Mohon tunggu...
Levianti
Levianti Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog, Dosen Psikologi Universitas Esa Unggul

Suka diam sejenak, refleksi, menulis, dan ngoepi.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Trauma & Attunement

7 September 2023   13:04 Diperbarui: 7 September 2023   16:51 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Trauma! Ibarat luka lengan, yang diperban sekenanya, lalu tersenggol orang, dan langsung memancing reaksi intens, akibat sangat tidak enak / sangat menyakitkan! Demikianlah deskripsi pengalaman trauma yang dituturkan oleh psikolog Ine Indriani dalam pelatihan Trauma & Attunement di Biro Konseling Keuskupan Bandung.

Untuk mempertajam penghayatan tentang trauma, Mba Ine menggambar sebuah gunung meletus. Bagian pertama. Yang paling terlihat di permukaan adalah gambar letusan. Gambar bagian ini melambangkan reaksi kondisi negatif secara overwhelmed (kewalahan). Misalnya, perasaan sangat sedih / murung, lelah, marah-marah, dsb., yang merundungi dan mendominasi hidup kita.

Bagian kedua. Di bawah gambar letusan, terdapat bagian puncak kawah gunung. Bagian ini melambangkan permasalahan utama yang sedang dihadapi. Misalnya, merasa tidak disukai oleh lingkungan, tidak pernah cukup baik, dll.

Baca juga: Damai Bahagia

Bagian ketiga adalah badan gunung, yang melambangkan seluruh pengalaman hidup kita. Lucunya, saat kita berefleksi ke belakang, kita ternyata menemukan ada pola permasalahan hidup yang berulang. Misalnya, masalah merasa tidak disukai oleh lingkungan yang dialami individu saat ini, ternyata pernah dialaminya juga beberapa kali sebelumnya.

Bagian keempat adalah di bawah garis permukaan tanah. Ini melambangkan pengalaman trauma yang tidak disadari individu. Misalnya, trauma proses kelahiran, selama di dalam kandungan, maupun trauma generasi (pola masalah hidup orang tua -- kakek nenek, dst.) serta budaya (pola masalah sejarah bangsa, dll.).

Praktik menggambar gunung letusan dan mengisi keempat bagiannya dengan refleksi pengalaman diri akan membantu individu untuk mengenali dan menyadari trauma pribadinya. Untuk apa?

Untuk menemukan diri, menjadi diri sendiri apa adanya, dan merdeka!

Baca juga: Celoteh Ringan

Saat seseorang mengenali dan menyadari trauma pribadinya, ia mengalami keberadaannya secara asli dan utuh, serta terbebaskan dari kepalsuan sikap reaktif. Trauma boleh ada, diberi kesempatan naik panggung, diakui dan diterima sebagai bagian diri.

Beberapa waktu kemudian, muncul rasa bingung, tidak mengerti apa yang perlu dilakukan selanjutnya.

Pada saat demikian, baiklah seseorang melakukan attunement (penyelarasan). Bagaimana caranya? Mba Ine memperkenalkan tiga langkah.

Pertama, mengenali perasaan yang sedang terjadi (Oh, saya lagi bingung, ya).

 

Kedua, mengenali rasa tubuh saat ini (Oh, dada saya deg-degan. Dahi, ubun-ubun, dan bagian belakang atas kepala saya juga nyut-nyutan). 

 

Ketiga, menerima keadaan yang ada (menarik napas panjang teratur sambil menyadari kehadiran perasaan maupun rasa tubuh; merasakan keberadaan; memberinya kesempatan meng-ada).  

Melakukan tiga langkah sederhana attunement akan menciptakan kondisi selaras antara perasaan, tubuh, dan pikiran. Rasa selaras seperti rasa terhubung, atau kosong dan utuh pada saat bersamaan.

I only know onething, that I know nothing (Socrates, dalam Indriani, 2023).

Apakah setelah itu, trauma menjadi sembuh?

Perjalanan menyembuhkan trauma seperti mengupas bawang (Indriani, 2023). Saat mengupas kulitnya, kita merasa bersih dan segar. Namun seiring waktu, bagian terluar akan mengeras dan beralih menjadi kulit. Untuk mendapatkan bagian tubuh bawang yang bersih dan segar, kita perlu mengupasnya lagi. Demikian seterusnya, ada berlapis-lapis kulit bawang yang perlu dikupas, sebagaimana juga trauma yang bertumpuk-tumpukan.

Proses healing rasanya seperti naik roller coaster (Indriani, 2023). Kadang rasanya tenang dan menyenangkan, namun kadang juga sangat tidak enak dan melelahkan!

Apapun lika-likunya, attunement dapat terus kita lakukan. Dengan menyadari perasaan, rasa tubuh, dan mengalirkannya melalui napas panjang teratur, kita terbantu untuk berhenti reaktif, atau mematikan sistem pertahanan diri palsu. Dalam keadaan mental selaras, kita siap bertindak proaktif, atau menyalakan sistem aksi.***

Referensi:

  • Indriani, I., 2023. PPT Trauma & Attunement. Bandung: Biro Konseling Keuskupan Bandung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun