Mohon tunggu...
Ana Sherlina
Ana Sherlina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

^_^

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kedudukan Perempuan dalam Hukum Keluarga Islam ( Telaah Kompilasi Hukum Islam Perspektif Kesetaraan gender )

23 Agustus 2024   13:40 Diperbarui: 23 Agustus 2024   13:53 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

     (5) Jika suami istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.

Pada pasal di atas tampak semakin jelas bahwa untuk mewujudkan tujuan perkawinan maka dituntut partisipasi semua pihak dan kerjasama anatar keduanya. Jadi, keduanya memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama dalam pembinaan rumah tangga bahagia.

      Sedangkan dalam pasal 79 ditegaskan :

      (1) Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga

      (2) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat

      (3) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum

         Penegasan peran pada ayat (1) diatas, dinilai oleh kalangan tertentu khususnya kaum feminis atau para aktivis pemberdayaan perempuan sebagai pembakuan struktur patriarki dengan adanya pengukuhan peran keibuan sebagai nilai resmi yang mengatur peranan perempuan dalam keluarga.

         Menurut T.O. Ihroni, penekanan bahwa istri adalah ibu rumah tangga, berarti bidang kegiatannya di ranah domestik, sedangkan suami adalah pencari nafkah, jadi berkegiatan di ranah publik. Di sini jelas terdapat konstruksi sosial tentang tugas khas suami dan istri. Padahal dalam kenyataanya  banyak istri yang bekerja juga di luar rumah, tetapi karena peran gendernya adalah ibu rumah tangga, maka dia berperan ganda. Karena kewajiban tersebut, maka setelah bekerja di kantor atau tempat kerja lain, dia harus masih menyelesaikan berbagai tugas rumah tangga. Dibandingkan dengan suaminya, curahan waktu untuk tugas-tugasnya lebih lama. Setelah selesai bekerja di luar, pulang ke rumah bisa langsung istirahat. Disini jelas terlihat adanya ketimpangan.

       Namun menurut Daud Ali, pernyataan pasal tersebut tidak boleh dipandang sebagai penurunan kedudukan para istri karena pernyataan tersebut hanya merupakan pernyataan pembagian pekerjaan dan tanggung jawab. Perumusan itu tidak boleh pula diartikan bahwa istri tidak boleh melakukan aktivitas di luar rumah, selama tidak melupakan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Hal tersebut karena mengingat sesuai dengan fitrah maka ibulah yang paling sesuai berperan sebagai penanggung jawab rumah tangga.

       Ketentuan tersebut tidak berarti bahwa semua tugas-tugas rumah tangga dibebankan sepenuhnya kepada istri atau suami tidak bisa ikut terlibat dalam aktivitas domestik. Dalam hal ini, tidak menutup kemungkinan suami ikut terlibat meringankan tugas istri sebagaimana istri ikut membantu suami mencari nafkah. Tapi realitas selama ini, banyak suami yang menolak membantu istri di dapur karena dianggap bukan pekerjaan laki-laki, tetapi lucunya mereka tidak menolak kalau istri ikut mencangkul di sawah. Jadi yang terpenting sebenarnya adalah bagaimana aktualisasi peran tersebut, bahwa tidak boleh ada pembakuan antara peran domestik yang hanya dibebankan kepada istri dan peran publik yang hanya menjadi hak suami.

III. Perspektif Kesetaraan Gender dalam Kompilasi Hukum Islam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun