“Kamu mau pamit sama om di dalam?” Tanyaku kepada anakku.
“Dia senang anak kecil, tapi biasanya anak-anak takut melihat dia,” ujar Opa Simin sambil membopong anaknya dan mendudukkannya di dipan di ruang tengah, lalu memakaikannya baju. Kini kami tahu suara tidak jelas tadi berasal dari mana, dan kami bisa melihatnya dari ruang tamu.
Ternyata sang ‘om’ yang dimaksud berwajah ramah, mirip anak-anak, dan melambaikan tangannya kepada anakku. Suara yang tidak jelas keluar dari balik mulutnya yang selalu tertawa. Lega hatiku ketika akhirnya anakku berbalik melambaikan tangan pada om yang dimaksud, walaupun dengan wajah datar.
Kami pun meninggalkan rumah itu dengan berbekal sekantung kecil kue kering di tangan anakku, dan sebuah kesan yang mendalam di hatiku.
Di usia Opa dan Oma Simin yang seumur dengan orang tuaku, biasanya anak-anak sudah hidup mandiri, bahkan melayani mereka. Tapi aku melihat kekuatan cinta kasih yang begitu besar dan nyata dari mereka. Kesetiaan mereka melayani anaknya selama ini sungguh luar biasa. Malu rasanya mengingat diriku yang mudah mengeluh dengan keadaan. Kudoakan semoga mereka diberi kesehatan hingga bisa menemani anaknya selama yang Tuhan izinkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H