‘nggak ada itu ide yang orisinal dan tidak mungkin ide kita orisinal karena banyak orang yang mempunyai pemikiran yang sama’
Ya..pertanyaan itu diajukan kepada saya dua tahun lalu karena kebetulan saya diberi amanah untuk menjadi koordinator lomba karya ilmiah di kantor. Salah satu syarat pertama yang saya tetapkan adalah ‘Tulisan adalah ide orisinil’.
Sepuluh tahun yang lalu saya tidak terlalu ‘mempedulikan’ hal ini sebelum akhirnya saya dibuat terperangah oleh teacher IAP (Introductory Academic Program) saya. Saat itu saya dan rekan sekelas di minta menulis tentang kota asal saya. Menurut saya hal itu tidak terlalu susah. Untuk melengkapi cerita tentang tempat saya dibesarkan saya mengambil beberapa informasi dari google khususnya terkait populasi dan luas wilayah. Saya sangat yakin sekali bahwa tulisan yang saya buat ‘aman-aman’ saja karena saya tidak melakukan copy paste tulisan lain. Begitu hasil dibagikan saya sangat shock karena pada beberapa kalimat saya dianggap melakukan plagiat. Setelah memprotes dan bersikeras kalau saya tidak melakukan plagiat, teacher saya menjelaskan bahwa saya harus mencantumkan sumber data ketika saya mencantumkan jumlah penduduk dan luas wilayah. Aha...
Di dunia akademis di negara maju plagiarsm adalah issue yang sangat krusial. Di Indonesia pun sebenarnya pernah beberapa kasus terungkap adanya mahasiswa yang melakukan penjiplakan skripsi ataupun thesis. Konon mahasiswa yang kebetulan juga menjadi dosen ini mendapatkan sanksi yang berat. Tapi, pemahaman tentang penjiplakan di Indonesia sepertinya agak berbeda dengan maknanya plagiarism yang dianut akademisi negara maju. Selama tidak 100% sama persis belum dikatakan sebagai menjiplak. Sehingga, copy paste dianggap sebagai hal yang lumrah. Ditambah lagi teknologi informasi yang berkembang cepat membuat menyusun paper bukan lagi masalah. Artikel bertebaran di mana-mana di internet dan bisa di copy. Sehingga, tugas membuat paper saat ini tinggal men-copy berbagai artikel kemudian di paste dan digabung-gabung untuk menjadi satu tulisan.
Lalu, apa yang dimaksud dengan plagiat yang asal katanya adalah plagiarize?
Oxfor dictionary mendefinisikan sebagai berikut: “copy another person’s work, ideas, etc and pretend that they are your own”
Merriam Webster malah lebih keras lagi dalam mendefinisikannya: “ to steal and pass off (the ideas or words of another) as one's own : use (another's production) without crediting the source”
Kalau definisi oxford menyatakan bahwa plagiarize adalah mengkopi hasil kerja, ide atau hal lain milik orang lain dan menganggapnya sebagai hasil karya sendiri maka definisi Webster terlihat lebih tegas. Webster secara lugas menyatakan plagiarism sebagai tindak pencurian karena sesungguhnya tindakan melakukan plagiat sama dengan mengambil ide atau hasil karya orang lain tanpa izin sang empunya. Jadi, tindakan copy paste tanpa menyebutkan sumber data bisa disebut dengan plagiarism.
Saat mengambil program master salah seorang rekan saya bahkan terpaksa dipulangkan ke negara asal karena 60% tulisannya adalah hasil copy paste. Lalu, bagaimana caranya bisa mendeteksi orisinalitas tulisan? Kalau di Indonesia, pendeteksian keaslian dokumen tentu menjadi masalah tersendiri. Sehingga, pelaku copy paste hingga saat ini masih aman-aman saja karena tidak ada alat yang bisa menilai seberapa besar tingkat plagiarism suatu tulisan.
Sebenarnya ada program yang bisa mendeteksi sejauh mana tingkat copy paste tulisan seseorang dari hasil karya orang lain. Ketika saya mengambil master di Australia kebanyakan penugasan berupa kewajiban menulis paper. Dari hasil paper yang dikumpulkan itulah yang nantinya akan menjadi nilai akhir dalam transkrip. Dengan demikian, kualitas paper sangat menentukan berapa nilai yang akan diperoleh. Ujian?
Selama dua tahun kuliah dari 16 mata kuliah yang saya ambil hanya 4 yang harus duduk untuk mengerjakan ujian. Untuk yang diujikan pun masih ada tugas menulis paper. Sehingga, paper memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pencapaian nilai. Untuk satu mata kuliah saja biasanya 3 paper yang harus dibuat. Tentu pihak universitas perlu membuat suatu pengendalian untuk mempertahankan kredibilitasnya agar mahasiswa-mahasiswanya tidak melakukan plagiat.
Sehingga, untuk paper-paper yang akan di submit ke dosen terlebih dahulu harus diserahkan/dimasukkan ke suatu program yang dinamakan ‘Turn-it-In’. Program inilah yang akan mendeteksi berapa persen tingkat copy paste yang dilakukan mahasiswa. Dengan adanya warning seperti itu, mahasiswa pun menjadi lebih waspada dan pada prinsipnya justru memberikan masukan untuk mengurangi tingkat plagiarism yang dilakukannya.
Kalimat-kalimat yang menunjukkan plagiat akan diwarnai dengan warna yang berbeda-beda. Warna hitam menunjukkan warna yang aman. Semakin berwarna-warni tulisan kita setelah masuk ke ‘turn-it-it’ semakin harus waspada. Dengan program ini tulisan yang kita submit akan dideteksi dan dibandingkan dengan tulisan-tulisan yang pernah ditulis oleh senior kita, tulisan yang beredar di internet, dan tulisan-tulisan dari mahasiswa atau alumni dari universitas lain. Tulisan-tulisan yang berwarna ini menunjukkan kalimat-kalimat hasil copy paste.
Dengan program ini hasil men-copy satu kalimat pun bisa dideteksi. Hasil kerja program ini akan menjadi dasar awal bagi dosen untuk memberikan nilai. Biasanya dosen akan mentoleransi selama tingkat plagiarism nya dibawah 3%. Di atas itu, apalagi sampai di atas 10% mahasiswa harus siap-siap di berikan diskon nilai.
Masalah orisinalitas vs plagiarism pada dasarnya terletak pada pengakuan kita pada hasil karya orang lain. Sebagaimana hasil karya seni, dalam tulisan ilmiah pun dikenal property right. Kalau untuk karya seni kita kenal istilah bajakan atau piracy maka di dunia akademisi inilah yang dipersamakan dengan plagiat. Makanya, pelaku plagiat pun harus mendapatkan hukuman karena sebagai mana disebut dalam kamus webster sebagai ‘to steal’.
Bagaimana menghindari plagiarism? Pasti jawabannya: jangan copy paste-lah.
Sebenarnya tidak juga harus seperti itu. Copy paste tetap sah selama kita menyebutkan penulis aslinya. Kemudian, orisinalitas pada dasarnya bukanlah sesuatu hal dimana penulis harus membuat sesuatu yang benar-benar baru. Tapi bagaimana penulis bisa mengemas sesuatu yang lama atau yang pernah ditulis oleh orang lain kemudian meramunya kembali dengan menggabungkan beberapa ide-ide untuk kemudian menghasilkan ramuan baru sesuai dengan konteks yang dibutuhkan. Sama halnya dengan yang dinamakan replikasi. Replikasi skripsi ataupun thesis sesungguhnya berbeda dengan duplikasi atau plagiat. Replikasi mengandung arti bahwa kita menggunakan teori yang sama untuk menilai, menganalisis atau mengevaluasi obyek yang berbeda. Tentu saja, kaidah penulisan tetap memperhatikan citation atau teknik-teknik pengutipan yang benar. Bahkan dalam hal pengutipan pun disarankan untuk melakukan paraphrasing atau menjelaskan pendapat orang lain dengan kalimat yang berbeda. Ibarat orang memasak, bahan-bahan yang kita gunakan bisa jadi sama saja. Hanya saja, cita rasa masakan yang dihasilkan seorang chef tentu berbeda dengan hasil masakan anak kos. Begitu kira-kira analoginya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H