Riset Kesehatan Dasar Nasional (Riskesdas) mengungkapkan, jumlah perokok anak usia 10-18 tahun terus mengalami peningakatan. Di tahun 2013 sebanyak 7,2 persen, namun di tahun 2019 menjadi 9,1 persen di tahun 2019.
Padahal, saat itu pemerintah menargetkan perokok anak harus turun menjadi 5,4 persen pada tahun 2019 sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019.
Namun, Badan Pembangunan Nasional (Bappenas) justru memprediksi angka perokok anak akan mencapai 16 persen di tahun 2030, jika pemerintah tidak segera menanganinya.
Di sisi lain, Indonesia juga menjadi satu-satunya negara di Asia yang belum menandatangani Framework Convetion on Tobacco Control (FCTC) sebagai instrumen hukum internasional dalam mengatasi globalisasi epidemi tembakau serta merupakan perjanjian berbasis bukti yang menegaskan kembali hak semua orang atas standar kesehatan tertinggi.
Tahun 2016, Presiden Joko Widodo memberikan penjelasan menolak menandatangani FCTC.
"Saya juga tidak ingin sekadar ikut-ikutan atau mengikuti tren atau karena sudah banyak negara yang sudah ikut sehingga kita juga latah ikut," kata Jokowi pada 16 Juni 2016.
Negara yang Berupaya Mencegah Kaum Muda Menyentuh Tembakau
Denmark telah mengumumkan rencana pelarangan penjualan rokok dan produk nikotin bagi setiap warga negara yang lahir setelah 2010. Langkah ini bertujuan mencegah generasi berikutnya menyentuh segala bentuk jenis tembakau.
Di bawah aturan itu, warga Denmark di bawah usia 18 tahun dilarang membeli tembakau atau rokok elektronik. Magnus menyebut, merokok menjadi penyebab utama kanker di negara itu dan menyebabkan 136.000 kematian per tahun. Namun demikian, Menteri Kesehatan Denmark, Magnus Heunicke tidak menampik, ada sekitar 31 persen orang berusia antara 15 hingga 29 tahun yang masih merokok.
Menurut survei Asosiasi Kanker Denmark, 64 persen responden mendukung rencana perlarangan penjualan rokok kepada mereka yang lahir setelah 2010. Dari jumlah itu, 67 persennya responden berusia 18-34 tahun.
Tahun ini, Selandia Baru menyusul Denmark. Mereka mengeluarkan rencana berani untuk menghilangkan rokok dan akhirnya membuat penjualan tembakau sepenuhnya menjadi ilegal. Di sana, bagi siapa pun yang lahir pada atau setelah 1 Januari 2009 akan dilarang membeli produk tembakau. Kritikus menilai, larangan itu bisa menjadi bumerang dan memicu pasar gelap yang sudah berkembang.
Dilansir dari Free Malaysia Today, Malaysia membuat rencana Generational End Game (GEC) yang akan melarang penggunaan, kepemilikan, dan penjualan rokok dan produk vape bagi warga yang lahir setelah 2007. Hal itu diwujudkan melalui RUU Pengendalian Tembakau dan Merokok 2022 yang diajukan di Dewan Rakyat Malaysia pada awal Agustus ini.
RUU tersebut mengusulkan denda bagi pelanggar dan memberdayakan petugas penegak hukum agar bertindak tanpa perlu surat perintah untuk membuka bagasi atau wadah apa pun dan memeriksa tembakau atau produk tembakau pengganti dan perangkat merokok. RUU ini mendapat banyak pertentangan, namun keberhasilan ini bergantung pada dukungan dari pemangku kepentingan termasuk Dewan Rakyat Malaysia.
Tantangan yang Dihadapi Indonesia Menekan Jumlah Perokok Anak
Di tengah beberapa negara yang membuat kemajuan untuk melindungi generasi muda dari asap rokok, ironinya Indonesia belum melangkah sejauh itu. Indonesia baru membuat Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan peringatan kesehatan pada kemasan rokok.
Pemerintah juga melarang pedagang menjual rokok ke anak di bawah usia 18 tahun melalui Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012. Kenyataannya, anak masih bisa mengaksesnya.
Hal itu terungkap dalam Webinar Hari Anak Nasional 2022, "Masihkah Pemerintah Berkomitmen Menurunkan Prevalensi Perokok Anak sesuai Mandat RPJMN 2020-2024". Dalam diskusi tersebut, Ulfa menuturkan adiknya membeli rokok elektronik secara online. Saat itu adiknya masih duduk di bangku kelas 4 SD. Â
Sedangkan, di negara maju seperti Belanda, penjualan tembakau dan rokok elektronik secara online memang diperbolehkan, namun saat mengirimkan produk tembakau tersebut, pengirim harus memverifikasi usia penerima walau itu dijual untuk di dalam negaranya atau lintas batas negara. Di Belanda juga, penjual tembakau harus berusia 16 tahun atau lebih.
Di New York City, penjual harus meminta identitas calon pembeli yang terlihat lebih muda dari 30 tahun sebelum menjual produk tembakau, rokok elektronik atau produk vaping, atau produk non rokok seperti rokok herbal, shisha non-tembakau, pipa, atau kertas linting.Â
Penjual harus mengecek gambar identitas, melihat apakah cocok dengan wajah pembeli, periksa tanggal lahir, pastikan pembeli berusia minimal 21 tahun, dan pastikan identitas tersebut belum expired. Tanpa itu, maka dipastikan tidak boleh menjualnya.
Saat ini, berdasarkan hasil Global Adults Tobacco Survey (GATS), prevelansi perokok di Indonesia mencapai 70,2 juta jiwa. Menurut Ketua Tim Kerja Penyakit Paru Kronis dan Gangguan Imunologi di Kementerian Kesehatan, Benget Saragih, iklan rokok di media sosial tidak ada yang mengawasi.
"Sekarang dengan adanya kemajuan 4.0, masyarakat sering menggunakan digital ini untuk melakukan pemesanan atau membeli atau atau mendapat informasi. Ini juga harus diatur direvisi PP 109," ungkap Benget pada Kamis, 28 Juli 2022.
Sedangkan, Direktur Pengendalian Aplikasi Informatika dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, Anthonium Malau, mengakui revisi PP 109 Tahun 2012 harus menambahkan poin pelarangan total iklan rokok di internet. Itu dilakukan agar Kominfo dapat menindalanjuti berupa pemblokiran atau take down.
Benget menambahkan, iklan rokok hanya diatur di luar ruang.
"Itu pun masih belum dijalankan di seluruh daerah apalagi ada 76 kabupaten kota yang belum mengeluarkan perda padahal di UU 36 disyaratkan, seluruh kabupaten kota harus menerapkan KTR. Artinya belum peduli, sudah diamanatkan, tapi tidak dilaksanakan. Ini yang membuat kita harus tetap merevisi PP 109," tegasnya.
Benget mengungkapkan, rokok elektrik dari tahun 2011 hingga tahun 2019 naik 10 kali dari 0,3 menjadi 3 persen. Menurutnya, ada yang menganggap rokok elektronik mengganti rokok konvensional.
"Rokok elektrik mengandung nikotin dan sangat adiksi. Lebih banyak remaja yang menggunakannya. Itu juga tidak diatur PP 109," lanjutnya.
Dalam Pasal 16 Konvensi Kerangka Kerja WHO tentang Pengendalian Tembakau memerintahkan setiap pemangku kebijakan memastikan penjualan batangan tunggal atau kemasan kecil produk tembakau dilarang dengan mengesahkan dan menegakkan UU yang sesuai.
Rokok ketengan juga menjadi problema di Afrika. Terlepas dari larangan penjualan rokok eceran oleh WHO, sebuah laporan Aliansi Kontrol Tembakau Afrika (ATCA) menuduh perusahaan tembakau melanggar peraturan tersebut.
Laporan yang dirilis pada tahun 2018 itu mengidentifikasi British American Tobacco (BAT), Phillip Morris International (PMI), dan Imperial Brands sebagai pelaku utama praktik itu di 10 negara Afrika. Nagara di Afrika itu diantaranya adalah Nigeria, Togo, Niger, Uganda, Pantai Gading, Chad, Burkina Faso, Kamerun, Ghana dan Kenya.
"Satu batang lebih murah daripada sebungkus penuh rokok dan akibatnya, membuat tembakau lebih terjangkau bagi kaum muda dan individu lain dengan sumber daya terbatas. Penjualan rokok eceran memudahkan anak muda untuk bereksperimen dengan produk dan akhirnya tetap menjadi pengguna," isi laporan tersebut.
Deowan Mohee, Sekretaris Eksekutif ATCA, meski banyak negara Afrika memiliki UU yang melarang penjualan rokok eceran, perusahaan tembakau secara terbuka mencemooh UU tersebut.
"Ini bukan masalah Afrika, ini masalah global dan kita perlu mengatasinya terutama dari masyarakat sipil. Kita harus denormalisasi penjualan satu batang rokok," tegas Deowan.
Di Indonesia, rokok ketengan juga menambah masalah sulitnya menurunkan prevalensi perokok anak.
"Anak kecil bisa beli rokok ketengan, tidak ada larangan orang menjual rokok ketengan malah harganya dituliskan per batang sekian. Jadi anak bisa beli rokok," jelas Benget.
April lalu, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mewacanakan pelarangan penjualan rokok ketengan atau batangan untuk menekan jumlah konsumen rokok. Namun, wacana ini ditentang oleh Komunitas Kretek yang menilai BPOM bertindak di luar kewenangannya sebagaimana diatur PP 109/2012.
Mengutip Suara.com, Ketua Komunitas Kretek, Jibal Windiaz, rokok adalah produk yang peredarannya telah diatur dan dijamin oleh UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang cukai. Sehingga, dia menganggap, menjual rokok secara teknis tidak ilegal.
Kenapa rokok ketengan harus dilarang? Berikut, alasan yang diungkap Institute for Policy Studies.
1. Rokok satu batang lebih terjangkau oleh kaum muda dan orang miskin. Studi menunjukkan, menjual rokok kerengan membuat rokok lebih terjangkau bagi mereka yang kurang mampu dan anak di bawah umur yang tidak mampu membeli sebungkus rokok berisi 12-20 batang rokok.Â
Hal ini meningkatkan konsumsi rokok dan memungkinkan perokok berpenghasilan rendah untuk terus merokok, meski ada kenaikan harga yang disebabkan oleh kenaikan pajak.
2. Penjualan rokok batangan mendorong inisiasi merokok. Karena lebih terjangkau mendorong inisiasi dan eksperimen di kalangan anak muda.
3. Peringatan kesehatan tidak terlihat ketika rokok dijual dalam bentuk batangan tunggal. Rokok satu batang tidak mungkin mengkomunikasikan peringatan kesehatan yang tertera di bungkusnya.
Lagi-lagi dengan banyaknya masalah yang harus dihadapi untuk menurunkan prevalensi perokok anak, aturan yang ada belum dilaksanakan sepenuhnya seperti soal KTR. Sedangkan masalah lainnya masih belum tertangani dengan baik.
Melihat kondisi ini, sekali lagi kita harus mempertanyakan komitmen pemerintah untuk menurunkan prevalensi perokok anak sesuai mandat RPJMN 2020-2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H