluarga yang dimaksud dalam pasal tersebut untuk mencalonkan diri. Sampai saat ini pada UU Nomor 10 tahun 2016 regulasi yang membatasi hal tersebut tidak lagi kita dapati di dalamnya.
Praktik Politik Kekinian
Tidak hanya di Indonesia, tetapi praktik seperti ini juga dapat kita temui di luar negeri. Contoh Amerika sebagai negara adikuasa yang kita kenal lebih maju dalam segala bidang termasuk dalam hal demokrasi.Â
Di negara tersebut Joseph Curl dalam "Rise of 'Dynasty' Quick, far-Reaching" menyebutkan bahwa keluarga Bush sebagai dinasti politik yang paling sukses dalam sejarah Amerika. Keluarga Bush menghasilkan dua presiden yakni presiden ke 41 dan presiden ke 43 AS. Selain menjadi Presiden juga keluarga Bush ada yang menjadi di Texas dan Florida.
Fasilitas yang melekat secara alamiah pada diri calon yang berasal dari keluarga petahana menjadikannya mampu dengan mudah mengungguli rivalnya pada setiap gelaran pemilihan. Peralihan kekuasaan dengan cara mengikuti kontestasi pemilihan ini yang disebutkan sebagai praktik dinasti dengan cara prosedural.
Jika kembali mengaitkan dengan Pilkada 2020 yang tahapannya sedang dijalankan, dengan UU Nomor 10 tahun 2016 yang dipakai sebagai rujukan maka tidak ada celah untuk menghentikan niat bakal calon yang berasal dari keluarga pejabat atau petahana.Â
"Subsantsinya adalah bagaimana menjadikan pemilihan menjadi ajang "fair" untuk semua orang dan memberikan ruang kepada seluruh masyarakat menggunakan haknya."
Begitu juga jika berbicara pada rancangan masa depan demokrasi kita, pada draf RUU Pemilu yang sedang menjadi pembahasan. Pada  buku ketiga Pasal 182 tentang persyaratan pencalonan tidak terdapat hal yang membatasi keluarga dari petahana untuk maju mencalonkan diri.