Tandan Buah Segar Kelapa Sawit (foto: Dok. Pribadi)
Jalan-jalan ke Bukit Seloka
Tidak lupa membeli sawit... Cakep
Kalau mau ke Bukit Seloka
Tentu saja keluar duit... Yeeee
Makan bakso di Simpang Pait
Jangan lupa nambah Rawit... Cakep
Kalau Saku Tak Ada Duit
Harga Sawit Lagi Irit... Ya ya ya.
Sejak ekspor CPO dibuka lagi oleh Presiden RI, pada 23 Mei 2022. Harga sawit bukannya tambah membaik, justru tak karuan. Setiap hari pergerakan harga di tingkat loading ramp berubah-ubah. Kalau harga di tingkat pabrik sulit mantaunya. Â
Paser hingga kini belum punya lembaga yang menerbitkan harga Tandan Buah Segar (TBS) update harian.
Saya tak mau bahas harga penetapan. Ibarat kata panggang jauh dari api. Mau bakar ayam di tunggu berjam-jam, matang tidak, gosong nggak, tetap utuh ayam mentah. Api sama panggangan tidak saling ketemu apalagi ayamnya.
Begitu juga soal harga TBS, mau ikut harga pemerintah harus bermitra, kalau tak bermitra, ya ikut harga pasar. Harga pasar tinggi di tingkat petani juga tinggi. Asal pesanaan banyak ketersediaan barang dibatasi atau terbatas tentu harga bisa ikut naik. Tapi, kali ini di pabrik banyak, dijual juga belum bisa, makanya harganya anjlok.
Petani sawit, baru saja mau sejahtera semua, setelah harga TBS mencapai Rp3.000 ribuan ke atas. Tapi, lagi-lagi panggang jauh dari api.Â
"Baru senang sebentar, dimiskinkan berjamaah lagi. Nasib-nasib jadi petani," kata ku dalam hati.
Akhirnya, kesejahteraan petani sudah pasti ditangan pemegang kebijakan dan pemilik pabrik.Â
Kementerian yang membidangi, hingga di pada daerah. Sudah mewanti-wanti jika mau harga stabil buat kemitraan. Tapi, semuanya bergantung dari petani dan pabrik.Â
Soalnya disini, bagaimana nasib petani yang tak bermitra di saat harga pasar lagi jatuh. Mestinya pemerintah juga bikin kebijakan, bagi petani yang belum bermitra, bukan balik menyerang ke petani. Dengan dalih sudah mengingatkan, kalau mau harga stabil ya pakai kemitraan.
Kalau sudah begini, ya repot. Tugas pemerintah mengakomodir semua masyarakat. Tentu ada yang pro dan kontra. Jika tak setuju, opsinya seperti apa. Tapi pada tingkat perusahaan pemerintah harus perketat, jangan dilepas begitu saja, mesti ada pembatasan kekuasaan. Terutama soal harga.Â
"Kalau nggak ya seenaknya, naiknya sulit. Turunnya bantingan KO. Ribetnya minta ampun kalau gini," kata ku mengeluh.
Tadi malam, saya ngobrol bareng petani. Ngeluhnya benar-benar dalam alias nelongso. Mau di panen rugi nggak di panen juga rugi. Loh kok bisa, harga di group WA mereka, terutama di pabrik berubah sepanjang jam. Bukan lagi harian.
"Idih ngeri-ngeri sedap".
Harga ada yang Rp1.020 hingga ke bawah, kalau di loding gimana dong kalau gini. Nasib pengusaha loading juga pasti di ubun-ubun. Sudah beli harga tinggi, eh malah berubah lagi di pabrik.Â
"Tentu saja bisa gulung tikar. Apalagi petani, makin sulit ngebul dapurnya".
Mereka ada yang lebih memilih, dibiarkan membusuk buahnya di pohon daripada nombok buat bayar upah panen, dan ongkos transport.
Kalau saya masih optimis. Pasti ada titik terang di sini. Tapi, menunggu lampu dan listrik di pasang.
Waras nggak aku Iki nulis. Yo wes, semua dagelan. Jangan di bawa ke hati.
Penulis: Anas Abdul Kadir
Bukit Seloka, 7 Juli 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H