Mohon tunggu...
Levianti
Levianti Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog, Dosen Psikologi Universitas Esa Unggul

Suka diam sejenak, refleksi, menulis, dan ngoepi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Belajar Melepas

17 September 2024   10:16 Diperbarui: 17 September 2024   10:46 277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Di tengah beraktivitas dengan penuh semangat

Di tengah semua alur kejadian yang terasa benar

Muncul rasa takut salah yang menghentikan langkah

Baca juga: Trauma & Attunement

Apakah ini sudah sesuai?

Atau lebih tepat melakukan hal lain yang lebih prioritas?

Berhenti sejenak membuat diri pun tersadar

Rasa takut salah ini masih ada, meski situasi nyata sedang baik-baik saja

Apakah percakapan batin di atas pernah dialami juga oleh Pembaca? Di mana situasi yang ada di depan mata bersifat netral, namun pikiran kita kemudian menginterpretasikannya secara khusus? Misalnya melihat remaja yang berjalan sambil melompat-lompat, lalu hati merasa deg-degan karena khawatir remaja itu jatuh atau tertubruk sesuatu?

Dalam psikologi, hal ini dikenal sebagai persepsi, yaitu interpretasi pribadi terhadap kejadian yang dialami. Persepsi dapat bersifat obyektif, seperti menamai benda langit yang bersinar hangat sebagai matahari; ataupun subyektif, seperti menilai hangatnya sinar mentari sebagai hal yang disukai/tidak.

Persepsi objektif biasanya berasal dari pengetahuan yang dipelajari bersama, sementara persepsi subyektif  dipengaruhi oleh pengalaman pribadi dari individu yang bersangkutan. Maka kembali pada dialog pikiran dan pertanyaan di atas, hal tersebut merupakan persepsi subyektif, yang dapat digunakan sebagai alarm untuk merenung sejenak: "Maukah saya memeluk rasa takut salah seperti seorang ibu memeluk anaknya yang ketakutan?"

Konon, emosi yang dipeluk hanya memerlukan waktu selama 90 detik untuk hadir utuh, sebelum kemudian leluasa pamit pergi. Namun yang seringkali terjadi adalah banyak orang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk bisa melepaskan emosi dan memori tertentu. Mengapa demikian?

Psikologi Kognitif menjelaskan mekanisme supresi sebagai faktor penyebabnya. Ketika emosi negatif muncul, otak menerimanya sebagai sinyal bahaya, sehingga berusaha mencari cara untuk menyingkirkannya. Emosi negatif tersebut memang pergi untuk sementara waktu, namun lalu balik lagi dengan intensitas lebih besar. Mekanisme supresi bersifat seperti pegas, yang semakin ditekan ke bawah justru semakin membal ke atas. Demikian juga pikiran yang menolak emosi negatif, semakin jauh emosi diusir, hasilnya justru malah semakin mendekat.

Maka yang perlu dilakukan bukanlah membuang emosi secara paksa, melainkan menerimanya sebagai tamu kesayangan, sehingga ia hanya singgah selama 90 detik, lalu mengalir dan lepas secara alamiah.

Ada beberapa metode yang dapat kita lakukan untuk melepas emosi negatif, seperti brainspot, attunement, teknik pernapasan, Sedona, dsb. Metode-metode ini dapat dipraktikkan secara mandiri, ataupun dengan bantuan fasilitator terlatih.

Pada metode Sedona misalnya, kita dapat berhenti sejenak dari aktivitas saat menyadari tanda/alarm dari persepsi subyektif atas emosi tertentu. Pada paparan di atas, sebagai contoh ialah emosi takut salah. Ambil dan genggamah sebuah obat /benda lain sebagai lambang dari emosi yang sedang dialami. Lalu ajukan dan jawab 3 pertanyaan berikut satu per satu:

  • Bisakah saya melepas emosi (takut salah)?
  • Maukah saya melepas emosi (takut salah)?
  • Kapan?

Menurut Coach Lia, jawaban tidak harus positif, yang penting jujur dengan kata hati pribadi. Jawaban negatif seperti tidak bisa/sulit dan tidak (belum sepenuhnya) mau pun sudah merupakan bagian dari proses release. 

Kita dapat bertanya kepada diri sendiri: "Sungguhkah saya tidak bisa? Maukah saya menanggung konsekuensi dari tindakan menggenggam erat-erat emosi ini?"

Ajukan lagi dan jawab 3 pertanyaan tadi satu per satu:

  • Bisakah saya melepas emosi (takut salah)?
  • Maukah saya melepas emosi (takut salah)?
  • Kapan?

Langkah-langkah sederhana di atas dapat kita ulangi sesuai kebutuhan pribadi. Rasakan genggaman tangan terhadap obat/benda simbol emosi pun mengendur.

Untuk memperoleh manfaat lebih, penulis memadukan metode Sedona tersebut di atas dengan sebagian metode attunement, maupun sebagian teknik pernapasan yang diajarkan oleh Sudrijanta pada "episode 2 program tranformasi penderitaan menjadi keindahan hidup dari Rumah Keheningan". Adapun langkah tambahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

  • Setelah gengaman mengendur dan obat/benda simbol emosi dilepaskan, taruhlah kedua telapak tangan yang terbuka di atas pangkuan.
  • Deteksilah rasa bagian tubuh mana yang paling dominan (misalnya pada bagian bahu kiri, ada rasa menonjol yang kurang/lebih nyaman daripada rasa tubuh bagian lain)
  • Geserlah rasa tubuh tersebut menuju telapak tangan yang terbuka melalui gerakan napas teratur
  • Setelah tergeser, rasakanlah rambatan energi halus pada telapak tangan yang terbuka
  • Ucapkan: "Apapun energi kejadian yang diKASIH kehidupan untuk saya alami sekarang, saya TERIMA"
  • Katupkan kedua telapak tangan sambil hati menyatakan "terima kasih"

Dalam proses belajar praktik melepas emosi dan persepsi subyektif yang muncul, penulis terbantu untuk membangun sikap netral. Misalnya, tetap merasa nyaman ketika merencanakan pulang lebih cepat namun mengalami pulang terlambat.

Tampaknya, mekanisme "menerima untuk melepas, serta melepas untuk menerima" merupakan salah satu hukum alam yang bekerja pada ragam aspek kehidupan, tidak hanya emosi, melainkan juga finansial, jodoh, dll.

Satu hal yang perlu disadari ialah munculnya KEINGINAN "melepas untuk menerima", atau sejujur-jujurnya ingin menerima manfaat saja dengan cara melepas. Keinginan tersebut merupakan pamrih yang menghambat proses release, dan baiknya diterima terlebih dahulu dan lepas alamiah.

Semoga sharing ini berbuah manfaat. Terlampir salah satu video metode Sedona dari Coach Lia. Salam hangat!***(eL)

Catatan: Terima kasih kepada Ibu Aat dan Mba Ety yang mengajarkan praktik metode Sedona, Mba Santi yang memfasilitasi program Rumah Keheningan, dan Lala yang memfasilitasi teman-teman di biro konseling keuskupan Bandung dalam mempelajari metode attunement. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun