Mohon tunggu...
Anastasia Bernardina
Anastasia Bernardina Mohon Tunggu... Lainnya - Penyuka Aksara

Berbagi energi positif dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Primbon Ibu

2 September 2022   19:00 Diperbarui: 2 September 2022   19:04 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh Yerson Retamal dari Pixabay 

"Jangan duduk di depan pintu, nanti susah jodoh. Jangan makan berutu ayam, nanti kamu selalu kalah sama orang-orang. Kalau nyapu harus bersih, biar nanti nggak berjodoh sama yang brewokan."

Masih banyak lagi jangan dan kalau yang sangat muak kudengar. Zaman modern begini masih saja percaya mitos yang nggak karu-karuan. Mungkin karena ibuku keturunan Jawa tulen, jadi ibu sangat percaya akan hitungan rumit tentang apa yang dialami oleh manusia. Mulai dari watak, arti nama, pekerjaan, hingga urusan percintaan. Semuanya ada di dalam buku ibu. Primbon.

*****

Baca juga: Salah Ambil Botol

"Jangan menikah sama dia, ibu nggak suka. Cara makannya saja tidak sesuai dengan primbon ibu. Sembarangan dan terlihat nggak sabaran. Itu tandanya dia orang yang mau menang sendiri. Sudah siap berumah tangga dengan orang yang seperti itu, Nduk?"

Namun aku tetap bersikukuh ingin menikah dengan Alvin yang modern, keren, berwawasan, open minded, dan nggak kaku kaya ibu.

Pasti cocok dengan aku, Citra Pratiwi yang selalu modis dengan segudang prestasi di bidang public relation.

*****

"Sekarang, apakah aku harus percaya dengan primbon ibu?"

Saat sedikit lagi tanganku akan membuka handle pintu ruangan kerja Alvin, saat itu pula rekan kerjanya yang cantik dan baru kukenal seminggu yang lalu, muncul dari arah dalam. Dia menyapaku alakadarnya dan segera berlalu terburu-buru.

"Hai, Sayang. Tumben siang-siang ke kantor. Mau ngasih kejutan, ya? Alvin berusaha menghilangkan gugup sementara tangannya terus merapikan kemeja yang belum terkancing seluruhnya.

Aku berbalik meninggalkan ruangan kerjanya. Alvin berusaha mengejar. "Sayang, tunggu!"

Aku berhenti tanpa menoleh. "Rapikan dulu ritsleting celanamu sebelum keluar dari ruangan ini. Kalau tidak, kamu hanya akan menanggung malu dilihat anak buahmu!"

Seiring kaki melangkah meninggalkannya, aku hanya bisa berbicara dalam hati. "Mungkin kali ini primbon yang ibu yakini, benar."

Dinding koridor kantor ini pun seolah mengasihani, berbaur dengan suara Alvin yang terus berusaha mengejarku. Semakin lama suaranya semakin sayup.

Entah aku harus percaya atau tidak dengan primbon ibu, namun saat ini yang terbayang hanyalah wajah ibuku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun