Mohon tunggu...
Levianti
Levianti Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog, Dosen Psikologi Universitas Esa Unggul

Suka diam sejenak, refleksi, menulis, dan ngoepi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Terampilkah Saya untuk Memilih?

7 Februari 2024   16:49 Diperbarui: 7 Februari 2024   16:50 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertanyaan tersebut bisa jadi memunculkan beberapa alternatif jawaban. Alternatif manakah yang paling tepat?

Cara umum yang sering digunakan orang untuk menentukan keputusan adalah dengan menyusun daftar pro-kontra dari setiap alternatif jawaban. Atau, ada juga beberapa orang yang menentukan kriteria keputusan.

Kedua cara tersebut dapat kita gunakan untuk membantu kita memilih. Setelah menyusun daftar pro-kontra dari setiap alternatif jawaban, kita dapat memilih satu alternatif yang paling berkualitas "pro".

Selanjutnya, kita dapat memvalidasi satu alternatif terpilih itu dengan menggunakan kriteria keputusan. Ada banyak nilai kebajikan yang dapat kita gunakan untuk memvalidasi.

Penulis merasa terbantu dengan dua kriteria keputusan yang digunakan oleh seorang pujangga Gereja bernama Teresa Avila. Ia menggunakan dua pertanyaan untuk memvalidasi pilihannya sebelum ia bertindak, yaitu sebagai berikut:

  • Apakah pilihan ini pasti bermanfaat bagi orang lain?
  • Apakah pilihan ini murni terbebas dari kepentinganku untuk menguntungkan/meninggikan diri sendiri?  

Jawaban YA secara tegas pada dua pertanyaan di atas menjadi validasi alternatif pilihan terbaik sebagai sebuah ketetapan akhir untuk selanjutnya dilaksanakan.

Bagaimana Melatih Impotensi Menjadi Kompetensi Memilih?

 

Perbedaan mendasar antara pemiih impoten dengan pemilih kompeten adalah pada level kesadarannya. Maka latihan impotensi menjadi kompetensi memilih dapat dilakukan melalui latihan kesadaran.  

Seseorang bisa menyadari ketakutan dan sikap otomatisnya manakala ia berjarak dengan ketakutan dan sikap otomatisnya itu. Jarak membuat ia bisa menonton ketakutan dan sikap otomatisnya tersebut ibarat melihat tayangan sebuah adegan film.

Dengan begitu, ia pun berhadap-hadapan dengan ketakutannya. Ketakutan tidak lagi mendikte ia bersegera mencari cara untuk mengusirnya pergi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun