Kemeriahan dan keriuh rendahan ini bermula dari selesainya pelaksanaan pilpres tanggal 9 Juli yang lalu. Ada 3 kenyataan dasar yang tidak dapat dibantah dalam situasi ini,
1. Quick Count, apapun metode yang digunakan hanyalah hasil penelitian dari sebuah survei.
2. KPU adalah lembaga resmi yang berhak mengumumkan hasil Pilpres.
3. Perbedaan selisih suara antara kedua kandidat secara nasional tidak akan terlalu besar, kemungkinan dibawah 10%.
Sebenarnya tidak ada permasalahan yang terlalu serius dengan Quick Count tersebut. Apakah hasilnya memenangkan Jokowi ataupun memenangkan Prabowo. Apakah jumlah 7, 10 ataupun 20 lembaga survei. Karena sudah sangat jelas bahwa yang berwenang untuk mengumumkan hasil dari Pilpres itu adalah KPU pada tanggal 22 Juli.
Inti dan sumber prahara panjang ini sebenarnya terletak pada "Bagaimana kedua pasangan capres ini menyikapi hasil quick count tersebut?" Jadi bukan pada hasil dari quick count itu sendiri, tapi lebih kepada sikap keduanya sebagai penyebab keriuh rendahan ini.
Saya tadinya seorang pengagum Jokowi, saya setia mengikuti berita tentang Jokowi dan perjalananannya menuju kursi Gubenur DKI. Walaupun bukan warga DKI yang tidak mempunyai hak pilih, saya tetap berharap dan berdoa untuk kemenangan Jokowi dalam pemilihan Gubenur DKI. Saya terkagum-kagum dengan jawaban Jokowi tentang "copras-copres" yang diiringi tawa yang khas ketika ditanya wartawan tentang kemungkinan untuk maju dalam Pilpres. Tapi kemudian semua itu sirna, ketika Jokowi menyatakan diri maju menjadi capres. Alasan saya sederhana saja "kematangan politik". Saya melihat untuk menjadi seorang Presiden yang akan memimpin sebuah bangsa dan negara yang besar ini, Jokowi masih perlu belajar banyak. Mungkin kalau hanya menjadi cawapres saya masih bisa memahaminya sebagai proses pembelajaran, tapi sebagai seorang capres, saya melihat sebagai langkah yang tidak tepat.
Apa yang menjadi kekhawatiran saya tentang "kematangan politik" ternyata menjadi kenyataan. Ini terlihat dari bagaimana Jokowi menyikapi hasil QC yang diumumkan oleh beberapa lembaga survei,
"Kami ucapkan terima kasih sebesarnya-besarnya tak terhingga kepada seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, terima kasih kepada relawan dari Sabang sampai Merauke, seluruh kader PDIP, Nasdem, PKB, Hanura, PKPI yang telah bekerja keras bahu membahu dari siang dan malam," ujar Jokowi dalam jumpa pers di kediaman Megawati Soekarnoputri di Kebagusan, Jakarta, Rabu (9/7).
Jokowi menambahkan, pihaknya bersyukur berdasarkan quick count sampai saat ini menunjukkan pada titik penghitungan adalah menang.
"Sekarang saatnya kita semua mengawal hasil rekapitulasi KPU dan KPUD semuanya agar berjalan bersih dan jujur serta tidak ada intervensi di sana," ujar Jokowi
Jokowi juga meminta seluruh rakyat Indonesia agar menjaga kemurnian aspirasi rakyat. "Jangan ada yang coba-coba mencemari apa yang dikehendaki rakyat hari ini," ujar Jokowi
Bandingkan jika Jokowi mengatakan,
"Hm..hm...(sambil sedikit cengar-cengir seperti dulu biasanya)...Karena ini baru merupakan hasil dari quick count..., marilah kita sama-sama bersabar menunggu sampai tanggal 22 Juli nanti hasil resmi dari KPU. Dan marilah kita menjaga suasana pilpres yang kondusif ini agar tetap aman dan tentram"...(cengar-cengir lagi seperti biasanya).
Alangkah indahnya, alangkah sejuknya dan alangkah nyamannya, tidak akan ada hiruk pikuk tentang perbedaan hasil dari lembaga survei. Tidak akan mungkin juga akan ada counter claim dari kubu Prabowo Hatta. Tapi sayangnya ini cuma harapan dan impian saya saja tentang Jokowi yang dulu. Jakarta ternyata telah membuat Jokowi berubah jauh, tidak lagi ndeso dan neko-neko.
Saya tidak tahu apakah langkah "pendeklarasian" menyikapi hasil quick count itu sebagai sebuah euforia kegembiraan atau sebagai sebuah strategi politik.
Jika hanya sebuah euforia kegembiraan dan ketidak sengajaan, betapa sangat naifnya pendeklarasian yang dilakukan itu, karena sebagai calon pemimpin bangsa tidak memikirkan efek in-stabilitas yang ditimbulkan, mengingat perbedaan suara yang tidak terlalu besar. Betapa kurangnya kematangan politik seorang Jokowi jika tidak memperhitungkan efek yang akan terjadi. Sebaliknya, jika hal ini merupakan sebuah kesengajaan, alangkah berbahayanya strategi yang dijalankan, karena hanya untuk sebuah ambisi politik mengorbankan persatuan dan kesatuan bangsa. Bayangkan berapa mahalnya harga yang harus dibayarkan.
Melihat komentar Jokowi meninjau hasil penghitungan suara KPU Jawa Barat dan Jawa Tengah yang selalu mengkaitkannya dengan kata-kata "hasilnya tidak jauh berbeda dari hasil quick count", terlihat jelas bahwa pendeklarasian sikap itu adalah sebuah kesengajaan dan upaya penggiringan opini publik untuk menolak hasil KPU jika tidak sama dengan hasil quick count. Sikap yang seharusnya tidak boleh dimiliki oleh seorang pemimpin bangsa. Bayangkan kalau seorang pemimpin tidak bisa mempercayai instuisi resmi negara dan mencurigainya mau menjadi apa bangsa ini nantinya.
Sebenarnya kalau setelah pendeklarasian yang dilakukan oleh Jokowi, disambut oleh Prabowo dengan pernyataan sikap,
"Wes ra..poo.., ra...poo..., tenang ae...tunggu KPU tanggal 22 Juli...sing sabar..yo...rek"
kemungkinan juga tidak akan ada keriuh rendahan ini. Tapi hal itu tidak mungkin, karena kubu Jokowi sudah memperhitungkan akan ada counter attack dari Prabowo sebagai efek sampingnya.
Jadi sebenarnya bukan hasil quick count itu yang menjadi bahagian terpentingnya, tapi cara menyikapi hasil itu yang menjadi kunci utamanya. Bisa anda bayangkan menyikapi hasil quick count saja sudah dengan cara seperti ini, bagaimana akan menyikapi masaalah bangsa yang begitu besar ini kalau seandainya Jokowi jadi Presiden dalam 5 tahun kedepan. Bersiap-siaplah untuk kecewa. Dan kalau hasil KPU ternyata berbeda dan situasinya menjadi tidak terkendali, tentu anda bisa menilai sendiri siapa penyebabnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H