Mohon tunggu...
Ancilla ayu Rafaella 200907356
Ancilla ayu Rafaella 200907356 Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa universitas atma jaya yogyakarta

Keep writing

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Sosial Media "Jalan Tikus" Imigran Gelap Masuk Amerika

8 Desember 2021   18:04 Diperbarui: 8 Desember 2021   18:13 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Clan del Gofo , Sumber : https://colombiareports.com/amp/agc-gulf-clan/

Perbatasan negara yang sering jadi kontroversial adalah perbatasan US - Mexico karena pengamanan ketatnya, banyak oknum-oknum "Penyeludup" yang menyediakan berbagai jasa "gelap" untuk membantu imigran bisa menembus perbatasan. 

Salah satunya, Dilansir dari npr.org daerah perbatasan bernama "Darien-Gap" sering digunakan oknum tersebut untuk melancarkan aksinya dengan cara menyebrang melalui kapal nelayan yang dikuasai oleh sebuah "Clan" berkuasa di colombia yaitu Clan Del Gofo. Mereka memanfaatkan kesempatan ini seringkali untuk memeras para imigran dengan menaruh tarif pada semua hal. Mulai dari air minum hingga biaya internet selama perjalanan yang harganya tidak masuk akal. 

Clan del Gofo , Sumber : https://colombiareports.com/amp/agc-gulf-clan/
Clan del Gofo , Sumber : https://colombiareports.com/amp/agc-gulf-clan/

Internet yang merupakan salah satu bagian paling berharga bagi pendatang baru ini dihargai sekitar $50 untuk satu jam saja! Di sisi lain, sebenarnya memang oknum tersebut paling banyak dicari oleh ribuan imigran gelap dan menurut Chaparro, reporter yang bertugas di perbatasan US-Mexico dalam interview nya di npr.org, 

Para imigran bertemu "Penyeludup" nya melalui media sosial seperti Facebook dan Whatsapp tapi kebanyakan melalui grup-grup facebook, imigran ini mengakses informasi terbaru seperti berita tentang kapan border dibuka / ditutup dan informasi terkait konflik terbaru yang berpotensi mengancam keamanan mereka. 

Sebenarnya kebiasaan imigran dan agen "penyeludup" ini sudah jadi hal yang sangat umum terjadi di perbatasan US- Mexico, ditambah lagi dengan akses media sosial jaman sekarang yang semakin mudah memungkinkan orang yang ingin melewati perbatasan dengan mudah bahkan ada sekarang ada jasa guide via aplikasi WhatsApp, dimana sang penyeludup dan imigran gelap hanya komunikasi lewat chat saja. 

Melalui media sosial juga para imigran jadi lebih mudah membagian pengalaman "menyeludup" nya ke platform seperti youtube dan seolah-olah menunjukan "jalan pintas" masuk perbatasan dengan mudah sehingga semakin banyak orang melakukannya. 

Dampak negatif lainnya dari keberadaan media sosial disebutkan Nilda Gracia , salah satu narasumber dalam wawancara npr.org yaitu facebook serta whatsapp sangat memberi kesempatan, ruang, dan kemudahan bagi para imigran untuk masuk ke dalam sebuah negara secara ilegal.

Jenis imigran gelap yang seperti ini justru akan berpotensi membuat sebuah negara bisa terancam dari segi keutuhan budaya nasional. 

Perbatasan yang mudah ditembus menjadi celah bagi mereka untuk melancarkan aksinya apalagi dengan teknologi yang semakin canggih. 

Selain itu dampak bukan hanya merugikan negara saja melainkan bagi diri sendiri. Bayangkan saja, kita nekat masuk ke sebuah negara yang secara bahasa saja sudah beda, bagaimana dengan kebudayaan, kebiasaan, dan lainnya? Apakah kita mampu beradaptasi di negara baru tersebut? Atau lebih parahnya saat kurang mencari informasi, kita bahkan bisa "Dibuang" dari negara tersebut. 

Deportasi warga di border us-mexico sumber : www.nytimes.com
Deportasi warga di border us-mexico sumber : www.nytimes.com

Penerimaan secara sosial sebagai imigran mungkin akan sulit diterima karena kita masuk ke negara dengan cara yang ilegal. Seperti, seharusnya di US diterapkan aturan untuk bisa masuk ke negara tersebut harus bisa mencapai level kemampuan bahasa inggris tertentu namun karena masuk dengan illegal, hal itu jadi tidak dihiraukan sehingga yang terjadi adalah sehari-hari sangat sulit untuk berkomunikasi dengan warga setempat. 

Pada akhirnya, para imigran gelap ini dikutip dari US Departement Of Labor, Sebanyak 76,6% Imigran bekerja hanya sebagai buruh. 

Kecenderungan lainnya yang mungkin terjadi adalah mereka hanya berkomunikasi dengan orang-orang dari budaya sama atau yang disebut enclave etnis. Jika hal tersebut sudah terjadi maka bukannya asimilasi budaya melainkan segregasi bahkan konfilk antar etnis yang muncul.

Sumber :  1 2 3 4

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun