Mohon tunggu...
ANATASYA SOLIN INDAH
ANATASYA SOLIN INDAH Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia

Just let it flow.

Selanjutnya

Tutup

Book

Misi Pencarian Sang Juru Dongeng dalam Novel "Segi Tiga" Karya Sapardi Djoko Damono

20 Desember 2023   12:47 Diperbarui: 20 Desember 2023   13:02 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Book. Sumber ilustrasi: Freepik

Sebagian besar orang mungkin pernah mendengar apa itu juru dongeng. Juru dongeng atau pendongeng adalah seseorang yang menceritakan suatu cerita dongeng kepada orang lain serta memiliki tujuan untuk menghibur atau mendidik orang-orang yang mendengarkannya (Vanya dan Serafica, 2021). Akan tetapi, persepsi juru dongeng dalam novel Segi Tiga karya Sapardi Djoko Damono memiliki pengertian yang berbeda. Di dalam novel ini, juru dongeng yang dimaksud adalah seorang pengarang yang menciptakan sebuah cerita berdasarkan imajinasinya. Dikisahkan ada seorang tokoh bernama Suryo berusaha untuk mencari seorang juru dongeng di dalam kehidupannya. Hal ini membuat sang tokoh bertanya-tanya mengenai hal yang merasuki pikiran si juru dongeng sehingga memiliki keterampilan tersebut. Oleh karena itu, Suryo ingin mengungkap siapa orang yang berada di balik semua dongeng yang ia baca, dengar, dan bayangkan selama ini.

Cerita ini diawali ketika Suryo mendapatkan sebuah laptop dari pamannya. Ia sering berbicara dengan laptop tersebut, bahkan membaca mantra untuk ritualnya sebelum menulis sebuah cerita. Diceritakan bahwa kedua orang tuanya khawatir Suryo mengidap penyakit aneh karena sejak kecil sering berbicara tentang hal-hal yang tidak mereka pahami. Akan tetapi, anggota keluarganya mengingatkan bahwa setiap anak memiliki tingkat kecerdasan yang tidak bisa disamaratakan. Tidak hanya kedua orang tuanya saja, tetapi juga temannya yang bernama Hanindyo pun kebingungan terhadap perilaku Suryo. Bahkan, Hanindyo sering menyebutnya Majenun karena Suryo sering tidak fokus ketika berbicara dengan teman-temannya.

Penokohan Suryo ditegaskan ketika ia sering merasa bosan untuk tinggal di dunia nyata yang tidak bisa membawanya lebih jauh dari angan-angannya. Tokoh ini ingin hidup di dunia yang berada di luar jangkauan kehidupannya sehari-hari. Gurunya semasa SMP pernah menjelaskan suatu hal mengenai dunia nyata dan tidak nyata. Suryo sangat menyukai guru tersebut karena memiliki cara berpikir yang unik. Guru itu mengatakan bahwa tokoh dalam novel ini hanya dapat ke luar angkasa melalui sebuah dongeng. Di sini, Suryo digambarkan memiliki pendapat bahwa ketika ia bosan dengan dunia yang tidak nyata, ia bisa langsung melompat keluar dari dunia itu tanpa mengenal waktu.

Dengan berlatar pada malam hari, Suryo duduk menghadap laptop barunya. Ia berniat untuk menulis sebuah cerita. Ketika kalimatnya belum selesai ditulis, ada sebuah bayangan yang bergerak dari layar laptopnya. Pada awalnya, ia pikir laptop itu bermasalah. Akan tetapi, tiba-tiba dimunculkan tokoh lain, seorang gadis yang tampaknya memiliki darah blasteran. Suryo kagum terhadap kecantikan sosok yang berada di dalam bayangan tersebut. Apalagi, ia merasa pernah bertemu dengan gadis itu di sebuah warung nasi pecel. Walaupun berbicara dengan logat yang terdengar kaku dan aneh, hal itu justru membuat Suryo tertarik untuk mendengarkannya. Sapardi menggambarkan tokoh Suryo jatuh cinta kepada gadis tersebut karena memiliki wajah yang khas. Gadis itu bernama Noriko. Dikisahkan bahwa gadis ini berasal dari Okinawa, sebuah pulau paling selatan di Jepang. Noriko bisa sampai di Indonesia karena bantuan seorang tokoh bernama Pingkan. Ia tinggal bersama Ibunda Pingkan sekaligus menemaninya karena sang anak tinggal di Jepang bersama sang suami.

Alkisah, diceritakan Noriko juga berniat untuk mencari juru dongeng seperti yang Suryo lakukan. Kedua tokoh ini bersepakat untuk menelusuri keberadaan Sang Juru Dongeng lalu mereka pergi menjelajahi Kota Jakarta. Awalnya, Noriko mengajak Suryo untuk mengunjungi Universitas Indonesia, kampus yang sangat diimpikan Suryo. Hal ini membuat Suryo kebingungan mengapa Noriko bisa mengetahui kampus impiannya tersebut. Suryo sempat menduga-duga bahwa Noriko adalah sang juru dongeng karena ia bisa mengetahui hal yang tidak seharusnya ia ketahui.  Akan tetapi, tujuan untuk pergi ke UI tidak dapat dilaksanakan karena kedua tokoh melewatkan stasiun pemberhentian. Sebagai gantinya, Noriko dan Suryo mengunjungi Kebun Raya Bogor. Dengan latar di bawah pohon yang rindang, mereka bernyanyi bersama. Kedua anak muda itu tersadar bahwa mereka tidak bisa dipisahkan karena sang juru dongeng. Latar alam di sekitarnya seakan-akan mendukung mereka untuk menikmati momen tersebut.

Situasi penokohan rasa nyaman yang ditimbulkan dari kedekatan antara Suryo dan Noriko tiba-tiba sirna begitu saja. Semua seakan-akan berubah karena Noriko menghilang dari edaran mata Suryo. Hal ini membuat Suyo kebingungan, entah apa yang Noriko pikirkan hingga membuat ia tidak menepati janjinya untuk mencari sang juru dongeng bersama-sama. Suryo mencari Noriko kemana pun tempat yang pernah keduanya lewati. Akan tetapi, hasilnya nihil. Suryo tidak bisa menemukan keberadaaan Noriko. Lantaran putus asa, raut wajah tokoh laki-laki muda itu membuat keluarga serta beberapa temannya kebingungan hingga sang sepupu yang bernama Gendis pun turut gelisah melihat kondisi Suryo pada saat itu.

Di dalam novel ini, diceritakan bahwa Suryo memiliki seorang sepupu bernama Gendis. Tokoh Suryo ini sering mengunjungi sang sepupu lantaran ia ditinggalkan oleh kedua orang tuanya sehingga menyisakan Gendis dan “si rumah”. Suryo sering mengunjungi Gendis hanya karena ingin memastikan keadaan sang sepupu dalam kondisi yang baik-baik saja. Akan tetapi, Suryo merasakan hal yang berbeda ketika berada dalam jangkauan Gendis, sampai-sampai ia berkata, “kalau saja Gendis bukan sepupuku.”  Secara tersirat, hal ini menunjukkan bahwa Suryo memiliki perasaan lebih dari seorang sepupu. Namun, sang tokoh berhasil untuk meredam isi hatinya. Bahkan, ia meminta bantuan kepada Gendis untuk ikut mencari keberadaan Noriko.

Tokoh Gendis turut serta mencari Noriko. Rasa sayang kepada sepupunya itulah yang mendasari pencarian ini. Dikisahkan Gendis mencari Noriko sampai ke sudut Kota Surakarta. Akan tetapi, juru dongeng mempertemukan kedua perempuan ini di tempat yang sama sekali tidak terduga. Penggambaran latar tempat Noriko muncul di hadapan Gendis sama persis seperti latar pertemuan pertamanya dengan Suryo. Gendis pun melihat Noriko dari dalam bayangan laptop lalu melompat keluar seperti manusia biasa. Penokohan kedua tokoh ini ditegaskan ketika mereka bercengkrama untuk menceritakan sisi kehidupannya masing-masing. Karena sudah semakin dekat, hal ini membuat Gendis berani bertanya mengapa Noriko menjauhi Suryo. Ternyata, Noriko berpura-pura untuk tidak mengenal Suryo karena ia masih terjebak dengan cinta pertamanya, yaitu Katsuo. Tokoh Noriko pernah mendengar sebuah postulat bahwa perkawinan akan langgeng apabila cinta pertama yang menjadi landasannya. Hal ini membuat tokoh Gendis memaklumi alasan Noriko itu. Kemudian, kedua tokoh mencurahkan isi hati mereka mengenai keinginannya untuk mencari sang juru dongeng. Dua gadis itu percaya bahwa juru dongenglah yang membuat adanya pertemuan yang tidak mereka duga itu.

Dikisahkan bahwa tokoh Suryo dan Noriko belum sempat bertemu, sampai akhirnya Suryo pindah ke Jakarta untuk melanjutkan studinya. Di sana, dimunculkan tokoh baru bernama Tia. Tokoh ini merupakan anak dari kerabat ibu Suryo. Untuk sementara, Suryo tinggal di rumah kerabat ibunya itu sampai mendapatkan rumah kos. Hari demi hari, Sapardi membuat tokoh Suryo dan Tia menjadi semakin dekat. Bahkan, Suryo bisa melupakan Noriko sejenak karena keberadaan tokoh Tia. Di dalam novel ini, sempat dijelaskan bahwa Tia adalah seorang anak yang pintar, tetapi sangat pendiam. Namun, hal ini berubah ketika adanya kehadiran Suryo di kehidupan Tia. Ia menjadi seorang anak yang periang serta lebih suka mengobrol daripada sebelumnya.

Berlatar di sebuah kamar milik Tia, diceritakan bahwa ia sering membantu Suryo untuk mengetik cerita yang keluar dari mulut sepupunya itu. Kedua tokoh ini menghabiskan malam demi membuat cerita yang diciptakan khusus untuk mereka berdua saja. Meskipun dibatasi oleh hubungan darah, gadis itu merasakan sebuah kebahagiaan ketika berada di sisi Suryo. Sebaliknya, Suryo yang pada awalnya risih, akhirnya menyadari bahwa tinggal di rumah saudaranya ternyata lebih menyenangkan.

Di sisi lain, penokohan Gendis dan Noriko diceritakan semakin akrab karena projek yang mereka lakukan bersama. Bahkan, Hanindyo pun ikut terlibat mendampingi dua gadis itu untuk menelusuri Kota Yogyakarta.  Noriko dan Gendis berniat untuk keluar dari cerita sang juru dongeng. Namun, juru dongeng tetap melibatkan kedua gadis itu dalam cerita, yang berarti keduanya tidak bebas dalam menyusun kisahnya sendiri. Tokoh sang juru memberi petunjuk bahwa Noriko dan Gendis tidak akan terombang-ambing apabila tetap menuruti hal-hal yang sudah juru dongeng rencanakan.

Cerita ini berlanjut ketika sang juru dongeng mempertemukan Gendis dengan seorang laki-laki Bali yang bernama Wayan. Tampaknya tokoh Gendis jatuh cinta pada lelaki itu karena kepandaiannya dalam merangkai kata-kata. Segala hal yang Wayan ucapkan selalu berkaitan dengan perkawinan. Namun, Gendis mengetahui bahwa lelaki itu tidak mencintainya karena adanya pertimbangan hubungan antarkasta yang membedakan kedua tokoh itu. Walaupun keduanya tau akan perbedaan tersebut, dikisahkan bahwa mereka tetap pergi menyusuri kota untuk melakukan segala hal yang biasanya dilakukan oleh sepasang kekasih. Penokohan Gendis ditegaskan ketika ia heran mengapa juru dongeng mempertemukannya dengan lelaki Bali yang tidak bisa ia gapai itu.

Dalam kisah yang berbeda, dikisahkan sang juru dongeng membuat Hanindyo dan Noriko selalu berdua kemana pun mereka melangkah. Di sini, Noriko telah menganggap Suryo sebagai sejarah, sedangkan Han pun telah menganggap Gendis sebagai sejarah walaupun ia sempat mencintai perempuan itu. Hingga pada akhirnya, Noriko dan Han saling mengungkapkan perasaan cinta dan membuat janji untuk hidup bersama. Hubungan mereka diibaratkan Ratu Kidul dan Senapati dengan berlatar samudra yang menggambarkan kesucian cinta mereka. Lalu kedua tokoh tersebut masuk ke dasar samudra, ke dalam keraton yang tidak bisa diibaratkan kemegahannya.

“Tidak adakah dongeng yang selesai, Tuan?” Sapardi memakai kalimat tersebut sebagai penutup dari buku ini. Hingga akhir cerita, pembaca dibuat menebak-nebak tentang siapa sang juru dongeng yang sering diucapkan oleh para tokoh dalam novel tersebut. Setiap karakter hanya ditugaskan untuk menuruti setiap rencana sang juru dongeng tanpa boleh melanggarnya. Pada akhirnya, hanya sang juru dongenglah yang bisa memutarbalikkan alur cerita setiap karakter. Sapardi Djoko Damono memberi judul Segi Tiga karena menggambarkan para tokoh yang terlibat di dalamnya, yaitu Suryo, Noriko, dan Gendis yang memiliki satu sudutnya masing-masing, yaitu Tia, Han, dan Wayan, yang lebih tepatnya bisa dikatakan segi enam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun