Mohon tunggu...
Anastasya Han
Anastasya Han Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kopi Merah

25 November 2018   22:47 Diperbarui: 25 November 2018   22:59 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"eh, iya Pak, pagi juga, iya saya sudah siap ke kebun, mari" jawabku dengan semangat, tetapi raut wajah Pak Rodi mengatakan yang sebaliknya.

"Eh? Apakah bapak tidak mendengar berita di radio kemarin bahwa hari ini Belanda akan datang dan kita akan menjalankan sistem tanam paksa? Saya sangat tidak setuju dan sedih, ini sangat lah tidak adil. Saya tidak tahu bagaimana ke depannya usaha kebun saya dan keluarga saya akan saya beri makan apa?" ujar Pak Rodi dengan penuh kesedihan.

Ya, aku baru saja teringat berita malam kemarin mengenai hal ini, semangatku langsung menurun dan mulai memikirkan mengenai usaha kebun tomat yang telah kutekuni selama ini akan dihancurkan oleh para pemerintah Belanda egois itu.

Kami semua diperintahkan untuk mengumpul di balai desa dan mendengarkan apa yang akan disampaikan oleh para pemerintah Belanda tersebut.

"Mulai saat ini, kalian semua harus mengikuti sistem tanam paksa, yang tidak mempunyai lahan kebun wajib bekerja kepada pemerintah Belanda, semua wajib dijalankan oleh seluruh masyarakat di sini, jika memberontak, akan terdapat konsekuensi berat bagi para pemberontak." Sejak saat itu, kami seluruh masyarakat mulai bekerja untuk para penjajah tersebut. Aku tidak bisa pergi dari sini, aku sungguh berharap dapat kembali ke Sulawesi bersama keluargaku. Ini sangat menyedihkan.

8 Maret 1851

 Aku memanen semua buah kopi yang sudah berwarna merah dan menaruhnya di dalam keranjang yang sudah kotor ini. Aku sangatlah lelah, mengingat aku sudah berumur 41 tahun, sehingga kekuatanku tidak sekuat dulu lagi.

"Hei! Bapak tua! Cepat panen semua kopi di lahan ini, jangan terlalu lama, bekerjalah lebih cepat!" ujar salah satu penjaga Belanda dengan kasar. Aku mulai memanen dengan lebih cepat, karena mengetahui konsekuensi yang akan ku dapatkan jika tidak memenuhi perintah dari para belanda dapat mengakhiri hidupku selamanya.

Aku tidak menghitung sudah berapa lama aku menjalankan sistem tanam paksa yang menyiksaku ini. Tanam paksa ini sungguh benar menjadi beban bagi masyarakat, kami yang bekerja sebagai petani tomat, harus rela kebun kami di rubah total menjadi perkebunan kopi, teh dan nila, dan bagi mereka yang tidak mempunyai lahan perkebunan harus bekerja selama 75 hari dalam setahun untuk pemerintah Belanda.

Setidaknya seperti itulah kebijakan awal dari mereka. Tetapi, lama kelamaan, mereka mulai serakah dan semena-mena. Saat ini sistem tanam paksa sudah berlaku di seluruh Jawa, para petani harus memberikan seperlima dari lahannya untuk kepentingan cultuurstelsel, dan waktu untuk menanam tidak boleh lebih dari 3 bulan. 

Peraturan-peraturan tersebut sangat membebankan masyarakat di Jawa, kami mengalami banyak penurunan. Kami para petani sangat menderita, karena kami tetap harus mengikuti kerja rodi dan juga membayar pajak yang nominalnya tidaklah kecil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun