Mohon tunggu...
Anastasya Yusvieta Anggi
Anastasya Yusvieta Anggi Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

membaca dan berorganisasi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Strategi Politik Sunan Gunung Jati sebagai Jalan Dakwah Islamisasi Kesultanan Cirebon

1 Juli 2024   00:31 Diperbarui: 1 Juli 2024   00:31 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perjalanan Sunan Gunung Jati sebelum berdakwah

Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati merupakan salah satu dari kesembilan wali yang lahir di kota Mesir pada tahun 1448 M. Ayahnya bernama Syarif Abdullah bergelar Sultan Mahmud dan ibunya bernama Rara Santang putri Prabu Siliwangi dari kerajaan Pajajaran. 

Sebelum berdakwah, Sunan Gunung banyak belajar berbagai keilmuan dan mengembara. Beliau pernah berguru tentang ilmu keislaman kepada Syaikh Tajuddin al Qurtubi, kemudian memperdalam keilmuannya kepada Syaikh Athaillah Syadzili (guru tarekat Syaidziliyah) dan memperoleh dasar-dasar ilmu tasawuf sebelum beliau pergi ke Baghdad. Kemudian beliau pergi ke daerah Pasai untuk mempelajari ilmu tarekat Anfusiyah dan diberi nama Abdul Jalil serta diutus untuk berguru kepada Syaikh Bentong yang mana Sunan Gunung Jati justru diperkenankan menjadi guru dari Syaikh Bentong. 

Hingga sebelum beliau berguru kepada Sunan Ampel, beliau terlebih dulu menimba ilmu tarekat Jauziyah Madammkhidir dan mendapat nama Wujudallah. Dengan Sunan Ampel ia dipersaudarakan dengan Sunan Giri, Sunan Bonang, dan Sunan Kalijaga. Dengan bekal yang telah diperolehnya, beliau lantas mulai berdakwah genap berusia 27 tahun pada tahun 1475 M di daerah Cirebon. 

Kekuasaan yang didapatnya, diperoleh dari mertuanya Pangeran Cakrabuana setelah beliau mempersunting Nyai Pakungwati dan menyandang gelar sunan.

Berdirinya Kesultanan Cirebon

Pada abad ke-15 dan ke-16 M mulai berkuasa sebuah kerajaan atau kesultanan di daerah Cirebon yang mulanya hanya sebuah dukuh kecil yang didirikan oleh Ki Gedeng Tapa. Lambat laun setelah beberapa kali mengalami regenerasi kepemimpinan, Kasepuhan Cirebon kemudian diambil alih oleh Sunan Gunung Jati dengan sistem politik Dinasti dari penurunan tahta Pangeran Cakrabuana. 

Strategi Politik Sunan Gunung Jati

Sebagai pemimpin politik dan agama, Sultan Gunung Jati yang didasarkan pada paham kekuasaan religius kemudian membentuk sistem dan struktur kenegaraan dengan memprioritaskan pengembangan keagamaan. Dengan kekuasaannya, Sunan Gunung Jati mengembangkan wilayah Cirebon dengan Pesat, dan membangun sarana prasarana kerajaan. Selain itu, beliau juga banyak mengambil kebijakan-kebijakan yang bersifat politis untuk meneguhkan kedaulatan wilayahnya. 

Terjadi beberapa peperangan yang salah satunya adalah pertempuran gabungan dengan kerajaan Islam Demak untuk perebutan Sunda Kelapa yang dikuasai oleh Portugis pada tahun 1526 M. Setelah berhasil membangun kedaulatan Kesultanan Cirebon, Sunan Gunung Jati melebarkan kekuasaannya dengan membangun kesultanan Banten yang beliau utuskan kepada putranya, Maulana Hasanuddin. 

Pada 13 Desember 1579 M, Kesultanan Banten yang dibantu oleh kesultanan Cirebon berhasil menguasai wilayah pangkuan Pajajaran (Tandarasmita, 2009: 164-166). Sejak mengecilnya wilayah Pajajaran, maka semakin terbuka lebarlah jalan Sunan Gunung Jati untuk melakukan dakwah islamisasi.

Untuk mendukung dakwahnya, Sunan Gunung Jati menggunakan sistem politik yang berasas desentralisasi yang berpola kerajaan. Strategi ini digunakan untuk menerapkan program pemerintah yang bertumpu pada banyaknya pengembangan dakwah Islam ke seluruh wilayah bawahannya di tanah Sunda. Sedangkan untuk mengisi jajaran pemerintah, beliau memberikannya kepada para kerabat dan ulana yang beliau percaya dapat menjalankan dan menstabilkan sistem pemerintahan yang sudah dibentuknya (Sunarjo, 1983: 76-79). 

Sebagai salah seorang wali, Sunan Gunung Jati mendasarkan kepemimpinannya pada prinsip kepemimpinan dalam Islam yang disimbolkan dengan shalat berjamaah. Dengan tafsirannya, seorang makmum sholat jamaah ialah orang yang mengayomi bukan hanya sebagai penguasa saja . Kepemimpinan ditangannya berpadu antara kekuatan spriritual san kekuatan politik. Dengan keteguhannya pada ajaran Rasulullah yang mana di samping sebagai seorang pemimpin politik, beliau juga bertugas untuk menjaga tegaknya hukum Allah. Ia juga berhak mengambil keputusan hukum dan kebijakan yang didasarkan pada hukum Allah. 

Daftar Pustaka : Islamiati, Nindia Farah. 2023. Strategi Penyebaran Islam Sunan Gunung Jati Melalui Politik Kesultanan Cirebom (1479-1568). Skripsi. Purwokerto: UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun