Mohon tunggu...
Levianti
Levianti Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog, Dosen Psikologi Universitas Esa Unggul

Suka diam sejenak, refleksi, menulis, dan ngoepi.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Orangtua Berperan Seumur Hidup dalam Pengelolaan Emosi Anaknya

6 Juli 2023   21:06 Diperbarui: 8 Juli 2023   08:43 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orangtua mengelola emosi anak (marome via parapuan.co)

Peran orang tua dalam pengelolaan emosi anak dimulai sejak mengandung. Pengalaman emosi anak selama masa kandungan membangun temperamen atau dasar emosi anak.

Misalnya, saat mengandung anak pertama, ibu sedang menyelesaikan kuliah S2. Yang ibu lakukan kemudian ialah mengajak janin sulung untuk sama-sama bersiap menghadapi tuntutan dan bertahan sampai selesai. Hal ini ternyata membangun rentang daya tahan anak dalam menghadapi tekanan. 

Atau saat mengandung anak kedua, ekonomi keluarga biasanya mulai membaik, sehingga janin kedua dapat leluasa menikmati nutrisi dan turut menerima stimulasi ceria saat ibu menemani sulung bermain dalam program terstruktur. Pengalaman tersebut juga membangun akar keriangan anak dalam menyikapi tuntutan situasi di depan mata sebagai tantangan untuk ditaklukkan.     

Baca juga: Inikah Cinta?

Peran orang tua dalam pengelolaan emosi anak berlanjut selama masa pengasuhan. Misalnya waktu anak-anak masih balita, para ibu berisiko terjebak dalam siklus marah-menyesal-marah-dst. Kekerasan verbal ini akan membangun potensi reaksi anak saat menghadapi frustasi. Saat tertekan, mereka cenderung aktif mencari penyaluran dorongan agresi.

(t.me-great pictures-pinterest)
(t.me-great pictures-pinterest)
Selama masa balita, para ayah sering kali membebaskan anak-anaknya untuk mencorat-coret tembok. Di samping memancing kreativitas, corat-coret tembok ini bisa juga menjadi salah satu alternatif cara untuk menyalurkan dorongan agresi anak.

Waktu mulai formal bersekolah, anak-anak lebih mudah merasa tertekan, entah karena rentetan tugas-tugas sekolah ataupun karena perselisihan dengan teman-teman. Pengalaman corat coret tembok waktu kecil membuat mereka terbiasa segera mencari kertas untuk menggambar, sehingga dorongan agresinya akibat perasaan tertekan pun tersalurkan, dan perasaannya kembali lapang. Tidak hanya sebagai wadah corat coret emosional di kertas untuk melepaskan ketegangan agresi, kegemaran menggambar pun tumbuh untuk mengisi waktu luang mereka secara konstruktif.

Baca juga: Percaya

Peran orang tua dalam pengelolaan emosi anak masih berlanjut saat mereka remaja. Para remaja biasanya mulai merasa canggung dan menarik diri dari orang tuanya. Menghadapi situasi demikian, ibu dapat setia memeluk dan ayah dapat rajin berbincang. Awalnya, akan ada penolakan dan seperti dipaksakan. Namun saat orang tua melakukannya secara tulus dan terus menerus, reaksi penolakan remaja pun beralih menjadi penerimaan, menyambut hangat, bahkan ikut ganti berinisiatif memulainya.

Apakah peran orang tua dalam pengelolaan emosi anaknya sudah usai? Ataukah masih terus berlanjut walau anak telah dewasa?

Baca juga: Terlambat Pun Tahir

Anak berusia dewasa banyak menghabiskan waktunya di tempat kerja. Perselisihan dengan atasan-rekan-bawahan, ataupun ragam konflik lainnya menjadi pemicu utama emosi. Sudut pandang dan kebiasaan mengelola emosi pun menjadi isu penting. Sering kali ditemukan bahwa luka-luka batin anak terkuak untuk diselesaikan pada masa ini.

Misalnya, seseorang yang terlalu mandiri dan terhambat dalam membangun kolaborasi di tempat kerja. Ketika masa kecilnya digali, anak ternyata sangat ingin bersama-sama ibu, namun ibu sering tidak siap didekati anak. Untuk mengatasi reaksi penolakan ibu, anak bersikap mandiri dalam memenuhi semua kebutuhannya sendiri agar tidak perlu bergantung kepada ibunya, sehingga ia tidak akan merasa sakit lagi oleh penolakan ibu.

Kabar baiknya adalah bahwa rekonsiliasi tidak mengenal kata terlambat. Rekonsiliasi senantiasa berdampak positif, meski itu baru dilakukan setelah anak berusia dewasa. Rekonsiliasi menjadi peran utama orang tua dalam pengelolaan emosi anak-anaknya setelah mereka dewasa.

Sebelum melakukan rekonsiliasi dengan anak, orang tua perlu melakukan rekonsiliasi dengan dirinya sendiri terlebih dahulu. Bagaimana orang tua dapat memaafkan diri sendiri dan menerima dirinya sendiri sebagaimana adanya?

Yang penting dilakukan oleh orang tua adalah mereka berkesempatan mengungkapkan segala emosinya pribadi secara mandiri. Emosi dapat dituangkan secara aktif dengan berdoa, menulis, melukis, menyadari napas, beraktivitas pelan-pelan, menekuni hobi, dll, maupun secara pasif dengan menikmati bacaan, lagu, lukisan, masakan, alam sekeliling, dll. Emosi yang tersalurkan akan menciptakan perasaan lega dan nyaman.

Saat emosi negatif kembali mencuat, orang tua lebih siap, dan dapat menyikapinya dengan tersenyum. Dengan begitu, emosi negatif yang ada mendapat panggung, diperbolehkan tampil dan berada sebagaimana adanya.

Kedua cara tersebut baik dilakukan secara bergiliran sebagai pola. Misalnya, disalurkan-disenyumi-disalurkan-disenyumi-dst. Pola ini akan menurunkan intensitas emosi, menetralisirnya, dan sikap penolakan orang tua terhadap emosinya pun akan beralih menjadi sikap penerimaan.

Sikap orang tua yang menerima emosi (dan diri sendiri) sebagaimana adanya tanpa sadar akan membuat mereka juga menerima anak-anak secara apa adanya pula. Cinta tanpa syarat dapat mereka berikan secara leluasa.

Anak-anak yang berusia dewasa dan menerima cinta orang tua tanpa syarat akan terbantu untuk menerima dirinya sendiri, termasuk ragam emosinya. Emosi yang diterima tidak akan lagi berdaya desak destruktif. Lambat laun menjadi netral, bahkan beralih menjadi sumber daya konstruktif.                 

Saat ini, kita berada dalam posisi tidak hanya sebagai anak, namun juga bisa mengambil posisi sebagai orang tua. Pembaca yang belum mempunyai anak (kandung/angkat/tiri/buah) tetaplah dapat melakukan pengelolaan emosi (disalurkan-disenyumi-dst) untuk menerima diri sendiri. Setelah rekonsiliasi dengan diri sendiri, kita dapat menerima-memaafkan orang tua sebagaimana adanya, sehingga mereka pun terbantu untuk menerima-memaafkan dirinya.

Bersediakah kita mengambil tanggung jawab ini lebih dulu?***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun