Deowan Mohee, Sekretaris Eksekutif ATCA, meski banyak negara Afrika memiliki UU yang melarang penjualan rokok eceran, perusahaan tembakau secara terbuka mencemooh UU tersebut.
"Ini bukan masalah Afrika, ini masalah global dan kita perlu mengatasinya terutama dari masyarakat sipil. Kita harus denormalisasi penjualan satu batang rokok," tegas Deowan.
Di Indonesia, rokok ketengan juga menambah masalah sulitnya menurunkan prevalensi perokok anak.
"Anak kecil bisa beli rokok ketengan, tidak ada larangan orang menjual rokok ketengan malah harganya dituliskan per batang sekian. Jadi anak bisa beli rokok," jelas Benget.
April lalu, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mewacanakan pelarangan penjualan rokok ketengan atau batangan untuk menekan jumlah konsumen rokok. Namun, wacana ini ditentang oleh Komunitas Kretek yang menilai BPOM bertindak di luar kewenangannya sebagaimana diatur PP 109/2012.
Mengutip Suara.com, Ketua Komunitas Kretek, Jibal Windiaz, rokok adalah produk yang peredarannya telah diatur dan dijamin oleh UU Nomor 39 Tahun 2007 tentang cukai. Sehingga, dia menganggap, menjual rokok secara teknis tidak ilegal.
Kenapa rokok ketengan harus dilarang? Berikut, alasan yang diungkap Institute for Policy Studies.
1. Rokok satu batang lebih terjangkau oleh kaum muda dan orang miskin. Studi menunjukkan, menjual rokok kerengan membuat rokok lebih terjangkau bagi mereka yang kurang mampu dan anak di bawah umur yang tidak mampu membeli sebungkus rokok berisi 12-20 batang rokok.Â
Hal ini meningkatkan konsumsi rokok dan memungkinkan perokok berpenghasilan rendah untuk terus merokok, meski ada kenaikan harga yang disebabkan oleh kenaikan pajak.
2. Penjualan rokok batangan mendorong inisiasi merokok. Karena lebih terjangkau mendorong inisiasi dan eksperimen di kalangan anak muda.
3. Peringatan kesehatan tidak terlihat ketika rokok dijual dalam bentuk batangan tunggal. Rokok satu batang tidak mungkin mengkomunikasikan peringatan kesehatan yang tertera di bungkusnya.