Mohon tunggu...
Anastasia Bernardina
Anastasia Bernardina Mohon Tunggu... Lainnya - Penyuka Aksara

Berbagi energi positif dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Ada yang Hampir Punah (Petualangan Rahasia Part 4)

6 Februari 2023   19:00 Diperbarui: 6 Februari 2023   19:01 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mbah Broto menghampiri Adit lalu menjawab, "Ini tumis jantung pisang yang Mbah ambil dari belakang rumah. Jantung pisang disebut juga bunga pisang, bagian luarnya berwarna merah keungu-unguan. Di pasar-pasar mungkin sudah jarang, padahal sayur ini bisa menambah ketahanan tubuh. Mungkin hanya di Indonesia orang-orang yang memanfaatkan jantung pisang sebagai masakan tradisional. Berbanggalah menjadi anak Indonesia karena orang-orang yang berada di negara kita ini sangat kreatif."

Keempat sahabat mengangguk-anggukan kepala tanda mengerti.

Rio segera bertanya lagi, "Apakah rasanya enak? Bentuk dan warnanya saja aneh seperti itu, aku tidak yakin kalau rasanya enak, Mbah."

Mbah Broto menuangkan tumis jantung pisang ke piring yang sedang dipegang Rio, "Dicoba saja dulu, mungkin awalnya terasa aneh karena belum terbiasa, tetapi Mbah sudah sering memasak jantung pisang. Mbah yakin, rasanya tidak akan seburuk yang kamu katakan barusan."

Dengan penuh semangat, Sekar menimpali, "Ayo teman-teman, lebih baik kita coba saja. Ayo, kita ambil nasinya. Ambil saja sedikit dulu supaya kalau kalian merasa tumis ini kurang enak, kalian juga tidak membuang makanan begitu saja."

Wira tidak mau kalah untuk menimpali, "Ah, sok bijaksana kamu, Sekar!"

Nah, kalau yang ini apa, Mbah? Warnanya merah dan sepertinya ada terigunya. Apa ini rasanya kriuk?" Wira penasaran dengan apa yang dilihatnya.

Mereka akhirnya tidak jadi mengambil nasi karena ingin menyimak penjelasan Mbah Broto terlebih dahulu. Piring dan sendok pun mereka letakkan di pangkuan masing-masing.

Mbah Broto menjawab lagi, "Iya, kamu benar! Ini namanya keripik bayam merah. Mbah menanamnya di belakang rumah. Bayam merah bisa ditumis atau dimasak berkuah. Mbah ingin kalian mencoba keripik bayam merah ini. Bayam merah harganya lebih mahal dan daunnya juga lebih lebar dibandingkan dengan bayam hijau dan masih mudah didapatkan di pasar-pasar tradisional."

"Bagaimana caranya Mbah mendapatkan terigu dan minyak goreng untuk membuat keripik ini? Mbah kan di sini tinggal sedirian?" Berarti Mbah juga punya kompor, ya? Rio yang selalu kritis mencoba mencari jawaban.

"Ada beberapa kenalan Mbah yang sesekali datang kemari mengirimkan apa yang Mbah perlukan." Pertanyaanmu sangat bagus, kamu tampak anak yang pemikir, Rio. Mbah Broto memuji Rio dengan tatapan teduh dan senyum hangatnya.

Mbah Broto melanjutkan dan menatap Adit. "Adit, apakah kamu tahu, sayur yang di mangkuk itu namanya apa?"

Pertanyaan Mbah Broto sedikit mengejutkannya karena sedari tadi dia memikirkan keris kecil yang ada di dalam tas selempangnya itu. Sesekali tangannya merogoh ke dalam tas sekadar untuk mengecek keberadaannya.

Adit menjawab dengan mimik wajah yang kelihatan ragu. "Sepertinya itu masih temannya sawi."

Mbah Broto terkekeh, "Iya, kamu hampir benar! Namun, ini bukan sawi, ini namanya genjer."

Genjer bisa dimasak dengan cara ditumis. Genjer biasanya tumbuh di perairan dangkal ataupun di persawahan. Orang-orang menyebutnya sebagai tumbuhan liar dan dianggap sebagai sayuran orang miskin karena sekitar tahun 1930 jika sudah tidak ada sayuran lain yang dapat dipanen, maka genjer bisa sebagai pelengkap kebutuhan makan sehari-hari. Orang-orang bisa dengan bebas mengambilnya di persawahan atau rawa karena tumbuh secara liar.

"Ah, Mbah ini. Di sini kan tidak ada sawah atau perairan. Bukankah, tanah di daerah ini digunakan warga untuk berladang? Bagaimana caranya Mbah mendapatkan genjer ini?" Adit selalu penuh semangat dan rasa ingin tahunya tidak kalah besar dengan Rio.

Mbah Broto tersenyum kembali, "Adit, kamu memang cerdas, Nak!"

"Sebetulnya genjer juga bisa ditanam di tanah, asalkan tanahnya tetap basah. Mbah mencoba menanamnya di ember bekas dan ternyata berhasil. Mbah hanya mencoba melestarikan beberapa yang hampir punah di pasar tradisional. Jantung pisang dan genjer sudah hampir punah di pasar tradisional. Hanya daerah tertentu saja yang mungkin masih mudah menemukannya di pasar tradisional.

Wira melirik Sekar yang tampaknya sudah ingin makan, namun obrolan malah semakin seru. Wira memberanikan diri berucap, "Mbah, kapan kita makannya? Aku sudah tidak sabar ingin mencicipinya."

Rio sedikit mencegah, "Sebentar, ada satu lagi yang belum dibahas oleh Mbah. Itu goreng ular kecil ya, Mbah?"

"Bukan, Rio. Itu namanya keripik belut." Wira menjawab dengan terbahak-bahak.

"Kok, kamu bisa tahu?" Sekar bertanya lebih cepat dari Rio, seolah dia tahu bahwa Rio juga akan bertanya hal yang sama dengannya.

Wira pun berhenti dari tertawanya, "Ayahku kemarin mendapat kiriman keripik belut dari saudaranya yang ada di Solo. Memangnya kamu tidak tahu bentuk belut seperti apa? Seingatku pernah dijelaskan ibu guru di sekolah.

Iya, Rio. Ini namanya keripik belut. Mbah juga mendapatkan keripik belut ini dari seseorang yang sangat baik dengan Mbah. Keripik belut salah satu makanan yang populer dan sampai sekarang keberadaannya masih lestari. Hal itu karena banyak orang membudidayakannya. Ayo, semuanya kita makan dulu. Kalau kalian merasa belum terbiasa dengan rasa masakannya Mbah, itu tidak apa-apa. Ambillah sedikit dulu untuk mencobanya. Anak Indonesia harus tahu rasa makanan tradisional, bahkan yang hampir langka dijual di pasar." Mbah Broto mempersilakan anak-anak untuk mengambil nasi.

Mereka pun mulai menuangkan nasi dari bakul kecil ke atas piring dan mengambil sayur serta lauknya.

"Bagaimana rasanya?" Mbah Broto seolah tidak sabar ingin segera tahu bagaimana pengalaman awal mereka ini.

Sebagai anak yang selalu diandalkan teman-temannya, Adit menjawab dengan sopan, "Rasanya cukup enak Mbah. Mungkin karena pengalaman pertama, jadi masih terasa aneh di lidah."

Rio, Wira, dan Sekar pun mengiyakan jawaban Adit.

"Kalau aku sih suka dengan keripik belutnya, rasanya mirip ikan yang digoreng kering."

"Kalian bagaimana, apakah sama denganku?"

Rio, Wira, dan Adit membenarkan pendapat Sekar. Mereka pun tidak canggung lagi untuk mengambil beberapa buah keripik belut dan ditaruh di atas piring masing-masing. Rasanya yang kriuk sangat cocok dimakan dengan nasi hangat.

"Belut memang termasuk jenis ikan. Bisa hidup di air tawar, rawa atau sawah." Mbah Broto mencoba menanggapi pendapat Sekar seraya mengunyah makanannya.

"Mbah senang kalian mau datang kemari, walaupun awalnya kalian berniat menyelidiki tempat ini dan penasaran dengan Mbah yang dikira sebagai dukun. Iya, kan?" Mbah Broto menggoda mereka dan sama seperti kemarin, selalu disertai dengan memainkan alisnya naik turun.

Sebelum meneguk air yang ada di gelasnya, Rio menyeletuk, "Lalu, Mbah sebenarnya siapa?"

(Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun