Mohon tunggu...
Anastasia Silvani Dasi Letto
Anastasia Silvani Dasi Letto Mohon Tunggu... Lainnya - Fresh Graduate Basindo UGM.

Punya minat besar di bidang bahasa dan gender. Utamanya suka membaca artikel ilmiah, tetapi sekarang menantang diri untuk menulis karya populer dan jurnalistik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Promosi Judi Online dan Perempuan

4 Juli 2024   09:32 Diperbarui: 4 Juli 2024   12:46 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Aiden Howe/Unsplash.com

Topik judi online barangkali adalah topik paling hangat pada Juni 2024. Banyaknya masyarakat Indonesia yang terlilit dampak negatif dari judi online memanglah sesuatu yang meresahkan. Judi online membawa dampak yang beragam bagi masyarakat: kecanduan, kerugian ekonomi, kerugian mental, dst. 

Dilansir dari Kompas.com, dalam triwulan pertama tahun 2024, PPATK mencatat nilai transaksi judi online di Indonesia mencapai lebih dari 600 triliun. Yang lebih mengkhawatirkan, judi online melibatkan masyarakat dari berbagai kalangan usia sebagai pemain. Menkopolhukam, dalam tvonenews.com, mencatat bahwa pemain judi online di Indonesia berada di rentang usia di bawah sepuluh tahun hingga di atas lima puluh tahun.

Di antara ribut -ribut seluruh elemen masyarakat mengenai judi online, pemerintah kita malah melaksanakan upaya-upaya pemberantasan judi online yang perlu dipertanyakan signifikansinya. Entah apa yang menjadi dasar kebijakan ini sehingga pemerintah bisa berpikir bahwa melarang top up game online di minimarket, mengirim siaran larangan judi online melalui SMS, dan memblokir media sosial X dapat berdampak terhadap menjamurnya judi online di masyarakat kita. 

Komitmen pemerintah memberantas judi online nampaknya terlalu tumpul, mungkin karena banyak anggota dewan kita yang tidak  luput dari jerat judi online. Dengan wacana pemberantasan judi online yang dilebih-lebihkan dan tidak berdasar, pemerintah membatasi akses masyarakat terhadap informasi dan ekonomi digital, serta menghabiskan anggaran untuk teguran genit lewat broadcast SMS Kominfo. 

Kebijakan ini tidak menyentuh akar masalahnya, hanya melayang-layang seperti kata-kata kiasan. Upaya-upaya ini akan lebih berdampak apabila pemerintah menyadari bahwa di masyarakat kita sekarang, tingkat ketabuan judi sudah rata dengan tanah dan berangkat dari sana untuk memperbaiki kondisi masyarakat yang banyak terjerumus judi online.

Tabu berhubungan dengan moral yang hidup di masyarakat. Dalam masyarakat patriarki, perempuan yang terdomestikasi adalah kelompok yang bertanggung jawab menjaga moral. Akan tetapi, saat ini, perempuan sudah seperti menjadi frontliner dalam judi online. Citra perempuan sangat sering kita lihat dalam promosi judi yang ada di jejaring digital.  

Ketika berselancar di berbagai situs, bisa kita jumpai iklan judi online berupa banner yang di dalamnya ada foto perempuan. Terkadang promosi judi itu, dikirimkan ke Whatsapp pribadi kita oleh pengirim yang memasang foto profil perempuan seksi, nama feminin seperti Cantika, dengan gaya typing yang cewek banget. Terkadang juga, promosi itu datang melalui panggilan, dan kita dapat mendengar suara perempuan yang mengiklankan judi online itu kepada kita.

Persona-persona perempuan yang kita lihat di salah satu saluran promosi judi itu tidak serta merta berarti perempuan yang bersangkutan betul-betul terlibat sebagai promotor.  

Foto di banner iklan maupun foto profil bisa saja hanya foto perempuan yang diambil dari internet tanpa sepengetahuan pemiliknya, suara yang terdengar dari ujung telepon bisa diubah dan dipalsukan dengan bantuan berbagai aplikasi yang dengan mudah dipasang di ponsel, serta typing adalah karakteristik yang sungguh lemah untuk menebak identitas seseorang yang ditemui online. 

Kemampuan kita untuk mencerna dengan kritis informasi yang kita jumpai di internet saya harap dapat menjauhkan kita dari tindakan menyalahkan perempuan atas hal yang belum tentu dilakukan oleh perempuan. Akan tetapi, banyaknya promosi judi yang melibatkan citra perempuan di dalamnya dapat memberi kita gambaran bahwa perempuan dijadikan objek di dalam promosi judi.

Melalui asumsi heteronormatif, kita bisa menunjuk bahwa citra perempuan yang muncul dalam promosi judi digunakan untuk menarik perhatian laki-laki karena barangkali markas judi meyakini kecenderungan laki-laki untuk berjudi lebih besar daripada perempuan. Keterlibatan perempuan dalam promosi judi online mungkin dinilai akan dapat menarik lebih banyak pemain, khususnya laki-laki. Dalam kerangka objektifikasi tersebut, berbagai lapis bentuk kekerasan bisa terjadi. 

Misalnya, ketika perempuan mempromosikan judi kepada laki-laki yang ia telpon, ia mendapat balasan, “Saya nggak judi lagi, Mbak, sekarang saya sukanya seks. Bisa sama Mbaknya?” Akan tetapi, tentu saja berbicara mengenai masalah tersebut akan sangat sulit, mengingat hal tersebut terjadi dalam lingkungan hiburan yang diperangi oleh sistem hukum dan menganggap judi dan kekerasan seksual adalah hal yang tidak tabu atau normal.

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, tabu berkaitan dengan nilai moral yang ada di masyarakat dan perempuan adalah kelompok yang bertanggung jawab untuk menjaga moral masyarakat. 

Oleh sebab itu, ketika citra perempuan digunakan dalam banyak promosi judi online, orang yang terpapar promosi itu dapat merasa bahwa judi online bukanlah sesuatu yang tabu-tabu amat. Hal ini makin menenggelamkan anggapan tabu judi online di mata masyarakat kita. Dengan asumsi ini, kita dapat melihat bahwa eksistensi iklan judi online juga berpengaruh pada determinasi moral masyarakat.

Saat menyadari banyaknya kerugian yang disebabkan oleh judi online, perlulah pemerintah dan pihak-pihak yang berkomitmen menjaga moral masyarakat, seperti organisasi keagamaan (yang semoga saja tidak disetir), melugaskan keburukan judi online. Bersamaan dengan kriminalisasi para pelaku judi online, perlu pula pihak yang telah memahami sifat destruktif judi menekankan bahwa judi online adalah sesuatu yang buruk, merugikan, dan tabu dalam dialog terstruktur yang menjangkau berbagai lapisan masyarakat. 

Dialog dengan masyarakat harus dilakukan dengan sungguh-sungguh, tanpa mencari sensasi yang tidak perlu (seperti mencanangkan bansos ke korban judi online) dan menambah stigmatisasi terhadap perempuan yang akhirnya membelokkan perhatian dari masalah judi online. Dengan memperkuat anggapan judi sebagai hal yang tabu, banyak masyarakat yang akan dapat melindungi diri sendiri dan orang sekitarnya dari jerat judi online.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun