Aku berbalik meninggalkan ruangan kerjanya. Alvin berusaha mengejar. "Sayang, tunggu!"
Aku berhenti tanpa menoleh. "Rapikan dulu ritsleting celanamu sebelum keluar dari ruangan ini. Kalau tidak, kamu hanya akan menanggung malu dilihat anak buahmu!"
Seiring kaki melangkah meninggalkannya, aku hanya bisa berbicara dalam hati. "Mungkin kali ini primbon yang ibu yakini, benar."
Dinding koridor kantor ini pun seolah mengasihani, berbaur dengan suara Alvin yang terus berusaha mengejarku. Semakin lama suaranya semakin sayup.
Entah aku harus percaya atau tidak dengan primbon ibu, namun saat ini yang terbayang hanyalah wajah ibuku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H